Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) |
SINDO, 29 September 2012
Ketiga sebutan di atas merupakan kreasi manusia Indonesia dalam menetapkan status seseorang yang berurusan dengan sistem peradilan pidana. UU RI Nomor Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dikenal KUHAP; telah memberikan pedoman, asas-asas hukum, dan norma hukum beracara di dalam yurisdiksi pengadilan di Indonesia.
Pergantian hukum acara pidana warisan pemerintah Kolonial Belanda (HIR) dengan KUHAP selepas dari penjajahan Belanda dimaksudkan untuk menghapuskan perlakuan tidak manusiawi berdasarkan HIR. Menghapuskan cara berpikir dan bersikap dari satu peradaban beracara ke peradaban baru yang dipandang lebih manusiawi tidak semudah menciptakannya dalam bentuk norma-norma yang diperbolehkan dan dilarang.
Perubahan pola perlakuan dalam KUHAP tidak serta-merta dapat diwujudkan karena sangat bergantung ”the man behind the gun” yang mengawaki perjalanan KUHAP dalam praktik. Sebutan ”tersangka” jika telah diperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup, dan perlakuan terhadapnya seharusnya menjaga agar hak-hak asasinya tetap dilindungi oleh aparatur penegak hukum. Begitu pula pada status sebagai ”terdakwa” sampai jatuhnya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam teori hukum acara pidana setiap orang yang ditahan memiliki hak asasi yang disebut ”hak pistole” yaitu kebebasan untuk membawa pakaian sendiri, makanan dan minuman, serta pendampingan penasihat hukum pada setiap keadaan di mana diperlukan oleh tersangka termasuk akses informasi dan bertatap muka di dalam ruang tahanan. Selain itu, setiap tahanan tidak boleh dipekerjakan di dalam rumah tahanan layaknya seperti terpidana.
Hakikatnya, penetapan status tersangka, terdakwa, juga terpidana merupakan pergulatan kemanusiaan yang adil dan beradab bukan sematamata persyaratan formal yang harus dipenuhi berdasarkan KUHAP. Kebencian kita pada kejahatan luar biasa seperti terorisme dan korupsi bukanlah alasan untuk memperlakukan para pelakunya seperti ”hewan peliharaan” karena tindakan tersebut melanggar fitrahnya sebagai sesama makhluk Tuhan YME.
Karena itu, harus diyakini kebenaran Alquran yang mewahyukan kepada umatnya: ”Kebencian Kamu terhadap satu kaum tidaklah boleh menyebabkan perlakuan yang tidak adil terhadap mereka”. Contoh perlakuan yang tidak adil adalah larangan tersangka didampingi penasihat hukum sejak penyelidikan sampai pada proses persidangan atau menghalang-halangi pendampingan tersebut.
Perlakuan tidak adil juga terlihat pada persepsi masyarakat yang menyesatkan bahwa pelaku korupsi atau teroris telah kehilangan hak-haknya sebagai manusia seperti tidak layak untuk disalatkan jika terpidana korupsi itu mati. Jargon-jargon terhadap koruptor dan teroris dalam penegakan hukum di Indonesia telah memengaruhi perilaku penegak hukum termasuk hakim. Kasus Panda Nababan, misalnya, yang penulis baca dari dokumen yang ada ternyata tiga hakim karier menghukumnya dan dua hakim ad hoc menyampaikan dissenting opinion.
Ternyata keputusan ketiga hakim karier tersebut dilandaskan pada ketakutan diperiksa KY yang dipastikan akan menghambat masa depan kariernya jika ikut membebaskan Panda Nababan. Sedangkan kedua hakim ad hocjustru berpendapat sesuai dengan keyakinannya berdasarkan ketuhanan YME. Contoh lain kasus dibebaskannya mantan sekretaris Gubernur BI yang dijabat oleh Burhanudin Abdulah oleh pengadilan tipikor karena bukti yang diajukan jaksa KPK tidak meyakinkan majelis hakim.
Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa penetapan seseorang menjadi tersangka sejak awal ditengarai karena tekanan psikologis dari pers dan LSM atau juga intervensi kekuatan politik. Penetapan itu bukan semata-mata masalah penerapan hukum terhadap fakta yang ditemukan penyidik sehingga dalam pemberantasan korupsi sangat sulit untuk dibedakan siapa sesungguhnya koruptor dan bukan koruptor.
Hal ini diperkuat kenyataan kasus korupsi yang menyentuh pusat kekuasaan terbukti sangat lambat dan bahkan cenderung dinetralisasi dengan mencuatnya kasus-kasus lain ke muka publik sehingga kasus besar tenggelam dalam arus informasi media yang gaduh dengan ”kasus tandingan” tersebut. Menilik kondisi dan situasi penegakan hukum terhadap kasus korupsi saat ini tampak sekali pentingnya peranan penyusun ”skenario”; ”sutradara”, dan siapa yang harus dijadikan ”aktor” sekaligus korban untuk meningkatkan citra publik.
Keseharian langkah pemberantasan korupsi terdapat indikasi ”saling intip” untuk menemukan kesalahan masing-masing dan kemudian dijadikan ”sarang penyanderaan” dengan berbagai cara berusaha ”menembus” ketahanan kepemimpinan lembaga penegak hukum, tidak terkecuali pimpinan KPK, yang diketahui memiliki kewenangan luas melebihi kepolisian dan kejaksaan.
