Hukum dan Kekuasaan Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta |
SINDO, 26 September 2012
Ada cerita fantasi dari Gede Parma dalam tulisan berjudul “Taman Kedamaian Indah Menawan” (24/07/09). Tikus serakah menjumpai penyihir. Terganggu oleh ulah kucing, ia minta diubah jadi kucing. Baru sehari jadi kucing, ia sudah tidak puas karena terganggu oleh anjing, memohonlah ia diubah jadi anjing. Sehari kemudian karena dikejar serigala, ia minta diubah menjadi serigala. Hari berikutnya karena serigala ini dikejar harimau, ia minta disihir jadi harimau. Ketika menjadi harimau, keserakahannya memuncak, ia mau menerkam penyihir agar hidupnya tidak berubah-ubah lagi. Marahlah penyihir, dikutuklah harimau sehingga menjadi tikus lagi.
Apabila cerita di atas direfleksikan ke dalam ihwal kekuasaan, tersirat ada sementara orang benar-benar haus kekuasaan. Kekuasaan dipandang sebagai penjamin keamanan, kenyamanan, kemakmuran dan segala kemewahan. Karenanya kekuasaan dicari dengan berbagai cara, tanpa peduli apakah rasional,wajar, ataukah penuh tipu daya. Pendek kata, demi kekuasaan segala cara dihalalkan. Dalam realitas kehidupan, banyak orang percaya bahwa kekuasaan dapat diperoleh dengan merekayasa hukum.
Misal ketika investor ingin mengembangkan usaha pertambangan, sementara izin usaha berbelit-belit, maka investor segera mendatangi pejabat setempat agar mengubah aturan perizinan.Tawar-menawar berlangsung. Seberapa besar ongkos mesti dibayar, secara timbal balik diperhitungkan dengan prospek keuntungan yang akan didapat. Kendala izin pertambangan teratasi dengan perubahan aturan main. Aspek legalitas memberikan kemudahan,kelancaran usaha sekaligus kekuasaan untuk membentengi diri dari siapa pun yang mengganggunya.
Kalau peradaban modern ditandai dengan pembatasan kekuasaan agar tidak digunakan sewenang-wenang, dan pembatasan itu dilakukan dengan rambu-rambu hukum,ternyata dalam perkembangannya justru berbalik, yaitu hukum dikendalikan kekuasaan. Pada kondisi demikian, perlindungan hak-hak warga negara sulit dijalankan efektif karena tirani kekuasaan berlangsung atas nama hukum. Relasi antara hukum dan kekuasaan terjalin erat, walaupun tidak mudah untuk menyatakan mana yang lebih dominan.
Ketika Adam dan Hawa dicipta sebagai penghuni surga, hukum diberlakukan atas mereka: ”Silakan bersenang- senang,berbuat apa saja, kecuali satu larangan, yaitu mendekati pohon khuldi.” Adam dan Hawa lalai terkena bujuk rayu Iblis. Pelanggaran hukum tak terhindarkan. Akibatnya fatal, sanksi hukum ditimpakan kepadanya.Adam dan Hawa tak kuasa membela diri,bahkan rela diturunkan ke bumi, tempat yang sarat pertumpahan darah.Taat pada hukum merupakan ciri dan bukti tingginya kadar ketakwaan.
Kini hukum dan kekuasaan sering melakukan kontrol secara timbal balik, kendati kekuatannya berbeda. Hukum negara memiliki kualitas kekuatan sebagai ”teknologi dan mesin”, bergerak tertib, teratur dan terukur, sedangkan kekuasaan memiliki kekuatan tak terstruktur,tergantung manusia pemegangnya (the man behind the gun). Agar kekuasaan tidak benturan dengan hukum, maka manuver kekuasaan ditempuh melalui berbagai cara.
Sihir dan suap merupakan cara lihai dan licik untuk memerangkap hukum masuk ke dalam skema kekuasaan. Ketika hukum dan kekuasaan telah berimpit melekat, kecenderungannya berubah menjadi ”tirani”. Demi hukum kekuasaan dijalankan dan demi kekuasaan hukum ditegakkan. Persoalannya, ke arah mana kiblat hukum dan kekuasaan itu? Benar bahwa tidak semua kekuasaan berwatak jahat, cenderung korup seperti dinyatakan Lord Acton. Ada kekuasaan berwatak mulia (benevolent).
Satjipto Rahardjo (2003) melukiskan ciri-ciri kekuasaan yang baik: (1) berwatak mengabdi kepada kepentingan umum, (2) melihat kepada lapisan masyarakat yang susah,(3) selalu memikirkan kepentingan publik, (4) kosong dari kepentingan subjektif, (5) kekuasaan yang mengasihi. Secara empiris kita sulit menemukan kekuasaan baik itu. Kekuasaan telah didominasi praktik politik kotor. Ketika hukum dipandang menjadi kendala kekuasaan, maka tak segan-segan hukum ditaklukkan agar mau mengabdi kepada kekuasaan.
Penaklukan hukum itu semakin intensif dan mendapatkan warnanya yang khas sejak era reformasi bergulir. Hukum negara sebagai produk politik semakin esoterik dan imun, tak tersentuh campur tangan publik. Logika Hans Kelsen bahwa hukum itu murni sebagai aktivitas ilmiah-akademis, netral, otonom, sungguh sangat ideal; tetapi hanya berlaku di anganangan. Realitas empiris bicara ”tidak ada hukum negara kecuali produk politik”.
Lantas, untuk apa naskah akademik dibuat mengawali penyusunan rancangan undang-undang? Ada atau tidak naskah akademik, proses penyusunan undang-undang terus berjalan.Sebagai formalitas, sering naskah akademik disusulkan kemudian, tanpa dipertimbangkan sebagai sumber perumusan substansi undang-undang. Dugaan bahwa undang-undang merupakan representasi tarik ulur kepentingan sulit dibantah.
Hemat saya, wajar dan rasional ajakan untuk tidak menerima hukum negara secara naif, yaitu hukum sebagai institusi yang otomatis dan absolut memberikan perlindungan, ketenteraman dan keadilan bagi semua warga negara. Jauh lebih riil memadankan hukum negara sebagai gerbong kereta api, penuh muatan kepentingan aktoraktor politik dan kroninya. Niatnya bukan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi menghimpun kekuasaan agar semakin besar dan mempertahankannya selama mungkin.
Hendaknya kita sadar mengenai praktik dan kecenderungan politik hukum salah kiblat itu. Seiring dengan itu, perlu perubahan mindset,sikap dan perilaku: (1) rekonstruksi politik hukum dengan menempatkan Pancasila sebagai paradigma, (2) perkuat posisi dan peran akademisi-ilmuwan sebagai pemikir utama dalam mewujudkan ius constituendum, (3) cita-cita nasional termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi kiblat dan pengendali kualitas hukum negara. Yuk, kita basmi tikus-tikus serakah agar tidak mempermainkan hukum dan kekuasaan. Wallahua’lam. ●