Pungutan OJK yang Ideal Achmad Deni Daruri ; President Director Center for Banking Crisis |
SINDO, 26 September 2012
Dalam rangka menjamin stabilitas pasar keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mendapatkan sumber pendanaan untuk operasi yang efisien dan efektif. Dalam rangka itu OJK juga harus mempertimbangkan karakteristik perkembangan sektor keuangan di Indonesia. Misalnya OJK dapat saja meniru langkah-langkah pembiayaan yang dilakukan oleh OJK lain di luar negeri yang memiliki karakteristik seperti perekonomian negara sedang berkembang. Selain karakteristik tersebut beberapa persyaratan lain juga harus diperhatikan dalam menentukan besarnya sistem pungutan bagi pembiayaan OJK.
Misalnya, besarnya iuran juga tidak boleh menghambat penawaran produk dan jasa dari lembaga keuangan di Indonesia. Metode iuran juga harus mudah diimplementasikan dan mudah dalam koleksi atau pemungutannya. Kebijakan iuran ini harus memberikan dampak netral terhadap kesetaraan dalam berusaha. Untuk negara sedang berkembang, acuan yang dipakai adalah model pungutan transaksi di mana jumlah yang tetap sama (flat), atau bisa merupakan persentase tertentu dari nilai transaksi. Model lain yang juga dipakai adalah model alokasi biaya.
Biaya regulasi dibebankan berdasarkan estimasi biaya yang terjadi dalam mengawasi institusi tertentu, atau kelompok institusi. Model ketiga adalah model yang berhubungan dengan besarnya volume usaha. Dalam metode ini OJK membayar biaya tahunan, biasanya disetujui pada awal tahun, berdasarkan pengukuran metrik volume tertentu. Ini merupakan metode yang paling umum teridentifikasi untuk pembagian biaya dan setelah melalui proses alokasi biaya awal. Metode ketiga ini umumnya juga diikuti oleh pembebanan biaya tahunan yang sama rata.
Dasar pertimbangan dari penerapan iuran ini, dengan menerapkan sebuah sistem iuran berjenjang di mana setiap pelaku pasar yang berbeda membayar jumlah yang juga berbeda-beda sesuai dengan besarnya usaha dan manfaat keuntungan yang mereka terima dari pasar keuangan yang berjalan dengan baik.Namun, dengan sistem ini akan terjadi pembebanan pada aktivitas keuangan yang berbasis sektor riil karena misalnya tidak membedakan antara bank yang menyalurkan kredit untuk sektor produktif dan sektor spekulatif (contohnya properti).
Karena itu, sistem iuran ini harus terlebih dulu berdasarkan pada model alokasi biaya seperti yang diterapkan oleh Jerman. Jika dana yang diharapkan dari model alokasi biaya tidak dapat dipenuhi maka untuk mendapatkan dana sisanya tersebut dapat diterapkan model biaya tahunan yang berhubungan dengan volume. Dengan cara ini maka besarnya iuran akan disesuaikan dengan manfaat yang akan diterima oleh industri keuangan di Indonesia!
Masalah lainnya adalah Indonesia merupakan negara dengan sektor keuangan yang masih kecil dan negara tetangga masih belum menerapkan model iuran seperti ini sehingga daya saing industri keuangan di Indonesia diperkirakan akan terhambat. Sementara itu, jika negara kecil yang menerapkan iuran, harga domestik dari komoditas keuangan tersebut akan jatuh di bawah harga internasional, tetapi harga internasional tetap tidak berubah.
Dalam kasus ini, produsen domestik akan menanggung semua biaya dari iuran ini. Alternatif lainnya adalah mengembangkan model pungutan transaksi seperti yang diterapkan oleh OJK Korea Selatan. Mengingat usia Korea Selatan tidak jauh beda dengan Indonesia, model ini tampaknya sesuai dengan kondisi Indonesia.
Bukan hanya itu, jika Indonesia menginginkan sektor industrinya maju seperti Korea Selatan, penerapan model pungutan transaksi akan membuat transaksi keuangan yang sifatnya spekulatif seperti transaksi portofolio untuk membayar biaya operasional OJK merupakan pilihan tepat. Dalam sektor layanan finansial, pungutan berlaku untuk memenuhi prospektus, atau catatan penerbitan, atau dokumen penawaran.
Hal ini biasanya dibebankan berdasarkan ukuran transaksi. Metode ini mempunyai keuntungan, yaitu sederhana dan transparan untuk perusahaan; namun untuk kebanyakan organisasi yang memberlakukan metodologi ini memiliki sifat industri yang mereka awasi lebih sederhana dibandingkan yang diawasi oleh OJK negara besar. Dengan model pungutan transaksi, maka sasaran pungutan adalah sektor-sektor yang terkait dengan hot money dan/atau sektor-sektor yang memiliki keterkaitan dengan risiko sistemik pada perekonomian yang berasal dari sektor keuangan.
Rata-rata nilai transaksi harian saham Bursa Efek Indonesia sepanjang periode Januari-Juli 2012 sebesar Rp4,47 triliun atau turun 11,70% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp5,06 triliun per hari.Selama ini pungutan transaksi saham di BEI adalah 0,04%. Mengingat BEI hanya berfokus pada konteks sektoral pasar saham, sebetulnya ada kekurangan biaya bagi operasi yang bertujuan mengeliminasi risiko sistemik.
Misalnya krisis tahun 1997 yang lalu lebih disebabkan oleh risiko sistemik yang tidak dapat diendus oleh otoritas pasar modal. Karena itu, OJK layak mendapatkan dana tambahan sebesar 0,03% hingga 0,04% dari transaksi di BEI pada tahun 2013. Secara rata-rata total pungutan transaksi di BEI dapat dinaikkan menjadi 0,07% hingga 0,08%. Dengan skenario itu OJK akan mendapatkan dana operasi tiap tahunnya sebesar Rp400-600 miliar.
Sumber pendanaan lain dari pungutan transaksi adalah dari pembagian premi 50% dari premi yang diterima oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Pada 2011 pendapatan dari premi LPS mencapai Rp5,38 triliun. Jika separuh dari premi ini diberikan kepada OJK, paling tidak OJK akan memiliki dana Rp2,69 triliun. Jika ditambah dengan dana dari pungutan transaksi BEI maka akan diperoleh dana hingga Rp3,29 triliun untuk biaya operasi OJK! Jumlah ini cukup memadai bagi OJK untuk menjamin stabilitas sektor keuangan. ●