Menunggu Gebrakan Jokowi Syamsudin Haris ; Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) |
SINDO, 25 September 2012
Ketika saya menyapa Joko Widodo alias Jokowi dan meyakinkan dia bakal menang dalam Pilkada Jakarta, Wali Kota Solo itu dengan ringan menjawab, “Agak berat, Mas. Saya hanya ikut meramaikan saja.”
Pertemuan singkat di Starbucks, Terminal II Bandara Soekarno-Hatta, sekitar satu setengah bulan menjelang pilkada putaran pertama itu meninggalkan kesan dalam buat saya. Kesan itu tidak lain adalah sosok personal Jokowi yang rendah hati. Saya menduga, personalitas Jokowi inilah sebenarnya yang menjadi faktor kunci kemenangannya bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada putaran pertama dan kedua Pilkada Jakarta yang lalu.
Sebab saat ini tidak banyak pemimpin dan calon pemimpin yang rendah hati dan mau mendengar aneka persoalan yang dihadapi masyarakat kita. Kecenderungan hampir semua politisi, pejabat pemerintah ataupun pejabat negara, bahkan tokoh masyarakat kita dewasa ini, adalah membangun pencitraan diri secara berlebihan. Sebagian tokoh bahkan cenderung menggurui, arogan, dan tidak mau mendengarkan orang lain.
Akibatnya, tujuan semula hendak merebut simpati dan hati publik, namun karena berlebihan, bahkan mungkin dilakukan secara manipulatif, pencitraan diri akhirnya berbuah antipati publik. Karena itu, sosok personal Jokowi yang rendah hati, terbuka, jujur, dan tampil apa adanya, benar-benar ibarat oase yang tiba-tiba hadir di tengah padang tandus kepemimpinan negeri ini.
Blunder
Kecenderungan pencitraan diri secara berlebihan seperti inilah yang menjadi faktor penting kegagalan Fauzi Bowo alias Foke memperpanjang masa jabatannya sebagai gubernur. Dalam berbagai kesempatan yang diliput media, Foke mencitrakan diri sebagai sosok gubernur yang berhasil memimpin ibu kota negara.Klaim yang sering kali didukung angka-angka statistik ini memang sangat meyakinkan.
Namun Foke lupa bahwa masyarakat Jakarta adalah pemilih kritis dan paling terdidik se-Tanah Air. Angka-angka statistik cenderung tidak berguna ketika dalam keseharian masyarakat menghadapi realitas kemacetan, ketidaknyamanan, dan semakin hilangnya rasa aman akibat tindak kekerasan dan premanisme yang tidak pernah berkurang. Ironisnya Nachrowi Ramli alias Nara, calon wakil gubernur pendamping Foke, kurang cerdas dalam memahami karakter masyarakat Jakarta yang kritis, heterogen secara sosial dan amat plural secara kultural.
Dalam sejumlah forum kampanye, penampilan Nara kurang memperoleh simpati publik karena pernyataan pernyataan yang acap mendiskreditkan pihak lain. Penampilan Nara dalam debat di Metro TV yang menyapa Ahok dengan kata-kata “haiyya Ahok” yang cenderung bernada rasial sangat mungkin justru menjadi blunder bagi pasangan Foke-Nara dalam meraih dukungan. Blunder lain yang tampaknya tidak diduga Foke-Nara kecenderungan mengungkit latar belakang etnis dan agama Jokowi-Ahok.
Baik Foke maupun Nara bukannya mengklarifikasi atau mengoreksi kampanye hitam para pendukung dan simpatisan mereka, tetapi justru “menikmatinya”, seolah-olah masyarakat Jakarta memilih pemimpin berdasarkan preferensi etnis dan agama. Foke-Nara lagi-lagi lupa bahwa Jakarta adalah miniatur Indonesia, sehingga tidak pernah menjadi milik etnis atau agama tertentu, melainkan menjadi milik semua etnis dan agama yang ada di Tanah Air.
Tidak Ada yang Menonjol
Di luar soal sosok personal Jokowi yang sangat “menjual”, secara jujur harus diakui sebenarnya hampir tidak ada prestasi dan pencapaian menonjol Fauzi Bowo selama lima tahun menjadi gubernur Jakarta. Berbagai proyek transportasi massal yang diharapkan dapat mengatasi kemacetan Jakarta yang amat parah, seperti proyek kereta layang rel tunggal (monorel) dan mass rapid transit (MRT), berhenti sebagai rencana.
Menjelang Pilkada Jakarta baru muncul kembali baliho-baliho besar mengepung kota yang berbunyi, “MRT Mulai Dibangun Akhir Tahun 2012”. Padahal, studi proyek MRT sendiri sudah dirintis sejak tahun 1986 alias 26 tahun yang lalu. Dengan nilai total APBD DKI Jakarta sebesar lebih dari Rp138 triliun selama lima tahun (2007-2012), sebenarnya proyek transportasi massal bukanlah persoalan besar bagi seorang gubernur.
