Defisit Penyidik KPK Donal Fariz ; Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch |
KOMPAS, 27 September 2012
Markas Besar Kepolisian Negara RI menarik 20 anggotanya yang bertugas sebagai penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi. Kondisi ini membuat KPK dilematis. Pasalnya, diganti atau tidak penyidik tersebut akan sama-sama menimbulkan ancaman bagi komisi antikorupsi ini.
Penarikan penyidik KPK secara tiba-tiba oleh Polri ini memang bukan yang pertama. Namun, ini setidaknya yang terbesar sepanjang KPK berjalan tiga periode. Sekadar membuka lembaran catatan masa lalu, pada kepemimpinan KPK jilid II pernah juga dilakukan penarikan terhadap empat penyidik. Saat itu, penarikan diduga kuat karena pertikaian antara KPK dan kepolisian dalam kasus ”Cicak versus Buaya”.
Sama halnya dengan kejadian sebelumnya, penarikan kali ini juga sarat dengan kejanggalan. Sulit bagi publik untuk tak mengaitkan penarikan 20 penyidik ini dengan polemik rebutan kasus simulator SIM antara KPK dan Polri. Sebab, secara momentum waktu, penarikan ini bertepatan dengan penanganan kasus tersebut yang berada pada level penyidikan. Kedua institusi ini pada saat yang bersamaan menyidik kasus yang sama, di mana terdapat pula tiga pelaku yang sama.
Namun, hingga kini persoalan itu masih berlarut-larut tanpa kunjung menemui titik temu. Presiden pun tak berdaya untuk sekadar memerintahkan Polri agar taat pada perintah undang-undang dan berhenti memproses perkara yang cacat hukum tersebut. Ujung-ujungnya muncul ”aksi lanjutan” berupa penarikan para penyidik oleh Polri. Dalam perumpamaan yang sederhana: mengambil kasus saja dilakoni kepolisian, apalagi untuk sekadar mengambil penyidiknya.
Kondisi ini tentu membuat KPK terguncang. Beban kerja yang sangat besar tidak sebanding dengan tenaga penyidik yang tersedia. Sebagai catatan, jumlah penyidik yang tersedia saat ini hanya 87 orang dan sekarang praktis yang tersisa hanya akan ada 67 penyidik.
Di balik itu semua, penting dipahami kondisi dilematis tidak hanya dihadapi KPK manakala mereka kekurangan penyidik seperti saat ini. Ketika Mabes Polri menyodorkan penyidik baru bagi KPK pun (Kompas, 18/9), sesungguhnya juga berpotensi menjadi persoalan baru.
Karena momentum peralihan ini bukan tidak mungkin dimanfaatkan untuk masuknya ”penyidik kuda troya” oleh pihak tertentu kepada KPK. Mulai dari sekadar memata-matai hingga mengacak-acak skenario penanganan kasus simulator SIM dan kasus lain di KPK. Di titik inilah sesungguhnya kekurangan penyidik ataupun masuknya penyidik baru bagi KPK akan menghadirkan dilema tersendiri.
Siapa Diuntungkan?
Lalu siapa pihak yang akan diuntungkan dengan defisitnya penyidik di KPK? Secara khusus tentu akan menguntungkan bagi para pihak yang kasusnya sedang ditangani KPK saat ini. Sebut saja para pihak di lingkaran kasus simulator SIM, Century, kasus Hambalang, kasus Buol, hingga kasus Badan Anggaran DPR. Mereka akan tertawa lepas melihat KPK yang sedang rapuh.
Kondisi ini tentu amat merugikan bagi agenda pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Maklum saja, KPK tidak hanya melakukan penindakan atas kasus yang mereka tangani sendiri. KPK juga menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan di seluruh Indonesia sebagai wujud fungsi mekanisme pemicu (trigger mechanism). Dalam banyak kasus, KPK melalui penyidiknya acap kali melakukan supervisi terhadap kasus-kasus korupsi yang macet di daerah-daerah. Fungsi tersebut juga dipastikan berpotensi terbengkalai.
Persoalan penarikan penyidik ini tidak bisa dibaca dalam konteks normatif semata. Jika ilustrasi di atas benar, penarikan ini dapat diletakkan dalam kerangka persaingan penanganan kasus ataupun arogansi Polri.
Di titik ini, KPK harus melawan. Karena, seandainya KPK melemah, kejadian yang sama berupa penarikan penyidik Polri di KPK berpotensi semakin sering terjadi. Hal ini akan menjadi wabah demoralisasi bagi para penyidik yang masih bertahan di KPK saat ini.
Salah satu strategi yang bisa ditempuh oleh KPK adalah memberikan opsi bertahan bagi para penyidik yang masih berintegritas dan memiliki kualitas yang baik untuk direkrut sebagai pegawai tetap KPK. Sudah menjadi rahasia umum, cukup banyak penyidik yang berintegritas enggan kembali ke institusi asalnya.
Opsi ini amat dimungkinkan karena jika mengacu pada PP No 63/2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, dalam Pasal 7 PP tersebut pada intinya memungkinkan peralihan status kepegawaian menjadi pegawai tetap KPK. Jika langkah ini ditempuh, para penyidik tersebut harus berhenti dari institusi asal mereka. Sekali lagi, KPK tentu harus super selektif dalam memilih para penyidik yang demikian.
Jika hal ini dilakukan, KPK tidak hanya akan berhasil mempertahankan penyidiknya dengan kualitas wahid. Akan tetapi, sekaligus juga mematahkan arogansi Polri yang cenderung semakin kebablasan.
Pada saat yang bersamaan, upaya yang tengah dilakukan KPK untuk merekrut penyidik sendiri atau penyidik independen tentu juga harus dilanjutkan dan didukung secara kolektif. Sangatlah tidak layak jika KPK hanya memiliki kurang dari 100 orang penyidik untuk membersihkan republik ini yang sudah kumuh karena korupsi. Karena itu, keberadaan penyidik independen harus merupakan proyek jangka panjang untuk kelangsungan KPK dan agenda pemberantasan korupsi di negeri ini. ●