Anatomi Konflik Bersenjata di Papua Maruli Tobing ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 26 September 2012
Papua masih terus memanas. Aksi bersenjata yang dahulu hanya di daerah pedalaman kini merembes ke perkotaan. Bahkan, Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, yang disebut ”kota damai”, terguncang oleh teror penembakan misterius baru-baru ini.
Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerahkan daerah ini kepada Indonesia, 1 Mei 1963, Papua tidak pernah berhenti bergolak dan masih akan terus bergolak. Dalam radiogram dan telegram rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta tahun 1969 dikemukakan, akibat represi militer dan keadaan ekonomi yang terus memburuk, rakyat Papua melakukan perlawanan.
Ditambahkan, sentimen anti-Indonesia telanjur meluas di kalangan rakyat Papua. Jika akar masalahnya tidak segera diselesaikan, Pemerintah Indonesia akan menghadapi masalah serius di masa depan.
Prediksi Kedubes AS di Jakarta 43 tahun lalu itu terbukti. Operasi militer membebani anggaran negara dari tahun ke tahun. Namun, perlawanan bersenjata dan suara menuntut referendum tidak surut.
Lantas, mengapa konflik Papua berlangsung hampir 50 tahun, dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir?
Penembakan
Setelah sempat reda sejak 15 Juli 2012, aksi bersenjata kambuh lagi pada Agustus. Dua anggota Satgas Yonif 408 cedera akibat penghadangan oleh kelompok bersenjata di Arso Timur, Kabupaten Keerom, Jumat (10/8). Di Kabupaten Paniai, Mustafa (22) tewas ditembak di Kampung Obano, Distrik Paniai Barat, Jumat (17/8). Dua rekannya kritis.
Di Kabupaten Keerom, Sabtu (18/8), pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Sarmi, Ayub Natanubun (52), tewas setelah mobilnya ditembaki di Distrik Skamto. Di Kabupaten Paniai, Brigadir Yohan Kisiwaito, anggota Polres Paniai, tewas ditembak di dekat Bandara Enarotali, Selasa (21/8). Pelaku membawa kabur senjata milik korban.
Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) Wilayah Paniai, pimpinan Jhon Yogi, mengaku bertanggung jawab atas penembakan ini dan sebelumnya.
Hari berikutnya, Rabu (22/8), empat pria bersenjata api dan parang menyerang kamp perusahaan kontraktor PT Putra Dewa di Kampung Watiyai, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai. Dua karyawan tewas dan dua kritis. Deiyai termasuk daerah operasi TPN/OPM pimpinan Jhon Yogi.
Pada Rabu (29/8) pukul 17.15 WIT, iring-iringan 30 truk yang mengangkut bahan makanan dan bangunan dari Wamena menuju Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, ditembaki di Jembatan Besi, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya.
Korban aksi bersenjata di Papua selama Agustus 2012 tercatat 13 orang. Lima orang di antaranya tewas, tujuh orang kritis, dan seorang luka ringan. Dari jumlah korban tewas, satu orang di Kabupaten Keerom, dua orang di Paniai, dan dua orang di Deiyai, pecahan Kabupaten Paniai tahun 2008 dan masih satu polres dengan Paniai.
Ini mengindikasikan episentrum kekerasan bergeser ke Paniai. Sebelumnya, di kawasan PT Freeport Indonesia di Mimika. Kemudian bergeser ke Kabupaten Puncak Jaya. Terakhir di Kodya Jayapura, Mei-Juni lalu.
Aksi bersenjata di Papua bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Laporan Sekretariat Keadilan & Perdamaian Keuskupan Jayapura, Oktober 1998, memberi gambaran awal yang jelas.
Dalam laporan itu dikemukakan, pimpinan gerakan pengacau keamanan (GPK) OPM, Tadeus Jhony Yogi, menyerahkan diri kepada ABRI (sekarang TNI) lewat Koramil Enarotali tahun 1985. Namun, setelah menyerah, dia dibiarkan berkeliaran dan menimbulkan gangguan keamanan, termasuk mengambil paksa perempuan-perempuan menjadi istrinya.
