Kaji Ulang Otonomi Daerah Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef |
JAWA POS, 26 September 2012
BEBERAPA elemen penting dari otonomi daerah (otoda) saat ini sedang dipersoalkan oleh banyak kalangan. Paling baru, Munas PB NU di Cirebon yang baru usai merekomendasikan agar pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) ditiadakan. Bupati dan wali kota cukup dipilih oleh DPRD seperti sebelum otoda, sedangkan pemilihan gubernur masih dimungkinkan memakai sistem sekarang. Pertimbangannya adalah mahalnya pengeluaran pemerintah (dari APBN dan APBD) untuk membiayai pilkada, ongkos kandidat makin menjulang (akibat praktik politik uang) sehingga meruapkan korupsi (setelah calon terpilih), dan kerap menimbulkan konflik sosial berlatar SARA.
Tetapi, di luar itu, dari sisi ekonomi, juga terdapat fenomena lain yang tidak kalah gawat sehingga kaji ulang terhadap konsep desentralisasi ekonomi sangat dibutuhkan. Aneka paradoks ekonomi menyeruak sehingga wajah otoda menjadi compang-camping.
Paradoks Otonomi Daerah
Dari tinjauan ekonomi, sekurangnya terdapat empat paradoks otoda yang laik dipertanyakan secara saksama. Pertama, desentralisasi dimaksudkan untuk menggeser sentralisasi pembangunan ke luar Jakarta (atau secara umum luar Jawa) sehingga beban ekonomi dan penduduk bisa disebar ke daerah-daerah lain. Namun, alih-alih hal itu terjadi, otoda justru makin memerkuat peran perekonomian Jawa (dan Sumatera) dalam konfigurasi perekonomian. Sekarang, sekitar 82 persen PDRB (produk domestik regional bruto) Indonesia dikuasai oleh dua pulau tersebut, yang makin meningkat seiring dengan implementasi otoda.
Kedua, semangat desentralisasi juga dipahami untuk mengurangi peran campur tangan pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam perekonomian. Fungsi regulasi tetap harus dijalankan, namun hanya terhadap aspek-aspek yang memang betul-betul diperlukan agar tidak disinsentif bagi perekonomian. Tetapi, sejak otoda diselenggarakan, kurang lebih terdapat 13 ribu perda bermasalah dan sekitar 4.000 yang telah dibatalkan oleh Kemenkeu dan Kemendagri.
Ketiga, otoda secara implisit mengharapkan adanya partisipasi kegiatan ekonomi yang lebih luas kepada masyarakat sehingga peran pemda (lewat APBD) makin mengecil. Sayangnya, ketergantungan beberapa daerah terhadap APBD juga tidak mengecil meskipun desentralisasi ekonomi telah berjalan hampir 12 tahun. Di beberapa provinsi dan kabupaten, nyaris ekonomi hanya bergerak dengan topangan belanja pemda. Pengusaha hidup dari proyek-proyek pemda, seperti pembangunan infrastruktur.
Keempat, otoda secara eksplisit memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk mendesain kebijakan dan menjalankan program sehingga model penyeragaman kebijakan (yang disodorkan pemerintah pusat) sudah tidak terjadi lagi. Tetapi, harapan itu nyatanya tidak seluruhnya benar. Sebab, beberapa program vital, seperti kemiskinan, masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Pemda cuma diberi ruang sedikit untuk memodifikasi konsep yang didesain oleh pusat.
Perubahan Gradual
Implikasi dari paradoks-paradoks di atas menimbulkan masalah yang cukup pelik untuk dipecahkan. Misalnya, pada 2011 masih ada sekitar 23 provinsi yang mendapat bagian (share) PMA kurang dari 1 persen, bahkan 16 provisi bisa dikatakan nyaris tidak mendapatkan bagian karena porsinya kurang dari 0,2 persen (BKPM, 2012). Pola yang sama persis juga terjadi dalam proporsi penanaman modal dalam negeri (PMDN). Ini tentu menyedihkan sekaligus menerbitkan pertanyaan fundamental: akankah otoda masih memiliki peluang untuk mendistribusikan pembangunan antardaerah?
