Indonesia dan Pemimpin Non-Muslim Irfan Sona ; Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Peserta Sekolah Ilmu Politik di Monash Institute Semarang |
SUARA KARYA, 26 September 2012
Masih banyak orang yang menganggap bahwa penerapan hukum Islam atas non-muslim hanya berujung pada kerusuhan, pertumpahan darah, dan perpecahan. Ada ketakutan di kalangan non-muslim, seolah-olah hidup di bawah naungan hukum Islam akan menjadi awal kehancuran kehidupan mereka. Di dunia Islam, ketakutan ini dimanfaatkan untuk menjustifikasi diambilnya langkah-langkah keras untuk menangani aktivis muslim yang menyerukan penerapan hukum syariat dengan menegakkan Negara Khilafah.
Negara-negara Barat imperialis, bersama-sama dengan media dan para penguasa di dunia Islam yang menjadi antek-antek mereka, dibarengi dengan pengawasan ketat terhadap para pengemban dakwah, memanfaatkan isu-isu seperti penerapan hukum syariat untuk mengolok-olok dan menyerang gagasan penerapan Islam. Mereka masih khawatir jika hukum syariat Islam diterapkan secara benar, akan melahirkan negara yang keadidayaannya tidak pernah tersaingi oleh negara manapun.
Karena itu, bisa dipahami mengapa negara-negara Barat imperialis memiliki agenda untuk merusak citra Islam, (yaitu) supaya Islam tidak dipandang sebagai alternatif bagi ideologi kapitalis. Untuk memperoleh gambaran yang jernih perihal nasib orang-orang non-muslim dalam Negara Khilafah, harus dijelaskan kepada kaum muslim maupun non-muslim, bagaimana Negara Khilafah memperlakukan orang-orang non muslim yang ada di wilayah kekuasaannya. Ini diperlukan, agar kekhawatiran dan kesalahpahaman itu bisa hilang dengan sendirinya, sekaligus dapat mengcounter berbagai tuduhan keji dari musuh-musuh Islam yang tidak suka dengan diterapkannya kembali syariat Islam.
Sebagian ulama beraggapan bahwa non-muslim tidak boleh diikuti ketika dia menjadi seorang pemimpin. Baik ketika dia menjadi kepala negara, gubernur, bupati, maupun camat. Ini tinggal menunggu kehancuran. Namun, anggapan ini harus segera dirubah oleh masyarakat sekarang karena merupakan pemahaman yang keliru bahkan salah besar.
Jika mau mengkaji lebih dalam lagi tentang hakikat dari pemimpin itu, jelas siapapun berhak untuk menjadi pemimpin di Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari satu agama. Sangat ironis apabila masih ada pernyataan yang mengatakan orang non muslim tidak boleh memimpin. Sistem pemahaman yang sepihak inilah yang harus segera diubah.
Padahal, jika mau mengkaji lebih dalam lagi banyak orang-orang muslim yang berhak menjadi seorang pemimpin lantaran keperibadiannya yang baik. Jika dibandingkan dengan umat muslim sendiri, banyak dari kalangan non muslim yang memiliki watak yang baik, bisa berlaku adil, jujur, dan bertanggung jawab. Apabila seorang pemimpin sudah memiliki prilaku seperti itu, jelas dia berhak dijadikan pemimpin bangsa ini. Ketimbang harus dipimpin oleh seorang muslim tapi berprilaku tidak adil, penindasan dimana-mana, serta tidak bertanggung jawab.
Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Ibnu Taimiyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah, "lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, dari pada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim". Sebuah peryataan yang jauh berbeda dari para ulama sekarang.
Hal ini hendaknya menjadi cermin bersama bagi masyarakat khususnya di Indonseia. Dari peryataan yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah sudah cukup jelas, bahwa siapapun berhak menjadi pemimpin selama dia bisa berlaku adil. Lebih jauh Ibnu Taimiyah mengatakan,"Kezaliman mengakibatkan kesengsaraan, keadilan melahirkan kemuliaan. Allah membantu Negara yang adil meskipun kafir, dan tidak membantu Negara yang dzalim meskipun beriman."
Kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani dan keadilan tanpa kekuasaan adalah omong kosong. Dalam konsep politik, hal ini tentu teruji karena memang nihil kita jumpai. Oleh karenanya, memilih pemimpin mestilah melihat sifat yang melekat dari para calon tersebut. Jika tidak, kedzaliman yang besar tentu akan menyertai perkembangan sosial nantinya. Namun, jika pun harus terpisah antara otoritas dan keadilan, tentu esensi merupakan hal utama ketimbang kekuasaan. Ya, adil tidak boleh diabaikan dalam hal ini, dan adil adalah wajib hukumnya tidak hanya kepada pemimpin, namun untuk semua manusia.
Memang dalam satu sisi, kekuatan juga sangat menentukan keadilan. Dalam Islam sejatinya kekuasaan dan keadilan mesti berjalan beriringan, tak bisa terpisahkan. Sebagai contoh konkrit, hal ini bisa dilihat dari pengangkatan Khalid bin Walid dalam komandan perang. Walau dalam keseharian Khalid bin Walid terkadang juga melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh Rasulullah saw.
Bahkan suatu ketika Rasulullah saw menengadahkan kedua tangan beliau ke langit seraya berdo'a, "Ya Allah, Aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang diperbuat Khalid." Peristiwa ini berkenaan dengan tindakan Khalid ketika diutus Rasul saw kepada suku Judzaimah, ternyata dia melakukan serangkaian pembunuhan dan mengambil harta kekayaan mereka secara syubhat. Tindakan Khalid ini sangat bertentangan dengan perintah Rasul saw, bahkan dia sudah diperingatkan para sahabat agar tidak melakukan perbuatan itu.
Akibatnya, Rasulullah pun pada akhirnya harus membayar denda (diyat) atas pembunuhan tersebut dan menjamin untuk mengembalikan harta mereka. Meskipun dengan terjadinya kasus itu, Rasulullah saw tetap berkenan mengangkat Khalid bin Walid menjadi panglima perang. Sebab, untuk masalah yang satu ini dia lebih layak dari pada yang lain. Rasulullah melakukan ini atas dasar interppretasi pendapat pribadi.
Jadi, siapapun berhak memimpin negara ini tanpa perlu memperhatikan latar belakang agamanya. Karena, kejujuran dan keadilan menjadi nomor satu. Tuhan lebih meridhoi kepemimpinan yang bisa berlaku adil. ●