Tawuran: Apa yang Perlu Diajarkan di Sekolah? Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi, dan Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina, Jakarta |
INILAH.COM, 27 September 2012
Apa yang diajarkan di sekolah untuk mencegah tawuran? Mungkin sekali justru masih banyak sekolah absen dalam pengajaran dampak negatif tawuran bagi para siswa, selain akibat buruknya bagi reputasi sekolah bersangkutan.
Di mata siswa, boleh jadi mereka yang tawuran justru merasa mendapatkan ‘manfaat’ bagi dirinya. Di antaranya malah merasa ‘puas’ karena berhasil melampiaskan nafsunya menyakiti atau membunuh lawan atau minimal mengalahkan pihak ‘musuh’.
Menteri Pendidikan M.Nuh sempat kaget mendengar pengakuan AU yang diduga membunuh Deni Januar, siswa kelas XII SMA Yayasan Karya 66. “Siapa tidak terkejut. Membunuh orang puas. Saya tanya lagi, ‘Apa benar puas setelah membunuh’? Dia jawab, ’Puas Pak, tetapi saya agak menyesal!’ Baru kata penyesalan itu keluar,” kata Nuh.
Selain itu, boleh jadi mereka merasa menjadi pemberani, dan lebih pandai dalam berkelahi atau ‘ilmu’ bela diri, atau muncul sebagai ‘jagoan’, kayak lakon film laga dan para ‘pemberani’ di berbagai kericuhan yang sering ditunjukkan di televisi.
Namun jelas semua itu bukan manfaat yang absah, alias palsu belaka. Itu hanya fatamorgana. Malah, alih-alih sebagai ‘manfaat’, yang terjadi justru ‘mudharat’ (bahaya) yang amat besar, sehingga tawuran, sebagaimana bullying, sangat diharamkan.
Tetapi masalahnya, apakah para siswa SMU itu belajar yang demikian? Apakah mereka diajarkan bahwa kalau bukan kawan mereka yang menjadi korban, tawuran itu bisa juga mengancam diri mereka sendiri, dan bahwa akibat darah yang menetes atau muncrat itu bisa membuat orang tua mereka sendiri ‘nangis darah’ seumur hidup?
Di samping berbagai upaya lain yang mesti dilakukan, kiranya sekolah mesti mengajarkan beberapa hal penting ini. Pertama, kepada para guru, orang tua dan para siswa diajarkan bahwa tidak ada masalah bisa selesai dengan menggunakan kekerasan.
Alih-alih dari menggunakan ‘logika kekuatan’, semua mesti belajar menggunakan ‘kekuatan logika’ dalam setiap masalah, karena yang pertama hanya dipakai para penjahat yang terdesak atau saat orang dalam perang sedangkan yang kedua adalah alat bagi setiap menusia beradab dan beragama.
Mereka semua harus benar-benar paham bahwa ‘violence is contagious’, kekerasan itu menular. Dalam urusan ini, pihak yang berwenang, mulai dari orang tua siswa, pimpinan sekolah, dan aparat keamanan harus tegas dalam menindak pelaku tindakan violence sesuai aturan dan prosedur yang ada. Karena, sebagaimana pernah dikatakan tokoh pendidikan Anies Baswedan, “Resep membiarkan penularan kekerasan adalah ketika pelakunya tidak divonis.”
Anies pernah mengatakan bahwa di dalam pendidikan, banyak orang hanya melihat pentingnya pengetahuan (knowledge), padahal kalau hanya itu yang diperhatikan, sekolah justru mengunci – alias tidak ‘membebaskan’ -- anak didik. Pasalnya, selain knowledge, pendidikan seharusnya juga mengajarkan skill (kecakapan) dan attitude (sikap) yang lazimnya dipelajari lewat contoh tindakan, dan bukan hanya retorika.
Cinta, Role Model dan Komunikasi
Patut digarisbawahi, sekolah hendaknya juga mengajarkan cinta dan kepercayaan (trust); melakukan komunikasi yang terus menerus (konstan) dan membimbing anak didik untuk memiliki ‘role model’ bagi dirinya.
Role model itu penting bagi anak didik, sehingga sekolah perlu memperkenalkan mereka: tokoh, negarawan, pengusaha atau wiraswastawan besar dan kecil, motivator, agamawan yang toleran, budayawan, wartawan, filanstropis (dermawan) dan semua ‘pribadi ideal’ yang patut menjadi cermin bagi para siswa itu.