Soalnya biaya pembangunan MRT diperkirakan hanya mencapaiRp14-16triliun rupiah, suatu jumlah yang relatif “kecil” dibandingkan manfaatnya dalam menanggulangi kemacetan dan ledakan sepeda motor yang menyesaki setiap ruang di Jakarta.Toh, nilai total pembiayaan pembangunan MRT itu bisa dialokasikan setiap tahun anggaran selama lima tahun. Beban sang Gubernur tentu bakal berkurang lagi jika sebagian pembiayaan MRT ditanggung oleh swasta yang akan mengelola pengoperasiannya selama jangka waktu tertentu.
Pengalaman berbagai kota besar dunia lainnya menunjukkan tidak ada yang sulit dilakukan dalam membangun sistem transportasi massal yang layak jika ada visi, komitmen serius, dan kepemimpinan dari otoritas kota atau daerah. Kota Bangkok yang semula lebih macet dibandingkan Jakarta kini relatif terurai dan lancar karena berhasil membangun transportasi massal yang memadai. Begitu pula kota-kota besar dunia lainnya di Asia, Eropa, dan Amerika. Jadi, wajar saja jika kemudian Foke-Nara tidak dipercaya lagi oleh mayoritas warganya untuk mengurus Jakarta.
Tantangan Jokowi
Jika pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta menetapkan Jokowi-Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur baru, tantangan terbesar yang segera menghadang adalah mengonversi kepercayaan dan harapan publik yang begitu besar menjadi kerja serius, terencana, dan terukur, sehingga kelalaian Fauzi Bowo tidak terulang. Jakarta jelas bukan Solo yang memiliki kompleksitas persoalan tidak serumit ibu kota negara.
Karena itu, yang ditunggu masyarakat Jakarta pasca-pilkada bukan lagi sekadar sosok personal Jokowi yang rendah hati, terbuka, dan jujur, tetapi juga kepemimpinan institusional yang tegas dan benarbenar berpihak pada kepentinganmayoritaswargaJakarta. Bujuk rayu para pengusaha dan pemodal besar,tekanan kekuatan- kekuatan politik besar, dan tindakan premanisme para raja jalanan Jakarta adalah gabungan persoalan yang hampir pasti bakal dihadapi Jokowi.
Dalam situasi demikian tidak ada pilihan lain bagi Jokowi kecuali bersikap tegas dan bertindak keras, tentu atas dasar hukum yang berorientasi rasa keadilan bagi masyarakat. Kita semua menunggu gebrakan kebijakan Jokowi bagi Jakarta, sehingga benar-benar bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin dan calon pemimpin daerah lain untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. ●
Sebab saat ini tidak banyak pemimpin dan calon pemimpin yang rendah hati dan mau mendengar aneka persoalan yang dihadapi masyarakat kita. Kecenderungan hampir semua politisi, pejabat pemerintah ataupun pejabat negara, bahkan tokoh masyarakat kita dewasa ini, adalah membangun pencitraan diri secara berlebihan. Sebagian tokoh bahkan cenderung menggurui, arogan, dan tidak mau mendengarkan orang lain.
Akibatnya, tujuan semula hendak merebut simpati dan hati publik, namun karena berlebihan, bahkan mungkin dilakukan secara manipulatif, pencitraan diri akhirnya berbuah antipati publik. Karena itu, sosok personal Jokowi yang rendah hati, terbuka, jujur, dan tampil apa adanya, benar-benar ibarat oase yang tiba-tiba hadir di tengah padang tandus kepemimpinan negeri ini.
Blunder
Kecenderungan pencitraan diri secara berlebihan seperti inilah yang menjadi faktor penting kegagalan Fauzi Bowo alias Foke memperpanjang masa jabatannya sebagai gubernur. Dalam berbagai kesempatan yang diliput media, Foke mencitrakan diri sebagai sosok gubernur yang berhasil memimpin ibu kota negara.Klaim yang sering kali didukung angka-angka statistik ini memang sangat meyakinkan.
Namun Foke lupa bahwa masyarakat Jakarta adalah pemilih kritis dan paling terdidik se-Tanah Air. Angka-angka statistik cenderung tidak berguna ketika dalam keseharian masyarakat menghadapi realitas kemacetan, ketidaknyamanan, dan semakin hilangnya rasa aman akibat tindak kekerasan dan premanisme yang tidak pernah berkurang. Ironisnya Nachrowi Ramli alias Nara, calon wakil gubernur pendamping Foke, kurang cerdas dalam memahami karakter masyarakat Jakarta yang kritis, heterogen secara sosial dan amat plural secara kultural.
