Selasa, 18 September 2012

Negeri Besar Minus Komitmen


Negeri Besar Minus Komitmen
Yudi Latif ;  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 18 September 2012


Kembali ke Tanah Air setelah kami mengikuti konferensi East-West Center di Beijing (1-3 September) ibarat keluar dari kolam hangat menuju danau beku. Konferensi bertajuk ”Community Building and Leadership in Asia Pacific” ini mengantisipasi pergeseran poros kemajuan peradaban dari trans-Atlantik menuju trans-Pasifik. Suatu pergeseran yang tandanya mulai berdenyut dalam gairah hidup dan kepercayaan diri bangsa China.

Kemajuan China adalah suatu penjungkirbalikan atas nalar kegaliban. Besarnya jumlah penduduk kerap dijadikan alasan kesulitan dan kelambanan kemajuan. Namun, dengan 1,3 miliar penduduk, China bisa meraih kemajuan dalam kecepatan mengagumkan. Inggris perlu waktu 100 tahun sejak revolusi industri untuk melipatgandakan kemakmurannya; Amerika Serikat perlu 50 tahun. China mencapainya belasan tahun.

Rahasia di balik kesuksesan ini adalah komitmen elite pada integrasi nasional sehingga membuat negeri yang dirundung pertikaian panjang dapat mencapai persatuan dan perdamaian. Mao Zedong dengan segala kekurangannya dihormati sebagai Bapak Pemersatu Bangsa seperti ditahbiskan di dinding kota dan beragam cendera mata.

Komitmen elite memberdayakan rakyat dengan menjaga kesinambungan antara tradisi dan inovasi. Tradisi kerja keras, disiplin, dan kerja sama kolektif warisan konfusianisme dan revolusi kebudayaan diberi darah baru oleh desain institusional yang memberi ruang bagi kreativitas individu. Hal ini bermula dari kebijakan reformer Deng Xiaoping untuk mengurangi intensitas politisasi rakyat warisan kebijakan Great Leap Forward-nya Mao. 
Sejak 1978, kadar politisasi ekonomi dikurangi lewat rasionalisasi dan dekolektivisasi.

Komitmen elite memulihkan martabat bangsa yang memijarkan rasa bangga bagi penduduk menjadi warga China. Setiap warga berlomba memilih peran terbaik yang bisa disumbangkan bagi keagungan bangsa. Bersamaan dengan kemajuan ekonomi, muncul semacam kredo bahwa ”Washington Consensus” adalah trayek masa lalu. Trayek masa depan adalah ”Beijing Consensus”. Ketika elite Indonesia berebut bertemu Hillary Clinton, Wakil Presiden China membatalkan pertemuannya dengan Nyonya Clinton.

Komitmen elite mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberantas korupsi. Sistem sosial memberikan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang berilmu, pemerintahan mengikuti sistem meritokrasi dengan diisi putra-putri terbaik. Kesadaran bahwa Barat bukan satu-satunya sumber ilmu mendorong kesetaraan pengakuan terhadap ilmu-ilmu warisan tradisi leluhur. Korupsi bukannya tidak ada, tetapi tidak dibiarkan jadi kewajaran dengan sanksi keras.

Komitmen elite menjadikan media sebagai wahana pemacauan optimisme dan kepercayaan diri. Para peraih medali emas di Olimpiade London satu per satu di-interview televisi dalam penobatan mereka sebagai pahlawan. Saluran berbahasa Inggris, CCTV News, terus-menerus menayangkan slogan ”The Country is undergoing tremendous transformation”. Dampak penayangan repetitif slogan ini mengonstruksikan persepsi positif dan kepercayaan penonton akan kehebatan kemajuan China.

Kembali ke Tanah Air, gairah kemajuan bangsa terasa dingin. Selama 14 tahun reformasi, Indonesia kehilangan begitu banyak momentum. Awal 1990-an, ketika China masih merangkak di landasan, Indonesia telah memasuki fase lepas landas. Kemajuan yang kita capai waktu itu menjadikan negara ini sebagai salah satu ”Asian Tigers”.

Integrasi nasional terganggu karena elite politik berlomba mengkhianati negara. Semua tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan pelayanan publik. Institusi demokrasi membiarkan politik berbiaya tinggi, yang merobohkan kewibawaan politik. Politik didikte kapital, pemerintahan disesaki medioker, korupsi merajalela mendorong perekonomian berbiaya tinggi.

Peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, tetapi justru kian teperdaya. Pertumbuhan ekonomi hanya memperkaya elite negeri dengan memarjinalkan rakyat kebanyakan. Elite negeri lebih bangga mendapat ”isapan jempol” penghargaan asing ketimbang penghargaan dari rakyatnya sendiri.

Ketertiban dan keselamatan warga kerap dikorbankan oleh motif pengalihan isu. Kekerasan difabrikasi sebagai mekanisme defensif kegagalan pemerintah.

Tekad belajar elite negeri berhenti sebagai pepesan kosong ”studi banding” sebagai modus penjarahan uang negara. Dunia pendidikan sibuk memancangkan slogan ”taraf internasional” meski sebenarnya hanyalah ”tarif internasional”. Jumlah profesor tumbuh dengan jejak karya yang makin sulit dikenali. Akademisi dan cendekiawan bukan berkontribusi memikirkan desain institusional memperbaiki mutu kepemimpinan, malahan turut merayakan banalitas politik sebagai kaki tangan modal melalui semacam tim audisi pemimpin idola dalam tarian pragmatisme jangka pendek. Media sibuk menayangkan kebebalan politik tanpa agenda setting yang bersifat konstruktif.

Elite Indonesia terlalu gemar gebyar lahir dan terlalu gaduh untuk perkara remeh-temeh tanpa komitmen pada isi hidup dan arah hidup. Ketika kawasan Pasifik menjadi pusat kemajuan baru dan Asian Free Trade di ambang pintu, Negeri Besar dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini justru terus terhinakan kewibawaannya oleh kesempitan dan kekecilan mentalitas elite pemimpinnya. ●
◄ Newer Post Older Post ►