Senin, 24 September 2012

Mencairkan Ketegangan Islam-Barat


Mencairkan Ketegangan Islam-Barat
Rumadi Ahmad ;  Peneliti Senior The WAHID Institute, 
Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
 
SINDO, 24 September 2012


Film tendensius berjudul Innocence of Muslims kembali menyulut ketegangan relasi Islam dan Barat. Film ini tampaknya memang sengaja dibuat untuk memancing emosi umat Islam. Jika ini benar, pembuat film ini terbilang sukses. 

Umat Islam di berbagai belahan dunia memang marah, melakukan aksi turun jalan yang sebagian berakhir bentrok dengan aparat kepolisian. Kedubes AS di Libya, Chris Stevens, bahkan tewas dalam serangan para demonstran. Meski secara politik AS tidak tahu menahu mengenai film itu, karena yang membuat film tersebut kebetulan berkewarganegaraan AS, kedutaan AS di sejumlah negara menjadi sasaran demonstrasi.

Ketegangan yang sekarang terjadi pada dasarnya merupakan pengulangan belaka dari sejumlah peristiwa sebelumnya. Beberapa peristiwa yang bisa disebut antara lain kasus film Fitna (2008) karya Geert Wilders, kartun Nabi Muhammad di koran Denmark, Jyllands Posten (2006), dan koran di Swedia, Nerikes Allehanda (2007), film Submission karya Theo van Gogh dan Hirsi Ali di Belanda (2004).

Sebelumnya, pada 1988, juga muncul novel Ayat-Ayat Setan karya Salman Rusdhie yang memicu ketegangan Islam dan Barat. Karya-karya tendensius tersebut, meskipun berlindung di balik kebebasan berpikir dan berekspresi, tampaknya memang ada unsur memprovokasi umat Islam yang mudah marah. Meski di negara Barat hal itu tidak dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, secara etis tidak bisa dilihat sebagai kebenaran.

Mereka bukan tidak tahu respons yang akan diberikan umat Islam. Jika umat Islam terpancing marah, apalagi dengan sikap anarkis, mereka akan dengan enteng mengatakan: “Tuh kan, Islam suka anarkistis”. Mereka akan bersukacita kalau mendapat legitimasi yang mengidentikkan Islam dan kekerasan, bahkan terorisme. Karena itu, sikap paling baik menanggapi provokasi itu tetap mengedepankan akal sehat. Saya yakin amarah dan gelombang demonstrasi di berbagai belahan dunia tidak akan menjadikan “pembenci” Islam kapok. Mereka justru akan semakin yakin dan tahu bagaimana memainkan psikologis umat Islam.

Dinamika Relasi Islam-Barat 

Sikap permusuhan terhadap Islam sebenarnya tidak selalu mencerminkan sikap politik dan cara pandang orang-orang Barat secara umum. Namun, kita tidak bisa menafikan, sebagaimana dalam Islam ada kelompok yang sepenuhnya anti-Barat, di Barat juga terdapat kelompok-kelompok yang anti-Islam. Mereka pada umumnya mempunyai gambaran yang negatif tentang Islam dan umat Islam. Meski masyarakat Barat cukup plural, terminologi Barat selalu identik dengan Kristen.

Sikap permusuhan dan curiga antara Islam dan Barat memiliki akar sejarah yang cukup panjang sejak abad pertengahan. Mujiburrahman (2007) dengan mengutip RW Southern (1962) dalam Western Views of Islam in Middle Age memetakan perkembangan pandangan orang-orang Barat terhadap Islam. Menurutnya, ada tiga tahap perkembangan tersebut yaitu tahap ketidaktahuan (ignorance), tahap penalaran dan harapan (reason and hope), dan tahap perkembangan ke depan (vision).

