Belajar dari Gus Dur Mohamad Guntur Romli ; Penulis, Tinggal di Jakarta |
KORAN TEMPO, 29 September 2012
Tak terasa sudah seribu hari KH Abdurrahman Wahid-Gus Dur-meninggalkan kita. Leluconnya masih segar terdengar. Sosok Gus Dur sering melintas: berjalan yang dituntun atau didorong di kursi roda dengan fisik yang payah-tak jarang jarum infus masih menancap-tapi hal itu tak menghalanginya untuk terus beraktivitas, membela mereka yang lemah dan ditindas. Tapi tidak ada pose Gus Dur yang cemberut dan sedih. Ia tampak kuat dan tegar, dengan senyum dan tawa sekaligus membuat tawa.
Kejadian akhir-akhir ini, seperti kekerasan yang berbasis agama, dan pemerintah yang tampak lemah dan lepas tangan, semakin mengingatkan kita pada suara Gus Dur yang lantang mengeluarkan pembelaan. Tak jarang ada komentar "coba masih ada Gus Dur".
Celetukan ini keluar karena "geregetan" dan hampir putus asa terhadap pemerintah, yang membiarkan kekerasan terus berlangsung. Malah tak jarang tunduk kepada pihak penyerang dan mengabulkan tuntutan mereka untuk mengkriminalisasi korban.
Gus Dur tak pernah lepas dari perbincangan. Kerja sosial dan kemanusiaan Gus Dur menyentuh hampir semua sendi kehidupan. Fenomena ini mengingatkan saya pada sepenggal bait puisi Arab, innama-l mar'u haditsun ba'dahu fa kun haditsan hasanan liman wa'a-manusia akan menjadi perbincangan setelah tiada, maka bagi orang yang berakal akan berusaha menjadi perbincangan yang baik.
Tak jarang orang masih bertanya-tanya, bahkan mempertanyakan, alasan pembelaan Gus Dur terhadap kelompok yang didakwa tersesat dan menyimpang dari yang kebanyakan. Misalnya, hingga akhir hayatnya, Gus Dur memberikan pembelaan yang sungguh-sungguh kepada Ahmadiyah dan Syiah: dua komunitas yang hingga saat ini masih menjadi sasaran kekerasan. Dalam setiap pernyataan, Gus Dur selalu menegaskan pentingnya membela hak-hak warga negara dan konstitusi. Gus Dur selalu mengatakan "tidak membela keyakinan suatu kelompok aliran", tapi hak-hak pengikut dan pemeluknya tidak bisa dikurangi dan didiskriminasi karena keyakinan mereka.
Pembelaan Gus Dur tidak bersifat parsial dan partisan, tapi pada prinsip-prinsip hidup bersama untuk saling menghormati, menghargai, dan nirkekerasan. Selama pengikut suatu komunitas tidak melakukan pelanggaran hukum yang diakui di republik ini, mereka tidak bisa ditindas.
Lantas bagaimana menyikapi adanya konflik dalam masyarakat yang terdapat pertentangan soal keyakinan? Gus Dur selalu mengedepankan toleransi dan dialog serta anti-kekerasan, pemaksaan, dan pelarangan. Gus Dur becermin pada strategi perjuangan Kiai Chasbullah Salim dari Jombang dalam sebuah tulisannya di Tempo pada 1980. Kasusnya menghadapi "serbuan" kelompok Darul Hadis, yang dituding menyimpang dari keyakinan warga NU setempat. Awalnya, Kiai Chasbullah melawan mereka dengan emosional. Namun pihak yang disebut lawan malah semakin kuat.
Kiai Chasbullah mengganti strategi tidak lagi konfrontatif, tapi lebih toleran. Gus Dur memuji strategi Kiai Chasbullah ini, yang disebutnya arif. Gus Dur menulis, "Pertentangan pendapat tidak semuanya diselesaikan, dan lebih-lebih tidak akan terselesaikan dengan melarang begini atau begitu. Ada kalanya toleransi lebih memberikan hasil, sebagai upaya menahan perluasan pengaruh lawan."
Pada zaman itu, Gus Dur menolak usul MUI, yang mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk melarang Darul Hadis. Menurut Gus Dur, selain pelarangan tidak akan menyelesaikan persoalan, perbedaan dan pertentangan akan berdampak baik untuk meningkatkan kedewasaan umat. Perbedaan adalah gizi yang tinggi bagi toleransi. Gus Dur menutup dengan pernyataan, "Toleransi kepada gerakan-gerakan 'sempalan' (splinter group) dalam Islam harus diperhitungkan sebagai salah satu jalan terbaik untuk mendewasakan sikap umat." ("Kiai Chasbullah dan Musuhnya" dalam Kiai Nyentrik, Membela Pemerintah, hal. 16).
Apakah Gus Dur tidak terlalu tinggi menilai umat? Bukankah selama ini yang disebut umat adalah orang awam yang sering dinilai memiliki pengetahuan dan kedewasaan yang rendah? Justru bagi Gus Dur, asumsi ini salah besar. Dalam satu tulisannya di Prisma pada 1982, "Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama", Gus Dur menegaskan, rakyat di lapisan bawah lebih arif. Tentang massa akar rumput ini, Gus Dur menyatakan, "Mereka merupakan penjumlahan dari pengalaman total manusia yang menderita, yang mengalami sendiri masalah itu." Dalam pengakuan yang ditulis sendiri oleh Gus Dur, "Rakyat lapisan bawah adalah rakyat yang arif, yang sudah punya polanya sendiri untuk menghadapi berbagai tekanan." Kita sering mengutip pepatah, "pengalaman adalah guru yang terbaik". Lantas mengapa rakyat di lapisan bawah yang menjalani pengalaman itu sendiri tidak menjadi guru yang terbaik?
Malah campur tangan elite yang membawa kepentingan politik, ekonomi, dan agama sering memperbesar, bahkan mengadu kelompok-kelompok dalam masyarakat. Makanya, dalam peristiwa kekerasan, sering disebut "kasuistis" karena tidak terjadi di semua lapisan masyarakat. Misalnya permusuhan terhadap kelompok A hanya ditemukan dalam suatu tempat, tidak menyebar di semua wilayah yang ada kelompok A. Hal ini menunjukkan masih lebih banyak masyarakat yang arif dan dewasa melihat pertentangan itu. Namun konflik itu akan menemukan pola yang sistemik (tidak lagi "kasuistis") kalau pemerintah membiarkan dan tidak menyelesaikan konflik tersebut. Atau ada semacam pola untuk membakar masyarakat dengan memakai isu perbedaan sebagai bahan bakarnya.
Walhasil, dari Gus Dur kita belajar membela hak-hak warga negara dan mempertahankan konstitusi. Gus Dur tidak ingin masuk ke ranah keyakinan suatu kelompok. Namun, apa pun pertentangan yang terjadi di masyarakat, tidak boleh mengurangi hak kewargaan komunitas tersebut, yang wajib dilindungi dan dipenuhi. Perbedaan dan bahkan pertentangan dalam masyarakat, menurut Gus Dur, justru sangat baik untuk kedewasaan umat. Bagi Gus Dur, masyarakat di lapisan bawah lebih arif. Kita pun tak perlu takut, apalagi histeris, menghadapi perbedaan. ●