Berikutnya, disparitas pembangunan/investasi antardaerah tersebut mengakibatkan perputaran uang/modal juga terkonsentrasi di Pulau Jawa saja. Tengok saja, DKI Jakarta pada 2011 menguasai 50,9 persen dana pihak ketiga dan menggenggam 49,1 persen kredit perbankan, selanjutnya diikuti Jatim dan Jabar masing-masing dalam kisaran 7-9 persen (BI, 2012). Bisa dibayangkan, bila modal bank tidak tersedia, pembangunan kian muskil dilakukan.
Harapan pembangunan daerah akhirnya bertumpu kepada anggaran pemda (APBD). Masalahnya, struktur APBD dalam banyak hal jauh lebih parah daripada APBN. Studi yang dilakukan oleh The Asia Foundation (2011) menunjukkan, pada 2007 sekitar 65 persen dana transfer dalan bentuk DAU (dana alokasi umum) habis untuk belanja PNS, yang kemudian pada 2010 melonjak menjadi 95 persen.
Data dari Kemenkeu (2011) juga menunjukkan, selama periode 2007-2011 rata-rata pertumbuhan belanja pegawai sebesar 29 persen, belanja barang 20 persen, belanja modal 9 persen, dan belanja lainnya 19 persen. Padahal, belanja modal itulah yang diharapkan bisa menstimulus pembangunan daerah, misalnya untuk alokasi infrastruktur. Studi Indef (2011) juga menemukan, jika belanja daerah (APBD) dinaikkan 10 persen, maka hanya menyumbang kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Jika DAU dan DAK (dana alokasi khusus) ditingkatkan 10 persen, maka donasi terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah lebih kecil lagi, yaitu 0,03 persen dan 0,02 persen.
Deskripsi itu rasanya cukup untuk melakukan kaji ulang terhadap konsep otoda, tidak saja secara politik, tetapi juga ekonomi. Pemerintah tidak harus melakukan perombakan secara drastis, tetapi opsi perubahan secara gradual lebih mungkin untuk diambil. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan, antara lain, (i) adanya pembatasan alokasi belanja pegawai sehingga ruang APBD untuk pembangunan masih memadai, diikuti dengan langkah reformasi birokrasi; (ii) formula dana transfer sebaiknya ditambahkan dengan variabel beban daerah terbelakang, misalnya kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan infrastruktur; tidak cukup beban itu ditutup dengan alokasi DAK; (iii) moratorium investasi asing (PMA) di Pulau Jawa, tentu disertai dengan percepatan pembangunan infrastruktur di luar Jawa; dan (iv) mengembalikan kewenangan izin investasi SDA ke pemerintah pusat karena konsesi eksplorasi SDA selama ini diberikan secara ugal-ugalan sehingga merusak lingkungan. Tentu saja, ada hal-hal lain di luar ide ini yang masih perlu didalami lebih lanjut. ●
Tetapi, di luar itu, dari sisi ekonomi, juga terdapat fenomena lain yang tidak kalah gawat sehingga kaji ulang terhadap konsep desentralisasi ekonomi sangat dibutuhkan. Aneka paradoks ekonomi menyeruak sehingga wajah otoda menjadi compang-camping.
Paradoks Otonomi Daerah
Dari tinjauan ekonomi, sekurangnya terdapat empat paradoks otoda yang laik dipertanyakan secara saksama. Pertama, desentralisasi dimaksudkan untuk menggeser sentralisasi pembangunan ke luar Jakarta (atau secara umum luar Jawa) sehingga beban ekonomi dan penduduk bisa disebar ke daerah-daerah lain. Namun, alih-alih hal itu terjadi, otoda justru makin memerkuat peran perekonomian Jawa (dan Sumatera) dalam konfigurasi perekonomian. Sekarang, sekitar 82 persen PDRB (produk domestik regional bruto) Indonesia dikuasai oleh dua pulau tersebut, yang makin meningkat seiring dengan implementasi otoda.
Kedua, semangat desentralisasi juga dipahami untuk mengurangi peran campur tangan pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam perekonomian. Fungsi regulasi tetap harus dijalankan, namun hanya terhadap aspek-aspek yang memang betul-betul diperlukan agar tidak disinsentif bagi perekonomian. Tetapi, sejak otoda diselenggarakan, kurang lebih terdapat 13 ribu perda bermasalah dan sekitar 4.000 yang telah dibatalkan oleh Kemenkeu dan Kemendagri.
