Serumpun Padi Sukardi Rinakit ; Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate |
KOMPAS, 25 September 2012
Hormat saya kepada Joko Widodo dan Alex Noerdin. Dua tokoh ini menjadi contoh kebenaran kecil yang disampaikan Emak tahun lalu. Emak mengatakan, rakyat itu seperti orangtua. Lebih tepatnya seperti ibu. Dengan kasih sayang, mereka akan menerima anaknya yang pulang meskipun ia gagal di perantauan. Apalagi kalau anak itu berhasil.
Kini warga Solo dan Jakarta secara umum, utamanya orang-orang pinggiran, bangga kepada Joko Widodo (Jokowi). Menurut hasil penghitungan cepat, pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menang dalam Pilkada DKI Jakarta. Saya teringat kata-kata seorang bapak, yang duduk di sebelah penulis, ketika kami makan gulai kambing di Pasar Klewer, Solo. Katanya, ”Jokowi niku temen, tekun, tekan (bersungguh-sungguh, tekun, maka pasti berhasil).”
Ketika Alex Noerdin kalah dalam kontestasi putaran pertama dan kembali ke Sumatera Selatan, tukang servis jam langganan saya yang asli wong kitomalah senang. Ia percaya, tugas hidup Pak Alex masih harus membangun Sumatera Selatan. Untuk membuktikan ”kebenaran kecil” tersebut, minggu lalu, penulis ke Palembang. Ternyata rakyat memang seperti ibu. Mereka tetap menerima Alex Noerdin apa adanya.
Tiga Sawah
Kemenangan Jokowi-Ahok adalah cermin dari realitas politik Indonesia saat ini. Intinya, masyarakat sebagai pemilik sejati Republik kini menginginkan perubahan. Sudah lama mereka merasa dikhianati para pemimpinnya. Bukan perasaan aman yang mereka dapatkan, melainkan kecemasan. Bukan air bersih, kesehatan, dan pendidikan berkualitas serta terjangkau yang mereka peroleh, melainkan birokrasi korup. Pendeknya, semua bermuara pada pembiaran. Rakyat seperti dilepas sendirian.
Akibat dari kebatinan publik seperti itu, dominasi sumber daya politik konvensional yang selama ini diagungkan para politisi, utamanya kekuatan kapital dan mesin partai, kini rontok. Uang dan mesin partai, bahkan institusi agama, tidak lagi mampu memobilisasi pendukung. Dalam bahasa lain, moda produksi itu sudah tidak lagi mampu menyetir moda interpretasi.
Fenomena itu secara nasional merujuk pada situasi, apa pun partainya apabila mencalonkan tokoh yang sederhana, merakyat, punya ketegasan, dan mau bekerja keras, ia akan didukung rakyat. Baju, ketampanan, kecantikan, uang, bahasa tinggi, dan pencitraan tidak lagi jadi preferensi pilihan rakyat. Di sini, alam bawah sadar rakyat kembali ke sejarah kampung. Ekspresi kesederhanaan dan ketulusan, yang menjadi kebijaksanaan purba bangsa Indonesia, akan menguat di ranah politik.
Dalam konstruksi kebatinan publik yang seperti itu, celakanya, rumah-rumah kebangsaan yang menjadi sawah persemaian kader-kader transformatif telah banyak yang kosong. Sawah itu kini tidak lagi ditumbuhi ”serumpun padi” sebagai kiasan pemimpin yang menjanjikan cinta dan kesejahteraan, tetapi tebaran ilalang.
Sawah pertama adalah partai politik. Persemaian para pemimpin di rumah politik ini sangat lambat karena kerasnya praktik paternalistik dan oligarki partai. Selain itu, juga menguatnya kapitalisme demokrasi yang membuat proses dan kontestasi politik menjadi mahal. Dalam konteks ini, hanya kebaikan hati ketua umum partai dan bukan sistem pengaderan baku yang memungkinkan ”serumpun padi” bisa tumbuh dan berbakti kepada rakyat.
Karakter partai yang oligarkis tersebut tentu menyuburkan sikap simplistis para kader. Mereka, khususnya yang di daerah, mudah terperosok pada euforia. Kemenangan Jokowi, misalnya, langsung mereka tangkap sebagai kemenangan mereka dalam pilkada di daerah masing-masing nanti. Padahal, kapabilitas, integritas, dan elektabilitas mereka berbeda dengan Jokowi. Baju kotak-kotak pun akan mereka pakai sebagai simbol perubahan. Padahal, tantangan dan konteks sejarah kampung Jakarta dan daerah mereka sangat berbeda.
Sawah kedua adalah masyarakat sipil. Ranah civil societyyang selama ini dianggap banyak pihak masih aktif dan mempunyai daya gempur signifikan sebenarnya sudah lama kosong. Tidak ada persemaian kepemimpinan di sini. Para aktivis dan pemikir yang pada awalnya bergerak di medan ini sudah lari ke bidang-bidang lain, terutama politik praktis, sebelum mereka, sebagai ”serumpun padi”, siap panen. Karena terlalu dini meninggalkan sawah tempat mereka tumbuh, akhirnya mereka gagal menjadi energi transformatif di tempat baru.
Terakhir, sawah ketiga adalah kelompok-kelompok agama. Sawah ini boleh dibilang tak lagi menyemai pemikir dan penggerak perubahan yang bebas dari kerangkeng sempit tafsir teologis untuk berpijak pada kekuatan struktur basis (rakyat). Dengan istilah lain, mereka cenderung terjebak pada pandangan bahwa manusia ”beragama” adalah sebuah entitas tersendiri. Karena terjebak pada jubah itu, mereka tidak cukup punya energi untuk mendobrak kejumudan politik dan melahirkan pemimpin rakyat.
Siapa pun pemimpin rakyat yang lahir sekarang ini pada dasarnya adalah karena kehalusan akal budi dan keteguhan hati yang bersangkutan, bukan persemaian institusional (partai politik, masyarakat sipil, dan kelompok-kelompok agama).
Tangis, peluh, dan suara rakyat adalah pupuk yang membuat ”serumpun padi” itu cepat menguning. ●