Pada tahap ketidaktahuan, periode sebelum 1100 M, orang-orang Barat menjelaskan tentang Islam dengan mencari informasi dalam Bibel. Di sini Islam diidentikkan sebagai anti-Kristus sehingga nanti Jesus akan turun kembali untuk menghancurkan mereka. Islam dan Nabi Muhammad dianggap sebagai perwujudan dari ramalan Kitab Daniel mengenai akan munculnya kerajaan yang tokoh-tokohnya menghina Tuhan Yang Agung, anti-Kristus.

Pada tahap kedua, sekitar pertengahan abad ke-12 hingga ke-13, pandangan tokoh-tokoh Kristen Barat mulai lebih rasional dan positif terhadap Islam. Pada fase ini teologi Islam yang monoteistik mulai dikenali orang-orang Barat. Karya-karya filosof muslim, terutama Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina, mulai dipelajari orang-orang Barat. Dari sini kemudian muncul pandangan bahwa Islam bukanlah agama paganisme, tapi sebagai bentuk penyelewengan atau sempalan dari Kristen.

Pada tahap ketiga, abad 14-16, pandangan orang Barat terhadap Islam terus berkembang. Pada fase ini, tokoh-tokoh gereja bukan hanya kritis terhadap Islam, melainkan juga terhadap gereja mereka sendiri yang kalah perang melawan Islam dalam perang Salib. Tokoh-tokoh Kristen berkeyakinan bahwa Islam memang harus dikalahkan melalui peperangan itu, namun mereka tidak yakin bisa selama orang Kristen bergelimang dosa.

Tahapan tersebut terus berkembang hingga munculnya kolonialisme Barat ke sejumlah negeri Islam. Ketika ekspansi Barat-Kristen ke dunia Islam semakin meluas, kajian-kajian terhadap Islam dan Nabi Muhammad terus berkembang pesat melalui studi-studi orientalis. Namun, orientalisme pun tidak berwajah tunggal.

Orientalis mengalami perkembangan lebih positif dengan munculnya tokoh seperti Montgomery Watt (1909-2006). Melalui karya-karyanya, dia memberi gambaran yang lebih adil kepada Nabi Muhammad. Namun, sebagai seorang pendeta Kristen, akhirnya dia berkesimpulan bahwa Muhammad menipu diri sendiri karena mengaku menerima wahyu dari Tuhan.

Mencairkan Ketegangan 

Upaya-upaya untuk mencairkan ketegangan Islam dan Barat sebenarnya sudah banyak dilakukan, baik melalui jalur diplomasi politik maupun melalui hubungan people to people. Forum-forum internasional berlabel interfaith dialog secara intensif dilakukan di berbagai negara. Presiden AS Barrack Obama ketika menyampaikan pidato pengukuhan sebagai presiden pada 2009 juga menyatakan: “To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict, or blame their society’s ills on the West — know that your people will judge you on what you can build, not what you destroy”.

Pada tahun yang sama, Obama menyampaikan hal kurang lebih sama ketika berkunjung ke Kairo. Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya belum cukup.
Negeri muslim pada umumnya belum sepenuhnya bisa mempercayai ketulusan Barat dalam menjalin persahabatan. Demikian juga sebaliknya, orang Barat dan komunitas politiknya masih menyimpan islamophobia, apalagi sering muncul aksi-aksi kekerasan atas nama agama.

Munculnya karya-karya provokatif seperti film Innocence of Muslims dan karya-karya sejenis lainnya akan semakin memperkuat ketidakpercayaan tersebut. Situasi demikian tidak bisa dibiarkan karena hanya akan menggerakkan peradaban dunia ke arah kegelapan. Karena itu, meski provokasi-provokasi kebencian terus dilakukan, upaya-upaya untuk menetralisasi ketegangan Islam dan Barat tetap harus dilakukan melalui dialog-dialog peradaban yang lebih konstruktif. Masyarakat kita juga perlu dididik untuk tidak merespons provokasi dengan amarah dan kekerasan, tapi perlu ditransformasikan dengan cara-cara yang lebih beradab.
◄ Newer Post Older Post ►