Minggu, 30 September 2012

Pemakan Rente Pendidikan


Pemakan Rente Pendidikan
Jannus TH Siahaan ;  Pengamat Sosial Kemasyarakatan
MEDIA INDONESIA, 29 September 2012


ENTAH siapa yang memulai. Tetapi jujur kita akui bahwa sekolah sudah lama menjadi alat justifikasi atas banyak hal dalam kehidupan. Itulah stempel paling otoritatif yang jamak digunakan orang atau institusi sosial untuk menentukan seseorang telah memiliki kualifikasi keilmuan tertentu dan keahlian khusus atau belum.

Begitu besar pengaruh stempel ini hingga banyak hal dalam kehidupan pun harus menggunakan sekolah sebagai alat ukurnya. Sekolah menjelma menjadi sebangsa terminal tempat semua penglaju harus mampir untuk rehat. Merenung sebentar, untuk memilih arah dan tujuan perjalanan selanjutnya.

Angkatlah tangan kita, lalu tunjuklah sebuah nama sekolah. Secara otomatis kita akan mendapatkan gambaran tentang sebuah lembaga pendidikan dengan kualifikasi tertentu. Jika Anda mendapatkan setumpuk bangunan megah, mobil mewah berderet-deret di area parkir sekolah, anjungan tunai mandiri dengan mudah kita temukan, di sanalah anak-anak orang berduit dititipkan untuk dicetak menjadi apa. Datanglah di akhir bulan lalu, tanyakan seberapa banyak uang berputar untuk segala urusan di sekolah? Anda akan tercengang karena sekolah sudah menjelma sebagai mesin ekonomi yang masif.

Pengelolanya ialah para praktisi ekonomi. Paling kurang kumpulan para pemilik kapital. Mereka memiliki penciuman bisnis yang sangat kuat dan tajam sehingga sekolah pun harus dimaknai sebagai lahan basah untuk menanam modal ekonomi. Kebanyakan dari mereka bertitel, setidaknya SE alias sarjana ekonomi. Karena orientasinya ekonomi, pemilik dan pengelola sekolah memilih tenaga-tenaga didik dari kalangan yang orientasi hidupnya sebagian besar semata materi juga. Tenaga-tenaga semacam itu amat gampang dibeli asal harganya bisa disepakati.

Karena ‘harga’ itu pulalah bangsa ini harus menanggung dosa turunan akibat polah tingkah beberapa guru dan tenaga didik yang tidak wajar, yang jauh dari sosok ideal Ki Hajar Dewantara. Dari guru ‘kecil’ pengajar TK hingga guru ‘besar’ di banyak perguruan tinggi. Mereka pemangsa rente pendidikan. Mereka tidak akan pernah puas memeras anak murid dan mahasiswanya. Berbagai dalih gampang mereka sodorkan. Maklum, guru besar. Inilah sekelompok masochis yang memiliki andil besar dalam merusak konstitusi. 

Kini lihatlah, Komisi Pemberantasan Korupsi pun tak segan lagi menggelandang para guru besar yang korup. Guru pemakan rente pendidikan.

Gejala Umum

Padahal, bukankah konstitusi kita mengamanatkan pendidikan nasional untuk mencerdaskan bangsa? Tapi kondisi ini sudah merupakan gejala umum dalam dunia p pendidikan kita. Dari play group, TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Sekolah umum---negeri dan swasta-maupun sekolah yang dikelola oleh organisasi keagamaan. Semakin tinggi jenjang pendidikan akan semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Bercita-cita menjadi dokter, misalnya, hanya mungkin bagi mereka yang berkocek tebal. Yang tidak berduit, silakan minggir. Di sini tak ada istilah uang pas-pasan. Anda hanya akan mengenal uang berlimpah. Ini rahasia umum. Penyelenggaraan pendidikan kita telah menistakan amanat konstitusi.

Anda punya uang maka akan mendapatkan yang Anda inginkan. Anda tak punya apa-apa maka anak Anda harus bersiap menjadi manusia `apa adanya'. Sejalan dengan proses dan tahapan pendidikan seperti itu, lahirlah pula produk pendidikan yang orientasi hidupnya pada bagaimana `memiliki' bukan pada bagaimana `menjadi'. Mereka merasa bahagia jika memiliki rumah mewah dengan jumlah tertentu, mobil limited editiondengan jumlah tertentu, pergaulan hanya terbatas di kalangan tertentu, jabatan yang hanya dimiliki orang tertentu, dan status sosial yang mapan. Mereka akan langsung merasakan hidup tidak menentu jika kehilangan rumah, mobil, jabatan, dan status sosial.

