Jumat, 28 September 2012

Jumat Marah, Jumat Ramah

Jumat Marah, Jumat Ramah
Arif Afandi ;  Ketua Dewan Masjid Indonesia Kota Surabaya 
JAWA POS, 28 September 2012


JUMAT baru-baru ini, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dan Prancis menutup kantor kedutaan besarnya di sejumlah negara muslim, termasuk di Indonesia. Langkah tersebut dilakukan sebagai antisipasi terhadap aksi protes yang merebak di seluruh dunia atas film dan kartun yang dinilai menghina maupun menistakan Nabi Muhammad SAW. Seakan, kemarahan umat Islam yang dipicu karya provokatif dari warga negara dan media dua negara tersebut menjadikan Jumat sebagai nightmare alias mimpi buruk bagi dua negara itu.

Tentu bukan karena hari suci Jumat itu sendiri yang membuat mereka takut dengan Jumat. Di mata mereka, Jumat dianggap "menakutkan" karena pada hari itulah muslim berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan kewajiban salat Jumat. Berkumpulnya massa itulah yang diduga menjadi alasan ketakutan sejumlah negara Barat -yang karena ulah warga negaranya- telah memprovokasi lewat karya provokatif tersebut. Tentu ketakutan dan kecemasan mereka tidak bisa disalahkan karena ada aksi protes yang disertai dengan kekerasan di beberapa tempat.

Persoalannya adalah bagaimana kita bisa mengubah persepsi dunia Barat bahwa Jumat bukanlah hari yang menakutkan? Apa yang bisa dilakukan umat Islam agar Jumat menjadi sesuatu yang biasa seperti hari-hari pada umumnya? Singkatnya, bagaimana mengubah persepsi masyarakat Barat dari yang semula menganggap Jumat sebagai hari mobilisasi kemarahan umat Islam menjadi hari yang penuh dengan keramahan? 

Jualan Mobil Premium 

Dalam sebuah kesempatan, saya pernah salat Jumat di masjid tertua dan masjid yang ada di kompleks makam Saad bin Abi Waqash di Guangzhou, Tiongkok. Nama yang disebut terakhir adalah sahabat Nabi Muhammad. Masjid tertua itu terletak di pusat kota, sedangkan satunya di pinggiran kota. Makam salah satu sahabat istimewa Nabi tersebut berada di puncak bukit yang terawat dengan rapi. Pada saat saya berziarah ke makam itu, pemerintah sedang merenovasi makam salah seorang yang menjadi kesayangan Rasulullah tersebut. 

Dua tempat peribadatan muslim itu penuh dengan jamaah, bahkan meluber. Yang menarik adalah kebiasaan setelah salat Jumat untuk berwisata dan bersilaturahmi antarjamaah lainnya. Karena itu, usai salat Jumat, halaman masjid dan sekitarnya berubah seperti pasar dadakan. Para pedagang sekitar masjid meladeni para jamaah untuk makan siang dan memenuhi kebutuhan lainnya. 

Pedagangnya tidak hanya umat muslim, tapi siapa pun. Selain makanan, mereka menggelar dagangan untuk kehidupan sehari-hari. Mulai barang-barang yang tergolong consumer goods sampai dengan barang peralatan rumah tangga. Halaman masjid pada Jumat rata-rata berubah menjadi semacam bazar. Untuk yang suka makan, banyak pedagang makanan halal. Mulai makanan khas Arab sampai makanan lokal. Menyenangkan. 

Di Dubai, salah satu negara Uni Emirat Arab, lebih menarik lagi. Hampir setiap mal mengumandangkan azan setiap waktu salat tiba. Demikian juga saat datang kewajiban salat Jumat. Saya pernah salat Jumat di masjid sebuah mal besar. Ketika azan berkumandang, sebagian besar penjaga toko pria dan para pengunjung muslim bergegas menuju masjid. Begitu kewajiban selesai ditunaikan, mereka langsung bertebaran kembali bekerja. Tidak ada batas antara kewajiban religius dan kehidupan sehari-hari. Inilah potret negara Islam yang mengandalkan hidupnya dari jasa dan perdagangan, mirip Singapura dan Hongkong.

Seorang kawan pemilik showroom mobil premium di Jakarta juga menggunakan aktivitas salat Jumat sebagai bagian dari marketing. Setiap Jumat mereka menjajakan dagangan mobil di sejumlah masjid di kawasan elite. Hasilnya di luar dugaan. Diceritakan bahwa dia bisa menjual minimal dua mobil premium setiap Jumat di beberapa masjid tertentu. Ternyata, jamaah di sejumlah masjid di Jakarta merupakan pasar potensial mobil premium yang rata-rata berharga sekitar Rp 1 miliar itu. 

Rahmat Jumat 

Di antara sejumlah contoh di atas, seharusnya Jumat tidak menjadi mimpi buruk bagi anggota masyarakat lainnya. Ia justru bisa menjadi berkah, baik dari perspektif agama, ekonomi, maupun sosial. Pada saat itulah, umat Islam punya kesempatan untuk melakukan interaksi sosial dengan muslim lainnya. Ada berkah ekonomi karena pada saat itulah, jamaah bisa menjadi potential market yang saling menguntungkan bagi semua pihak. Secara agama, jelas menjadi medium untuk menjaga silaturahmi, selain memang dalam rangka menjalankan kewajiban agama. Karena itu, kalau kini Jumat dianggap sebagai hari yang mencekam bagi negara Barat, berarti ada kesalahan persepsi di kalangan mereka.

Cara berpikir negara-negara Barat seharusnya mulai bergeser. Model penutupan kantor kedutaan di negara-negara muslim pada Jumat justru mengkristalkan "permusuhan" politik antara komunitas Barat dan komunitas muslim. Padahal, kekerasan yang terjadi terhadap komunitas Barat selama ini bukan karena lapak agama, tapi lebih karena persoalan politik dan ketidakadilan tata ekonomi dunia. Buktinya, kekerasan atas nama agama melawan komunitas Barat sepenuhnya terjadi di negara-negara yang secara ekonomi miskin dan merasakan langsung ketidakadilan dunia Barat. 

Singkatnya, dunia Barat saatnya mengubah pola relasi diplomatis tanpa harus menggunakan simbol-simbol agama. Sebaliknya, umat muslim perlu menghindari obral simbol agama dalam menyampaikan aspirasi atas ketidakadilan tata dunia. Menjadikan Jumat ramah rasanya lebih membuat semua pihak bahagia. 

◄ Newer Post Older Post ►