Jumat, 28 September 2012

Malapetaka Kekeringan


Malapetaka Kekeringan
Gatot Irianto ; Pengajar Analisis Sistem Hidrologi Sekolah Pascasarjana IPB
KOMPAS, 28 September 2012


Pentas drama ”malapetaka kekeringan” yang menimpa rakyat miskin sedang berlangsung di depan mata.

Laju penguapan air yang sangat tinggi berlangsung pada periode waktu yang panjang. Air permukaan di waduk, danau, embung, serta sawah terkuras habis, mengering sangat cepat. Tanaman mati kering terbakar terik matahari. Transformasi suhu medium dan kelembaban humid menjadi suhu tinggi, kering, dan gersang menjadikan kekeringan kali ini luar biasa intensitasnya.

Wajar kalau masyarakat panik karena terjadi mendadak. Gagal panen di lahan tadah hujan dengan konsentrasi rakyat miskin tinggi menjadi keniscayaan.

Pengamanan standing crops melalui optimalisasi sumber air setempat dan mobilisasi brigade pemadam kekeringan di tingkat kecamatan harus diintensifkan. Penanganan kekeringan juga harus dilakukan secara luar biasa, ditopang asuransi pertanian yang bagi petani miskin preminya disubsidi pemerintah. Integrasi asuransi pertanian melekat dalam good agriculture practices menjadikan petani aman dan terlindungi dari deraan iklim. Indikator keberhasilannya adalah masalah kekeringan teratasi secara permanen. Kalau kekeringan masih terus berulang pada lokasi dan periode yang sama, berarti tindakan lapangan dalam mengatasi kekeringan selama ini bersifat ad hoc, parsial yang tidak menyentuh masalah fundamentalnya.

Distruksi Legal dan Ilegal
Eksploitasi legal ataupun ilegal sumber daya hutan, lahan, dan air biang kerok distruksi sistemik sumber daya. Hutan, lahan, dan air menjadi pilihan pertama dieksploitasi karena paling mudah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah. Dahsyatnya alih fungsi hutan ke nonhutan dan sawah kelas satu menjadi bangunan masif merupakan fakta konkretnya.
Implikasinya, hubungan pendek pada siklus hidrologi meluas. Air hujan tak disimpan ke dalam tanah, tetapi mengalir jadi banjir dan ke laut. Permukaan tanah yang padat, tertutup bangunan, beton atau aspal, menyebabkan cadangan air merosot drastis sehingga tanah dan vegetasi cepat kering serta mudah terbakar. Ketika temperatur udara dan radiasi matahari mencapai puncaknya, pengurasan cadangan air tanah dipercepat.

Itu sebabnya kekeringan kali ini sangat terik dan menyengat. Air terkuras habis, tanah langsung retak menganga, dan tanaman kering mati terbakar radiasi matahari. Air hujan menjadi satu-satunya sumber air untuk mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat.

Kiamat kecil sudah terjadi berulang bagi rakyat miskin. Kita harus belajar dari malapetaka kekeringan di Amerika dan banjir di China. Teknologi secanggih apa pun terbukti tidak mampu mengatasi fenomena iklim ekstrem.

Redistribusi dan Revisi
Remidiasi daya sangga lahan dan air, redistribusi lahan serta revisi UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air merupakan pilihan penyelesaian. Langkah konkret remidiasi dilakukan melalui peningkatan kualitas dan pengurangan beban atas lahan dan air. Pencegahan erosi dan degradasi, pemberian bahan organik produksi in situ, serta pengembangan sumber air dan mata air baru merupakan pilihannya.

Redistribusi lahan kepada petani miskin sebagai implementasi amanat konstitusi akan meningkatkan rasio luas kepemilikan lahan sehingga meningkatkan kapasitas penyangga lahan dan air. Melalui renegosiasi dengan pemilik hak guna usaha (HGU) potensial telantar, sekitar 4,2 juta hektar, merupakan pilihan yang bijaksana. Pemilik HGU dapat menjadikan rakyat sebagai plasmanya sehingga sektor produksi dapat diakselerasi dan tekanan terhadap eksploitasi lahan dan air dapat dikendurkan.

Pemilik HGU telantar harus membangun keadilan atas akses lahan dan mengambil pelajaran atas konflik lahan di Tanah Air yang semakin meningkat. Jangan menunggu rakyat mengamuk dan mengokupasi lahan HGU secara paksa. Biaya sosial, politik, dan ekonominya sangat mahal. Peningkatan akses lahan melalui izin pinjam hutan produksi yang dapat dikonversi, yang diprakarsai Kementerian Kehutanan seluas 307.000 hektar, 
perlu diakselerasi pemanfaatannya.

Revisi UU No 7/2004 harus dilakukan agar okupasi dan eksploitasi sumber air dan mata air utama secara masif dapat dihentikan. Pemberian hak guna air kepada swasta harus diakhiri. Air adalah barang publik, bukan obyek yang diperdagangkan. Secara simultan panen hujan dan aliran permukaan (rainfall and runoff harveting) di seluruh permukaan daerah aliran sungai harus diintensifkan.

Skenario ini memungkinkan terjadinya penumbuhan sumber air baru, remidiasi daya sangga lahan dan air, sekaligus meningkatkan pilihan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan airnya. Keberhasilan penumbuhan mata air di beberapa tempat di Kabupaten Gunung Kidul, yang pada 1970-an merupakan daerah kering dan tandus, bukti konkret kita mampu meremidiasi lingkungan dengan sumber daya yang kita miliki. ●
◄ Newer Post Older Post ►