Dengan membebaskan Tadeus Yogi, berbagai tindak kekerasan dan pemerasan dialami masyarakat di sejumlah kampung di Paniai dan Tigi. Dengan alasan mencari Tadeus Yogi, aparat menyisir kampung-kampung pada tengah malam.
Empat belas tahun setelah laporan itu ditulis, situasinya belum berubah. Tadeus Yogi memang sudah uzur dan generasinya hampir punah. Namun, beberapa tahun lalu ia merampungkan proses alih generasi dengan menunjuk putranya, Jhon Magai Yogi, yang dikenal temperamental, sebagai penggantinya selaku Panglima TPN/OPM Wilayah Paniai.
Regenerasi ini membuat postur TPN/OPM lebih dinamis dan agresif. Markas TPN/OPM yang dibangun Tadeus Yogi tahun 1990-an di Kampung Eduda, sekitar lima kilometer dari Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, menjadi semarak.
Jhon Yogi kerap terlihat di Enarotali. Pada 26 Februari 2011, ia dan rekannya, Isak Yaweme, ditangkap setelah keluar dari Bandara Nabire. Saat itu, polisi menemukan puluhan butir peluru dan uang Rp 30 juta di ransel Isak. Setelah dua hari diperiksa, keduanya dibawa ke Markas Polda di Jayapura. Beberapa pekan kemudian, dia dikembalikan ke Polres Nabire.
Tidak jelas bagaimana kelanjutan proses hukum keduanya. Namun, pada 26 April 2011 sekitar 30 anggota TPN/OPM pimpinan Jhon Yogi muncul di kawasan penambangan emas ilegal di Dageuwo, Kabupaten Paniai. Mereka membawa enam pucuk senjata AK-47 dan Mauser. Selebihnya panah dan parang.
Kelompok Jhon Yogi kemudian menduduki areal tambang PT Martha Mining dan menyandera 100 pekerjanya. Mereka menuntut tebusan Rp 1,5 miliar dan mengancam akan merusak alat-alat berat milik perusahaan. Sebelumnya, mereka mengumpulkan Rp 800 juta dari para pedagang dan beberapa kilogram emas dari para pendulang ilegal.
Kepala Bidang Humas Polda Papua saat itu Komisaris Besar Agus Rianto mengatakan, polisi setempat membantu mediasi. Kelompok Jhon Yogi akhirnya meninggalkan lokasi tambang (29/4/2011) setelah menerima uang Rp 100 juta dan satu kilogram emas murni dari PT Martha Mining.
Ketua Dewan Adat Paniai John Gobay sempat gusar. Ia mengatakan, tugas polisi bukan mediator dengan kelompok yang meresahkan masyarakat, melainkan menegakkan hukum dan menjaga keamanan.
Operasi Pengejaran
Tanggal 16 Agustus 2011, kelompok TPN/OPM pimpinan Jhon Yogi kembali membuat ulah. Ia bersama pasukannya merampas dua pucuk AK-47 di Markas Polsek Komopa, Distrik Agadide, Kabupaten Paniai.
Aksinya kali ini membalas tindakan Polres Paniai 18 hari sebelumnya. Saat itu, polisi yang melakukan razia kendaraan menyita pistol Jhon Yogi berikut peluru dan uang Rp 50 juta. Ia gusar karena Polres menolak mengembalikannya.
Jhon Yogi juga menolak mengembalikan senjata polisi. Alhasil, Polres Paniai meminta Mabes Polri mengirim pasukan Brimob membantu operasi pengejaran Jhon Yogi.
Pasukan Brimob dan TNI kemudian menyisir dari kampung ke kampung sejak pertengahan September 2011. Menurut Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua Benny Giay, rumah-rumah warga diobrak-abrik untuk mencari senjata milik Polri.
Akibatnya, penduduk panik. Mereka mengungsi ke Enarotali atau ke gereja-gereja di kampung yang relatif aman. Rumah, kebun, dan ternak ditinggalkan. Namun, ketika mereka kembali, semua ludes dijarah orang.
