Selasa, 18 September 2012

Mengkaji Boikot Bayar Pajak


Mengkaji Boikot Bayar Pajak
Chandra Budi ;  Bekerja di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan,
Alumnus Pascasarjana IPB
JAWA POS, 18 September 2012


KETIKA Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) KH Said Aqil Siradj mengemukakan akan meninjau ulang kewajiban membayar pajak, semua pihak terkejut. Bahkan, wacana tersebut berkembang menjadi desakan agar PB NU mengeluarkan rekomendasi atau fatwa agar masyarakat tidak membayar pajak sebagai akibat maraknya korupsi atas uang pajak tersebut. 

Begitu pula pada pidato pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) Alim Ulama NU, 15-17 September 2012 di Pesantren Kempek Cirebon, KH Said Aqil Siradj kembali menyebutkan, jika pajak dikorupsi, kewajiban membayar pajak akan ditinjau ulang. 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa tinjauan ulang atas kewajiban membayar pajak ini sangat mungkin karena pajak merupakan kewajiban kenegaraan, bukan kewajiban agama. Warga NU wajib membayar pajak karena taat kepada negara, bukan menjalankan kewajiban agama seperti halnya kewajiban zakat.

Menarik untuk membahas munculnya ajakan tidak membayar (boikot) pajak atas rekomendasi Munas Alim Ulama NU. Setidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakanginya. Mengutip pendapat salah satu Ketua PB NU KH Masdar Farid Mas'udi, dalam bukunya Pajak Itu Zakat (Mizan, 2005) yang menyatakan bahwa esensi pajak itu sebenarnya adalah zakat yang dibayarkan ke negara dengan maksud untuk kesejahteraan rakyat. 

Tujuan pajak dan zakat pun sama, yaitu redistribusi kekayaan untuk kemaslahatan dan keadilan bagi semua. Karena makna pajak adalah zakat, hak pemajakan merupakan mandat dari Allah, yang dananya milik Allah. Sebagai milik Allah, pajak yang dihimpun pemerintah haruslah dipergunakan untuk kepentingan yang diizinkan Allah, yakni kemakmuran segenap rakyat, terutama yang tidak mampu. 

Nah, wacana boikot pajak bermuara dari kekhawatiran bahwa pemerintah tidak memedulikan aspirasi keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Tentu, secara formal pemerintah telah memiliki komitmen untuk tetap menyejahterakan rakyatnya. Itu dilakukan melalui alokasi belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dititikberatkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Namun, dalam praktiknya, harus diakui masih ada penyelewengan oleh oknum pejabat negara yang berkolusi dengan oknum masyarakat yang memanfaatkan uang pajak untuk kepentingan pribadi.

Lantas, apakah wacana boikot pajak saat ini sudah tepat? Kalau berkaca pada pendapat KH Masdar Farid Mas'udi di atas, selama pemerintah masih berkomitmen dan konsisten untuk tetap adil dan menyejahterakan rakyatnya, wacana boikot pajak justru menyebabkan pemerintah semakin terperosok dalam ketidakadilan. Ya, bagaimana dapat menjalankan program prorakyat kalau uang pajak untuk membiayainya tidak tersedia. 

Akibatnya, rakyat menjadi semakin miskin, keadilan sulit ditegakkan, dan redistribusi pendapatan tidak berjalan. Negara akan gagal menjalankan fungsinya dan terancam bubar. Karena itu, yang diperlukan adalah pengawasan bersama oleh semua pihak terkait agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya secara akuntabel, transparan, dan bersih. 

Mengawal Komitmen 

Setidaknya ada dua aksi nyata pemerintah untuk mewujudkan komitmen terhadap rasa keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertama, menempatkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam isi UUD 1945 diatur dengan jelas kewajiban warga negara menaati hukum pajak dan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, setiap warga negara Indonesia wajib menaati hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kewajiban membayar pajak diatur dalam pasal 23A UUD 1945, yaitu pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, dapat dikatakan, kewajiban membayar pajak oleh warga negara Indonesia merupakan wujud ketaatan terhadap hukum yang berlaku.

Secara filosofis, kewajiban membayar pajak juga merupakan bentuk partisipasi warga kepada negaranya. Partisipasi ini bahkan setara dengan hak dan kewajiban warga negara yang lain, yaitu ikut serta dalam upaya pembelaan negara sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (3) UUD 1945. Karena itu, apabila setiap warga negara mematuhi kewajiban membayar pajak, hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dapat tercukupi.

Aksi nyata pemerintah kedua yaitu menempatkan anggaran belanja yang berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat miskin (pro poor), penciptaan lapangan kerja (pro job), peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro growth), dan ramah lingkungan (pro environment). Direncanakan, pada 2013 penerimaan pajak menembus angka Rp 1.031 triliun dan lebih dari 80 persen dibelanjakan untuk mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pemerintah menempatkan alokasi pendidikan 20 persen dari seluruh rencana anggaran belanja 2013 sebesar Rp 1.657,9 triliun. Pemerintah menyadari pendidikan merupakan kunci bagi rakyat miskin untuk keluar dari jerat kemiskinan. 

Sikap prorakyat semakin ditunjukkan dengan mengalokasikan 19,1 persen dari total anggaran belanja untuk keperluan subsidi. Mekanisme subsidi masih diyakini dinikmati sebagian besar rakyat kecil, terutama subsidi bahan bakar minyak dan listrik. Alokasi belanja yang cukup besar lain adalah pada program penanggulangan kemiskinan, yaitu 6,4 persen dari total anggaran belanja. 

Bila pemerintah telah nyata-nyata menjadi zalim, pembangkangan sosial dalam bentuk boikot pajak tentu didukung oleh seluruh rakyat. Namun, selama ini pemerintah telah menunjukkan komitmen nyata untuk menyejahterakan rakyat. Jadi, buat apa boikot pajak?
◄ Newer Post Older Post ►