Minggu, 30 September 2012

Parpol Berparas Perempuan


Parpol Berparas Perempuan
Moh Ilham A Hamudy ;  Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri
REPUBLIKA, 29 September 2012


Demokrasi adalah sebuah proses inklusif. Oleh karena itu, dalam kehidupan demokrasi yang sehat, semua perspektif dari berbagai kelompok kepentingan harus dipertimbangkan secara saksama. Kepentingan dan pandangan kaum laki-laki, perempuan, serta kelompok minoritas, merupakan bagian mutlak dari proses pengambilan keputusan.

Kendati begitu, alih-alih dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, keterwakilan kaum perempuan dalam institusi politik di Indonesia, terutama partai politik (parpol), justru sangat minimal. Pelbagai tantangan dan kendala mengadang para perempuan untuk masuk ke dalam parpol. Di antaranya adalah kurangnya dukungan partai, keluarga, dan masih kentalnya iklim perpolitikan yang menonjolkan unsur kelelakian (masculine model).

Kesetaraan gender belumlah tecermin dalam keterwakilan perempuan dan laki-laki di bidang politik. Hingga saat ini partisipasi perempuan dalam aktivitas kepartaian masih sangat rendah. Meskipun jumlah perempuan di DPR kita mengalami peningkatan, yaitu dari 11,3 persen pada Pemilu 2004 menjadi 18 persen pada Pemilu 2009.

Padahal, tugas menyamakan perwakilan laki-laki dan perempuan harus dimulai dalam tubuh partai-partai politik. Namun, dalam konteks politik Indonesia, karakter dan ciri parpol masih banyak menimbulkan kendala bagi keterlibatan perempuan dalam dunia politik.

Secara umum, biasanya parpol yang berkuasa dan mapan akan mempertahankan sikap konservatif terhadap perempuan dan tidak mau melihat, serta menyesuaikan diri dengan arus perubahan radikal yang menggejolak di masyarakat.

Hanya parpol alternatif, dan biasanya parpol kecil, yang dinamis mau memberikan peluang dan kesempatan lebih besar kepada perempuan. Selebihnya, banyak parpol mengaku kekurangan sumber daya untuk menempatkan perempuan dalam parpol. Alasan klasiknya, susah mencari kader perempuan yang mumpuni.

Melibatkan Perempuan

Sementara itu, hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia (HAM). Dan, HAM sejatinya merupakan esensi dari kerangka demokrasi.

Sehingga, melibatkan perempuan dan laki-laki dalam parpol menjadi syarat mutlak bagi demokrasi. Apalagi, dalam teori politik, jelas tidak ada dikotomi perempuan dan laki-laki. Meski kenyataannya, hak perempuan dalam berpolitik acap dipolitisasi dan dimobilisasi atas nama demokrasi.

Jika ditelisik, akar persoalannya adalah parpol memang tidak mempunyai political will dan prosedur perekrutan yang transparan untuk menempatkan perempuan dalam parpol. Bukan semata-mata kekurangan kader perempuan yang mumpuni. Gelagat parpol seperti ini agaknya terus saja menghalangi terpilihnya perempuan menjadi pengurus parpol meskipun UU Parpol dan UU Pemilu terbaru sudah mengakomodasinya, 30 persen keterwakilan perempuan.

Celakanya, kondisi ini semakin diperparah oleh keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tempo hari resmi mencabut aturan yang mereka tetapkan sendiri terkait syarat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Menurut KPU, parpol cukup memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan di tingkat pusat (4/9).

Pasal 4 Peraturan KPU No 8 Tahun 2012 mensyaratkan parpol calon peserta Pemilu 2014, antara lain, harus menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Namun, setelah konsultasi KPU dengan pemerintah dan Komisi II DPR, KPU malah mengubah aturannya sendiri.

Menurut KPU, ketentuan keterwakilan 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol pada UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD hanya di tingkat pusat.

KPU cuma meminta kepada parpol yang tidak mampu memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk memberikan penjelasan sebagai wujud akuntabilitas.

Padahal, mestinya KPU berani mengambil terobosan agar bisa mewujudkan afirmasi kepengurusan perempuan dalam parpol, bukan malah takluk dengan kepentingan parpol. Terlebih, belum ada sanksi tegas dikenakan kepada parpol, yang hingga saat ini belum melaksanakan perintah UU Pemilu untuk menambah komposisi perempuan sebanyak 30 persen, meski hanya di tingkat pusat.

Tindakan Afirmatif

Agar tidak terulang di kemudian hari, tindakan afirmatif diperlukan terkait iklim parpol yang berbau maskulin. Aturan hukum tentang parpol dan pemilu sudah saatnya berorientasi perempuan hingga ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tujuannya, menyadarkan bahwa ada hak perempuan yang selama ini terabaikan dan harus dikembalikan.

Dengan begitu, banyaknya keterwakilan perempuan dalam parpol diharapkan akan memengaruhi kebijakan menjadi lebih pro terhadap perempuan.

Kebijakan-kebijakan politik pada akhirnya juga bisa dilihat dari perspektif gender.
Sejauh ini, beberapa parpol memang sudah bersedia menggunakan peraturan internal sebagai alat untuk menyertakan perempuan dalam struktur partai.

PPP, misalnya, menetapkan 30 persen perempuan berada di dewan pimpinan pusat dan daerah hingga ke tingkat kabupaten/kota.

Merujuk tulisan Joni Lovenduski (2005) dalam `Feminizing Politics', kalau kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam parpol terpenuhi di semua tingkatan, minimal ada dua gejala yang dapat ditimbulkan. Pertama, adanya kesungguhan perempuan untuk berupaya mau terjun ke dunia politik, setidaknya mewakili nama parpol.

Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran perempuan itu sendiri bahwa politik adalah domain kebijakan kenegaraan yang mengatur arah dan tujuan negara. Sehingga, proses pengambilan kebijakan dapat dilakukan secara politis oleh semua komponen bangsa termasuk perempuan.

Kedua, timbul kesadaran masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada perempuan agar tidak saja memilih dan dipilih, tetapi juga menjadi pengurus inti parpol. Pada akhirnya, ikhtiar ini tentu akan lebih banyak memberikan peluang kepada perempuan berkiprah di ranah politik. ● 
◄ Newer Post Older Post ►