Datangkan mereka ke sekolah, perkenalkan riwayat hidup mereka – sehingga anak-anak itu tidak hanya mengenal tokoh film fiksi Hollywood melulu. Ada baiknya bila sesekali putarkan juga video tokoh inspiratif yang bisa turut membangkitkan motivasi.
Adapun soal cinta, tidak sekedar diceritakan, melainkan harus dipraktekkan. Lewat tindakan nyata, para pendidik mengajarkan bagaimana mereka mencintai keluarganya, bagaimana mereka mencintai dan menghormati guru mereka dulu, tetangga, dan kawan-kawan mereka. Datangkan juga orang-orang itu ke sekolah – perkenalkan, dan berikan kesempatan berinteraksi dengan para siswa.
Selain cinta, para siswa juga diberdayakan untuk menumbuhkan kepercayaan (trust) dalam kehidupan mereka. Lewat kegiatan pinjaman lunak untuk modal bisnis kecil-kecilan, misalnya, anak didik dapat diajari bagaimana dua hal sekaligus: bahwa penting sekali menjadi orang yang bisa dipercaya, dan bahwa mereka bisa belajar menjadi enterpreuner sejak muda.
Untuk semua yang di atas itu, komunikasi menjadi kunci terpenting. Komunikasi antar-siswa (baik dalam satu sekolah ataupun siswa sekolah lain), sebagaimana komunikasi antara siswa-orang tua-guru-manajemen sekolah, sangat vital sifatnya. Ia tidak saja harus dilakukan secara konstan, melainkan juga harus dilaksanakan secara dua arah dan simetris dan terus menerus.
Hanya dengan komunikasi model itu -- baik secara lisan maupun tertulis – maka keluhan dan berbagai permasalahan bisa dihadapi dengan baik. Semua ‘issue’ bisa ditengarai, sebelum ia meledak menjadi krisis semacam tawuran.
Ilmu Kehidupan dan Optimisme
Di sementara sekolah di Amerika, belakangan juga diajarkan beberapa hal berikut ini untuk menghindari bullying dan tawuran. Pertama praktek bela diri. Untuk ini, sekolah bisa mengajarkan kepada mereka, khususnya yang ‘lemah’, beberapa hal berkaitan dengan bela diri.
Bukan saja, bagaimana ‘menghindari serangan atau membalas pukulan penjahat secara efektif tapi aman’, melainkan juga prinsip-prinsip seperti ‘bagaimana menghindari mereka yang hendak menganiaya kamu’, dan sejenisnya.
Dalam kaitan ini, anak didik diajarkan prinsip-prinsip bahwa, untuk menjadi sukses mereka tidak perlu pandai berkelahi – dan ketika ada tokoh idola yang datang ke sekolah, ia pun bisa membantu menekankan pesan tersebut.
Selain itu, diajarkan juga hal praktis semisal, ‘Bagaimana mengetahui bahwa orang yang menghampirimu menyembunyikan senjata’, dan ‘dompetmu tidak seberharga nyawamu’.
Hal itu masih bisa dilengkapi dengan penyampaian pesan ‘mengapa senjata api dan pisau sama sekali tidak keren’, yang pelaksanaannya dilengkapi dengan presentasi multimedia dengan menunjukkan gambar menyeramkan akibat luka, video korban yang hidup di kursi roda, dan sebagainya.
Terakhir, anak didik selayaknya juga mendapatkan ‘ilmu sosial kehidupan’, yang mengajarkan kenyataan hidup pada mereka. Di sini, mereka jadi tahu bahwa ‘hidup memang keras, tapi aku harus tetap optimis ’, bahwa ‘kalian suatu saat juga akan meninggal sehingga perlu berbekal diri sejak muda’, dan bahwa kehidupan ‘indah’ ala film Hollywood itu tidak nyata.
Anak didik mesti tahu bahwa banyak orang mungkin harus hidup dalam tekanan, sehingga dapat dihinggapi depresi pada umur 20-an, akibat karir yang tersendat, putus cinta, kehilangan orang tua, dan sebagainya.
Namun semuanya bukan berarti kiamat, karena banyak kebaikan lain yang dapat membantu mencegah atau mengobati kesedihan luar biasa itu, misalnya melalui hubungan penuh cinta dengan teman, tetangga, famili; selalu bersikap optimis; saling membantu satu dengan yang lain; dan memantapkan keyakinan agama tentang Hari Pembalasan, dan sebagainya. ●