Ketiga, otoda secara implisit mengharapkan adanya partisipasi kegiatan ekonomi yang lebih luas kepada masyarakat sehingga peran pemda (lewat APBD) makin mengecil. Sayangnya, ketergantungan beberapa daerah terhadap APBD juga tidak mengecil meskipun desentralisasi ekonomi telah berjalan hampir 12 tahun. Di beberapa provinsi dan kabupaten, nyaris ekonomi hanya bergerak dengan topangan belanja pemda. Pengusaha hidup dari proyek-proyek pemda, seperti pembangunan infrastruktur.
Keempat, otoda secara eksplisit memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk mendesain kebijakan dan menjalankan program sehingga model penyeragaman kebijakan (yang disodorkan pemerintah pusat) sudah tidak terjadi lagi. Tetapi, harapan itu nyatanya tidak seluruhnya benar. Sebab, beberapa program vital, seperti kemiskinan, masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Pemda cuma diberi ruang sedikit untuk memodifikasi konsep yang didesain oleh pusat.
Perubahan Gradual
Implikasi dari paradoks-paradoks di atas menimbulkan masalah yang cukup pelik untuk dipecahkan. Misalnya, pada 2011 masih ada sekitar 23 provinsi yang mendapat bagian (share) PMA kurang dari 1 persen, bahkan 16 provisi bisa dikatakan nyaris tidak mendapatkan bagian karena porsinya kurang dari 0,2 persen (BKPM, 2012). Pola yang sama persis juga terjadi dalam proporsi penanaman modal dalam negeri (PMDN). Ini tentu menyedihkan sekaligus menerbitkan pertanyaan fundamental: akankah otoda masih memiliki peluang untuk mendistribusikan pembangunan antardaerah?
Berikutnya, disparitas pembangunan/investasi antardaerah tersebut mengakibatkan perputaran uang/modal juga terkonsentrasi di Pulau Jawa saja. Tengok saja, DKI Jakarta pada 2011 menguasai 50,9 persen dana pihak ketiga dan menggenggam 49,1 persen kredit perbankan, selanjutnya diikuti Jatim dan Jabar masing-masing dalam kisaran 7-9 persen (BI, 2012). Bisa dibayangkan, bila modal bank tidak tersedia, pembangunan kian muskil dilakukan.
Harapan pembangunan daerah akhirnya bertumpu kepada anggaran pemda (APBD). Masalahnya, struktur APBD dalam banyak hal jauh lebih parah daripada APBN. Studi yang dilakukan oleh The Asia Foundation (2011) menunjukkan, pada 2007 sekitar 65 persen dana transfer dalan bentuk DAU (dana alokasi umum) habis untuk belanja PNS, yang kemudian pada 2010 melonjak menjadi 95 persen.
Data dari Kemenkeu (2011) juga menunjukkan, selama periode 2007-2011 rata-rata pertumbuhan belanja pegawai sebesar 29 persen, belanja barang 20 persen, belanja modal 9 persen, dan belanja lainnya 19 persen. Padahal, belanja modal itulah yang diharapkan bisa menstimulus pembangunan daerah, misalnya untuk alokasi infrastruktur. Studi Indef (2011) juga menemukan, jika belanja daerah (APBD) dinaikkan 10 persen, maka hanya menyumbang kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Jika DAU dan DAK (dana alokasi khusus) ditingkatkan 10 persen, maka donasi terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi daerah lebih kecil lagi, yaitu 0,03 persen dan 0,02 persen.
Deskripsi itu rasanya cukup untuk melakukan kaji ulang terhadap konsep otoda, tidak saja secara politik, tetapi juga ekonomi. Pemerintah tidak harus melakukan perombakan secara drastis, tetapi opsi perubahan secara gradual lebih mungkin untuk diambil. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan, antara lain, (i) adanya pembatasan alokasi belanja pegawai sehingga ruang APBD untuk pembangunan masih memadai, diikuti dengan langkah reformasi birokrasi; (ii) formula dana transfer sebaiknya ditambahkan dengan variabel beban daerah terbelakang, misalnya kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan infrastruktur; tidak cukup beban itu ditutup dengan alokasi DAK; (iii) moratorium investasi asing (PMA) di Pulau Jawa, tentu disertai dengan percepatan pembangunan infrastruktur di luar Jawa; dan (iv) mengembalikan kewenangan izin investasi SDA ke pemerintah pusat karena konsesi eksplorasi SDA selama ini diberikan secara ugal-ugalan sehingga merusak lingkungan. Tentu saja, ada hal-hal lain di luar ide ini yang masih perlu didalami lebih lanjut. ●