Kini penetapan siapa tersangka, terdakwa, apalagi terpidana telah menjadi bias karena tercemar oleh buruknya kinerja penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Solusi awal untuk mengawasi kinerja KPK, selain kontrol masyarakat, perlu juga dipertimbangkan peningkatan status satuan pengawas internal menjadi Deputi Pengawasan Internal KPK setingkat dengan deputi pencegahan, penindakan, dan deputi penuntutan. Penguatan sistem pengawasan internal yang sama juga diperlukan di kepolisian dan kejaksaan. ●
Perubahan pola perlakuan dalam KUHAP tidak serta-merta dapat diwujudkan karena sangat bergantung ”the man behind the gun” yang mengawaki perjalanan KUHAP dalam praktik. Sebutan ”tersangka” jika telah diperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup, dan perlakuan terhadapnya seharusnya menjaga agar hak-hak asasinya tetap dilindungi oleh aparatur penegak hukum. Begitu pula pada status sebagai ”terdakwa” sampai jatuhnya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam teori hukum acara pidana setiap orang yang ditahan memiliki hak asasi yang disebut ”hak pistole” yaitu kebebasan untuk membawa pakaian sendiri, makanan dan minuman, serta pendampingan penasihat hukum pada setiap keadaan di mana diperlukan oleh tersangka termasuk akses informasi dan bertatap muka di dalam ruang tahanan. Selain itu, setiap tahanan tidak boleh dipekerjakan di dalam rumah tahanan layaknya seperti terpidana.
Hakikatnya, penetapan status tersangka, terdakwa, juga terpidana merupakan pergulatan kemanusiaan yang adil dan beradab bukan sematamata persyaratan formal yang harus dipenuhi berdasarkan KUHAP. Kebencian kita pada kejahatan luar biasa seperti terorisme dan korupsi bukanlah alasan untuk memperlakukan para pelakunya seperti ”hewan peliharaan” karena tindakan tersebut melanggar fitrahnya sebagai sesama makhluk Tuhan YME.
Karena itu, harus diyakini kebenaran Alquran yang mewahyukan kepada umatnya: ”Kebencian Kamu terhadap satu kaum tidaklah boleh menyebabkan perlakuan yang tidak adil terhadap mereka”. Contoh perlakuan yang tidak adil adalah larangan tersangka didampingi penasihat hukum sejak penyelidikan sampai pada proses persidangan atau menghalang-halangi pendampingan tersebut.
Perlakuan tidak adil juga terlihat pada persepsi masyarakat yang menyesatkan bahwa pelaku korupsi atau teroris telah kehilangan hak-haknya sebagai manusia seperti tidak layak untuk disalatkan jika terpidana korupsi itu mati. Jargon-jargon terhadap koruptor dan teroris dalam penegakan hukum di Indonesia telah memengaruhi perilaku penegak hukum termasuk hakim. Kasus Panda Nababan, misalnya, yang penulis baca dari dokumen yang ada ternyata tiga hakim karier menghukumnya dan dua hakim ad hoc menyampaikan dissenting opinion.
Ternyata keputusan ketiga hakim karier tersebut dilandaskan pada ketakutan diperiksa KY yang dipastikan akan menghambat masa depan kariernya jika ikut membebaskan Panda Nababan. Sedangkan kedua hakim ad hocjustru berpendapat sesuai dengan keyakinannya berdasarkan ketuhanan YME. Contoh lain kasus dibebaskannya mantan sekretaris Gubernur BI yang dijabat oleh Burhanudin Abdulah oleh pengadilan tipikor karena bukti yang diajukan jaksa KPK tidak meyakinkan majelis hakim.
Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa penetapan seseorang menjadi tersangka sejak awal ditengarai karena tekanan psikologis dari pers dan LSM atau juga intervensi kekuatan politik. Penetapan itu bukan semata-mata masalah penerapan hukum terhadap fakta yang ditemukan penyidik sehingga dalam pemberantasan korupsi sangat sulit untuk dibedakan siapa sesungguhnya koruptor dan bukan koruptor.
Hal ini diperkuat kenyataan kasus korupsi yang menyentuh pusat kekuasaan terbukti sangat lambat dan bahkan cenderung dinetralisasi dengan mencuatnya kasus-kasus lain ke muka publik sehingga kasus besar tenggelam dalam arus informasi media yang gaduh dengan ”kasus tandingan” tersebut. Menilik kondisi dan situasi penegakan hukum terhadap kasus korupsi saat ini tampak sekali pentingnya peranan penyusun ”skenario”; ”sutradara”, dan siapa yang harus dijadikan ”aktor” sekaligus korban untuk meningkatkan citra publik.
Keseharian langkah pemberantasan korupsi terdapat indikasi ”saling intip” untuk menemukan kesalahan masing-masing dan kemudian dijadikan ”sarang penyanderaan” dengan berbagai cara berusaha ”menembus” ketahanan kepemimpinan lembaga penegak hukum, tidak terkecuali pimpinan KPK, yang diketahui memiliki kewenangan luas melebihi kepolisian dan kejaksaan.
Kini penetapan siapa tersangka, terdakwa, apalagi terpidana telah menjadi bias karena tercemar oleh buruknya kinerja penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Solusi awal untuk mengawasi kinerja KPK, selain kontrol masyarakat, perlu juga dipertimbangkan peningkatan status satuan pengawas internal menjadi Deputi Pengawasan Internal KPK setingkat dengan deputi pencegahan, penindakan, dan deputi penuntutan. Penguatan sistem pengawasan internal yang sama juga diperlukan di kepolisian dan kejaksaan. ●