Senin, 24 September 2012

Komitmen Membela Petani



Entang Sastraatmadja ;  Ketua Harian Dewan Pengurus Daerah (DPD) 
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat
SUARA KARYA, 24 September 2012


Hampir di seluruh negara, yang namanya kaum tani selalu dilindungi oleh pemerintahannya. Walau bentuk perlindungan dan pembelaannya berbeda-beda, namun tujuan yang ingin diraihnya tetap berujung pada terjelmanya kondisi kehidupan yang lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya.

Bekerja, bermartabat dan sejahtera adalah slogan yang kerap kali mengumandang dan dijadikan semangat yang harus sesegera mungkin dapat diwujudkan. Itulah sebabnya, niat para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lewat usul inisiatifnya untuk melahirkan Undang Undang tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, rasa-rasanya pantas diberi acungan jempol.

Indonesia dikenal sebagai negeri agraris, selain juga sebagai negara maritim. Selama hampir 67 tahun Indonesia merdeka, baru dalam beberapa tahun belakangan ini ada kehendak untuk menerbitkan regulasi sekelas undang-undang yang "berani" berbicara soal petani dan nelayan.

Sebelum-sebelumnya, dalam mempersepsikan pembangunan pertanian, pemerintah terekam lebih terpukau oleh hal-hal yang bersifat fisik dan kapital. Sektor pertanian pun lebih dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan produksi dengan hasil sekian ton per hektar. Peningkatan produksi pun dijadikan salah satu ideologi pembangunan pertanian yang harus diwujudkan.

Pemerintah lebih suka menghitung berapa sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), misalnya, ketimbang berpikir cerdas untuk meningkatkan pendapatan para petani. Pemerintah lupa bahwa di balik terjadinya peningkatan produksi dan produktivitas tersebut, ada yang namanya petani.

Mereka inilah sesungguhnya yang menjadi subjek dari pembangunan pertanian yang selama ini telah mampu menorehkan berbagai kisah sukses, baik di dalam negeri maupun di panggung dunia. Di benak petani, prestasi Pemerintah Orde Baru (Orba) dalam meraih swasembada beras, tidak berarti apa-apa sekiranya kondisi kehidupannya tidak mengalami banyak perubahan.

Namun sangat disayangkan, paradigma pembangunan pertanian yang kita lakoni, belum memberi penghormatan yang memadai bagi para petani. Pemerintah lebih fokus pada upaya peningkatan produksi guna menggapai swasembada. Langkah ini cukup berhasil, di mana pada tahun 1984 kita sudah mampu menjadi bangsa yang mampu berswasembada beras. Anehnya, keberhasilan merebut swasembada beras tersebut tidaklah diikuti dengan semakin membaiknya kesejahteraan petani.

Akibatnya, wajar, jika di tengah-tengah hasrat pemerintah untuk mewujudkan swasembada beras, kedele, jagung, daging dan gula yang harus dicapai pada tahun 2014 mendatang, maka sedini mungkin perlu dipahami juga soal kesejahteraan para petaninya.

Artinya, buat apa kita dapat menggapai swasembada, kalau para petaninya tetap berada dalam suasana hidup yang memprihatinkan. Malah, akan lebih memilukan jika di belakang kesuksesan swasembada lima komoditas strategis beras, kedele, jagung, daging dan gula di atas, para petaninya malah tetap saja terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal.

Melindungi dan membela petani selaku warga bangsa, jelas membutuhkan komitmen yang jelas dan tegas. Tanpa adanya komitmen, sebagus apa pun paradigma yang kita bangun, ujung-ujungnya cenderung akan dikalahkan oleh beragam kepentingan. Apalagi, dalam era reformasi, di mana banyak ditemukan 'keanehan-keanehan' dalam kehidupan berdemokrasi.

Kiprah para "raja kecil" di daerah terkadang menjadikan pembangunan pertanian dan petaninya kian terpinggirkan dari pentas pembangunan. Mereka kerap kali memandang sektor pertanian dengan sebelah mata. Mereka rupanya lebih terpesona dengan kegiatan-kegiatan yang quick yealding dan jelas takaran hasilnya.

Mengingat pertanian dianggap kegiatan yang membutuhkan waktu cukup lama, maka sektor ini tidak pernah dijadikan prioritas. Malah kalau perlu lahan-lahan pertanian dialih-fungsikan saja untuk diganti dengan mal atau perumahan.

Mudah-mudahan ke depan kita akan memiliki pemimpin yang dalam nuraninya tertanam hasrat untuk melindungi dan membela petani. Ya, kita lihat saja perkembangannya. Mudah-mudahan peringatan Hari Tani yang jatuh pada 24 September 2012 ini mampu memberi berkah bagi kehidupan petani di negeri ini.
◄ Newer Post Older Post ►