Inilah, menurut psikolog eksistensial, pendidikan yang hanya memproduksi masyarakat kelas `memiliki'. Sehingga pantas jika Ketua Mahkamah Konstitusi RI Moh Mahfud MD menyebut 95% pelaku korupsi di Indonesia ialah mereka yang mengenyam pendidikan tinggi. Karena tingkat kebergantungannya pada benda dan materi begitu kuat, masyarakat ber pendidikan tinggi yang tidak memiliki kecerdasan spiritual, moral, emosional--akan menempuh segala cara untuk mendapatkan yang diangankan. Maka lahirlah sarjana-sarjana yang jadi beban negara karena mereka punya ilmu dan keahlian untuk mengorupsi aset bangsa sendiri.

Produksi Gagal

Summom bonum pendidikan sejatinya ialah bagaimana memproses manusia agar tidak mendapatkan kebahagiaan dari kepemilikan. Sebab jika itu yang terjadi, sungguh rentan jenis kebahagiaan anak bangsa ini. Bagaimana jika kepemilikan itu musnah? Bukankah semua materi dan benda-benda atau yang lebih abstrak seperti kekayaan, kepandaian, keahlian itu bisa lenyap? Pendidikan seharusnya menciptakan manusia agar mampu ‘menjadi’ apa yang diinginkan sesuai nilai-nilai luhur pendidikan. Tapi sekolah, dan banyak lembaga pendidikan kita, seolah tidak mau tahu-menahu atas semua hasil produksi yang gagal ini.

Begitu kuatnya hegemoni sekolah menguasai alam bawah sadar kita hingga terasa sulit bagi kita menemukan sekolah yang dengan mudah dan lapang dada mau menerima masukan untuk kebaikan anak didik, kebaikan generasi bangsa. Mereka merasa lebih memahami tahap perkembangan seorang anak ketimbang orangtua yang melahirkannya. Bahkan, beberapa guru berkualifikasi lulusan `sertifikasi' tak jarang merasa lebih pintar daripada wali murid yang lulusan universitas khusus pendidikan sekalipun. Ironis.

Sekolah tidak mau tahu. Sekolah juga jarang mau berbesar hati untuk melakukan evaluasi berkala secara jujur atas proses belajar mengajar. Tidak banyak sekolah yang dengan jiwa besar mau mengakui telah melakukan kesalahan pendekatan sehingga lulusannya tidak bisa diandalkan pada berbagai kompetisi dalam kehidupan nyata. Tak jarang pula sekolah lepas tangan dan hanya mau menjawab bila itu berkaitan dengan anak muridnya dan para alumnus yang tidak mengalami hambatan setelah lulus sekolah.

Jangan ditanya pula bagaimana bentuk tanggung jawab sekolah bila mereka gagal menjadikan anak kita seperti yang mereka janjikan saat-saat pendaftaran dulu. Padahal harus disadari bahwa sekolah berandil sangat besar dalam membentuk kepribadian anak di luar lingkungan keluarga. Sekolah hanya tahu soal sukses dan sukses, tetapi sejauh mungkin menghindar dari gagal dan disebut gagal dalam proses belajar mengajar. Terlebih dalam perkembangannya, sekolah lebih memosisikan diri sebagai lembaga pengajaran dan bukan lembaga pendidikan.

Tidakkah sudah tiba saatnya bagi kita duduk di atas tikar kesadaran untuk mengevaluasi secara menyeluruh semua tahapan pendidikan yang harus dilalui anak-anak kita. Negara memiliki tanggung jawab, tidak semata menyediakan dana yang cukup, tetapi lebih dari itu memberikan orientasi yang benar mengenai penyelenggaraan dan jalannya pendidikan nasional. Pemerintah, dalam hal ini Presiden, sudah terlalu bermurah hati menaikkan secara terus-menerus gaji para guru, tetapi justru tertatih ketika harus menaikkan derajat keahlian dan moralitas para guru. Jangan sampai sekolah dan para guru dicap sebagai perampok masa depan generasi masa depan bangsa ini. ● 
◄ Newer Post Older Post ►