Dalam sejumlah forum kampanye, penampilan Nara kurang memperoleh simpati publik karena pernyataan pernyataan yang acap mendiskreditkan pihak lain. Penampilan Nara dalam debat di Metro TV yang menyapa Ahok dengan kata-kata “haiyya Ahok” yang cenderung bernada rasial sangat mungkin justru menjadi blunder bagi pasangan Foke-Nara dalam meraih dukungan. Blunder lain yang tampaknya tidak diduga Foke-Nara kecenderungan mengungkit latar belakang etnis dan agama Jokowi-Ahok.
Baik Foke maupun Nara bukannya mengklarifikasi atau mengoreksi kampanye hitam para pendukung dan simpatisan mereka, tetapi justru “menikmatinya”, seolah-olah masyarakat Jakarta memilih pemimpin berdasarkan preferensi etnis dan agama. Foke-Nara lagi-lagi lupa bahwa Jakarta adalah miniatur Indonesia, sehingga tidak pernah menjadi milik etnis atau agama tertentu, melainkan menjadi milik semua etnis dan agama yang ada di Tanah Air.
Tidak Ada yang Menonjol
Di luar soal sosok personal Jokowi yang sangat “menjual”, secara jujur harus diakui sebenarnya hampir tidak ada prestasi dan pencapaian menonjol Fauzi Bowo selama lima tahun menjadi gubernur Jakarta. Berbagai proyek transportasi massal yang diharapkan dapat mengatasi kemacetan Jakarta yang amat parah, seperti proyek kereta layang rel tunggal (monorel) dan mass rapid transit (MRT), berhenti sebagai rencana.
Menjelang Pilkada Jakarta baru muncul kembali baliho-baliho besar mengepung kota yang berbunyi, “MRT Mulai Dibangun Akhir Tahun 2012”. Padahal, studi proyek MRT sendiri sudah dirintis sejak tahun 1986 alias 26 tahun yang lalu. Dengan nilai total APBD DKI Jakarta sebesar lebih dari Rp138 triliun selama lima tahun (2007-2012), sebenarnya proyek transportasi massal bukanlah persoalan besar bagi seorang gubernur.
Soalnya biaya pembangunan MRT diperkirakan hanya mencapaiRp14-16triliun rupiah, suatu jumlah yang relatif “kecil” dibandingkan manfaatnya dalam menanggulangi kemacetan dan ledakan sepeda motor yang menyesaki setiap ruang di Jakarta.Toh, nilai total pembiayaan pembangunan MRT itu bisa dialokasikan setiap tahun anggaran selama lima tahun. Beban sang Gubernur tentu bakal berkurang lagi jika sebagian pembiayaan MRT ditanggung oleh swasta yang akan mengelola pengoperasiannya selama jangka waktu tertentu.
Pengalaman berbagai kota besar dunia lainnya menunjukkan tidak ada yang sulit dilakukan dalam membangun sistem transportasi massal yang layak jika ada visi, komitmen serius, dan kepemimpinan dari otoritas kota atau daerah. Kota Bangkok yang semula lebih macet dibandingkan Jakarta kini relatif terurai dan lancar karena berhasil membangun transportasi massal yang memadai. Begitu pula kota-kota besar dunia lainnya di Asia, Eropa, dan Amerika. Jadi, wajar saja jika kemudian Foke-Nara tidak dipercaya lagi oleh mayoritas warganya untuk mengurus Jakarta.
Tantangan Jokowi
Jika pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta menetapkan Jokowi-Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur baru, tantangan terbesar yang segera menghadang adalah mengonversi kepercayaan dan harapan publik yang begitu besar menjadi kerja serius, terencana, dan terukur, sehingga kelalaian Fauzi Bowo tidak terulang. Jakarta jelas bukan Solo yang memiliki kompleksitas persoalan tidak serumit ibu kota negara.
Karena itu, yang ditunggu masyarakat Jakarta pasca-pilkada bukan lagi sekadar sosok personal Jokowi yang rendah hati, terbuka, dan jujur, tetapi juga kepemimpinan institusional yang tegas dan benarbenar berpihak pada kepentinganmayoritaswargaJakarta. Bujuk rayu para pengusaha dan pemodal besar,tekanan kekuatan- kekuatan politik besar, dan tindakan premanisme para raja jalanan Jakarta adalah gabungan persoalan yang hampir pasti bakal dihadapi Jokowi.
Dalam situasi demikian tidak ada pilihan lain bagi Jokowi kecuali bersikap tegas dan bertindak keras, tentu atas dasar hukum yang berorientasi rasa keadilan bagi masyarakat. Kita semua menunggu gebrakan kebijakan Jokowi bagi Jakarta, sehingga benar-benar bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin dan calon pemimpin daerah lain untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik. ●