Setelah tiga bulan pengejaran tanpa hasil, pasukan Brimob dan TNI akhirnya menyerang markas TPN/OPM di Kampung Eduda, (13/11/2011). Markas tersebut berhasil diduduki setelah kontak senjata selama empat jam. Namun, tidak seorang pun anggota TPN/OPM yang tertangkap.
Jhon Yogi lenyap entah ke mana. Namun, akibat perbuatannya
ribuan penduduk menderita. Mengutip laporan gereja-gereja di Paniai, Benny Giay mengatakan, selama Agustus-Desember 2011, lebih dari 50 warga meninggal di pengungsian akibat kelaparan dan penyakit menular.
Episode Baru
Celakanya, ketika penduduk mulai membenahi sumber nafkahnya,
tiba-tiba kelompok Jhon Yogi muncul, Agustus lalu. Salah satu di antaranya menembak mati Brigadir Yohan Kisiwaito dan merampas senjatanya di tempat terbuka di Enarotali, 21 Agustus. Paniai kini dalam episode baru kekerasan lama.
Pasca-penembakan, Enarotali mendadak senyap. Toko-toko tutup. Jalanan lengang karena tidak ada kendaraan yang melintas, kecuali aparat keamanan.
Situasinya semakin mencekam menyusul kontak senjata antara aparat keamanan dan TPN/OPM pukul 14.00-17.00. Warga pendatang dicekam ketakutan dan mengungsi ke kantor polisi dan TNI setempat. RSUD Eranotali sempat kosong. Perawat, dokter, dan pasien memilih pulang karena ketakutan.
Suasana mencekam berlangsung hampir sepekan. Aktivitas ekonomi lumpuh dan roda pemerintahan terhenti. Polres Paniai meminta warga tidak keluar rumah setelah pukul 18.00. Lantas, siapa yang diuntungkan?
Kambing Hitam
Nicholas Jouwe (85), salah satu pendiri OPM, dan Nicholas Messet, mantan menteri luar negeri OPM, beberapa waktu lalu, mengatakan, OPM sudah lama berakhir. OPM saat ini adalah binaan kelompok tertentu untuk memuluskan proyek bernilai triliunan rupiah setiap tahun.
Pihak TNI/Polri menolak mengomentari pendapat kedua mantan tokoh OPM itu demi menghindari polemik berlarut-larut. Jouwe dan Messet yang bermukim di Eropa sejak 1969 kembali ke Indonesia pada 2010.
Masalahnya bukan lagi soal TPN/OPM asli atau gadungan, melainkan banyak pihak membutuhkan jasa kelompok bersenjata ini seiring maraknya pembentukan kabupaten baru dan penyelewengan uang negara.
”Sekitar 80 persen pemerintah Papua tingkat kabupaten, kota, dan provinsi tidak efektif,” kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq dalam diskusi di Jakarta, Juni lalu. Hal ini berimbas pada sikap negatif rakyat Papua terhadap pemerintah pusat.
Lebih parah lagi, roda pemerintahan di sejumlah kabupaten nyaris lumpuh digerogoti korupsi. Para bupati dengan mudah menuding TPM/OPM dan kelompok M (merdeka) sebagai kambing hitam. Pemerintah pusat seolah tutup mata.
”Banyak pejabat di Jakarta kecipratan dana panas dari daerah ini,” kata salah seorang anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga yang dibentuk pemerintah sebagai simpul otonomi khusus.
Selain sebagai kambing hitam, para elite politik lokal dan elite birokrat juga membutuhkan jasa TPN/OPM dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada), termasuk dalam kisruh Pilkada 2011 di Kabupaten Puncak yang menewaskan 52 orang dan ratusan orang lain cedera.
Ketua MRP Timotius Murib mengatakan, politik lokal dan elite birokrat membuat situasi Papua kisruh dan tidak aman demi kursi jabatan dan uang. Rakyat dibiarkan telantar dan sengsara.
Maka, konflik Papua menjadi berlaru-larut selama hampir 50 tahun. Enam presiden Indonesia telah berganti. Namun, belum ada tanda-tanda konflik akan berakhir kecuali kemiskinan dan keterbelakangan menjadi abadi membelenggu rakyat Papua. ●