Pendidikan Tanpa Hati Ferdinand Hindiarto ; Wakil Rektor III Unika Soegijapranata Semarang |
SUARA MERDEKA, 29 September 2012
KATA miris rasanya tak lagi cukup untuk mengungkapkan perasaan kita atas meninggalnya dua pelajar di Jakarta terkait dengan tawuran. Entah perasaan apa yang bisa secara utuh mengekspresikan kegelisahan, kegundahan, kesedihan, sekaligus kemarahan publik terhadap perilaku siswa yang terlibat tawuran itu.
Demikian pula akal sehat dan logika manusia tak bisa menjangkau untuk memahami tawuran antarmahasiswa di beberapa kampus di Makassar. Bagaimana mungkin mereka yang tergolong kelompok eksklusif secara intelektual, menunjukkan perilaku yang jauh dari akal sehat.
Eskalasi fenomena tawuran, baik antarsiswa maupun antarmahasiswa, membuat kita cemas dan khawatir. Tidak hanya itu tapi juga nasib bangsa ini sungguh mengkhawatirkan jika generasi penerus bangsa, memiliki perilaku yang sangat jauh dari manusiawi. Rentetan kejadian itu tidak bisa dipandang sepele.
Permasalahan tawuran tidak dapat diselesaikan secara parsial. Mungkinkah kejadian itu dapat menjadi momentum bagi seluruh pemangku kebijakan dan pelaku dunia pendidikan untuk mereposisi konsep pendidikan?
Jika mau merefleksikan, tawuran di kalangan peserta didik merupakan pengingkaran terhadap hakikat pendidikan. Niccolo Machiavelli menyatakan bahwa manusia membutuhkan pendidikan karena secara kodrati mereka diciptakan dalam keadaan kurang sempurna dalam berbagai dimensi (Doni Koesoema, 2010).
Karenanya, manusia harus menjalani pendidikan guna melengkapi kekurangan itu. Dengan demikian, pendidikan merupakan proses yang membantu, menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, sekaligus membuat yang semula tidak tertata atau liar menjadi lebih tertata. Pendidikan adalah penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain.
Jika mengacu pada pendapat Machiavelli maka fenomena tawuran di dunia pendidikan adalah pengingkaran sekaligus perlawanan terhadap hakikat pendidikan. Realitasnya adalah pendidikan, meskipun tidak semua, justru menciptakan ketidakteraturan, keliaran, dan perilaku yang jauh dari kemanusiaan.
Tentu saja hal ini akibat kesalahan-kesalahan hakiki yang terjadi dalam pengelolaan pendidikan di negeri ini. Sebelum menjadi makin terpuruk dalam penyimpangan, seluruh pemangku kepentingan dalam pendidikan hendaknya mau instropeksi dan merefleksi mengapa ini semua terjadi. Bagaimana sebaiknya menyelamatkan dunia pendidikan negeri ini?
Pendidikan seharusnya menjadi media intervensi bagi pengembangan berbagai macam potensi dalam diri manusia, baik itu potensi akademik intelektual maupun bakat seni, olahraga, dan lainnya. Namun kebijakan UN telah ''membunuh'' anak-anak yang bertalenta dalam bidang seni, keterampilan fisik, ataupun olahraga.
Mereka dicap gagal dan bodoh jika tidak mampu melewati standar kelulusan dalam beberapa mata pelajaran, meskipun dalam bidang seni atau olahraga, mereka memiliki kemampuan yang sangat hebat. Keadaan itu bisa membuat sebagian siswa frustrasi dan melampiaskan dalam berbagai bentuk yang tidak tepat.
Guru hanya mengejar ''setoran'' materi yang harus diselesaikan demi ujian nasional. Guru tak memiliki kesempatan mengajak siswa untuk mengolah hati, mengajak berbela rasa, dan memupuk empati siswa. Semua karena tuntutan lulus ujian nasional. Konsep pendidikan yang hanya berfokus pada aspek akademis intelektual jelas mengingkari hakikat pendidikan.
Dalam waktu lama ke depan, sulit rasanya menemukan pengganti Affandi sang maestro pelukis, atau Rudy Hartono sang maestro bulu tangkis.
Sekolah Hati
Bagaimana dengan sekolah dan guru? Sebagai pelaksana berbagai regulasi pendidikan di lapangan, sekolah dan guru seperti tak memiliki daya tawar dan otonomi. Akhirnya sekolah dikelola dengan gaya manajemen pabrik, yang mendewakan ukuran-ukuran kuantitatif.
Persentase kelulusan, standar level yang dicapai, jumlah juara olimpiade sains, jumlah piala yang diraih dalam lomba, akhirnya menjadi indikator keberhasilan sekolah. Pengelola sekolah dan guru lupa bahwa pendidikan adalah proses, bukan berorientasi pada hasil dengan segala indikatornya. Proses belajar berbela rasa, belajar peduli, belajar berempati menjadi terlupakan.
Sebagian orang tua pun akhirnya terjerembab dalam kubangan sama. Mereka berlomba-lomba mendorong anak mengikuti les, demi mengejar prestasi akademik. Perhatian dan waktu untuk mengajari anak berempati, berbela rasa, dan merefleksikan hidup menjadi hal yang tidak sempat dilakukan. Peringkat berapa, berapa rata-rata nilai ujian nasionalnya, di mana lesnya, adalah pertanyaan yang selalu muncul di antara para orang tua ketika membicarakan anak.
Pemerintah dan sekolah mutlak harus memfasilitasi proses belajar secara utuh. Mengembangkan intelegensi, berbagai potensi, dan sekolah hati. Dalam proses itu, tentu saja diperlukan desain kurikulum yang tidak hanya berfokus pada aspek akademis.
Dalam proses perumusan konsep diri, siswa juga memerlukan pemandu dan pembimbing. Guru dan orang tua harus mengisi peran itu secara sinergis. Demikian juga dengan masyarakat, seharusnya bisa menjadi ajang efektif bagi siswa untuk bersekolah hati. Hanya dengan sekolah hati, tawuran demi tawuran itu tidak akan terjadi lagi. ●