Jumat, 28 September 2012

Branding

Branding
Rhenald Kasali ; Ketua Program MM Universitas Indonesia
SINDO, 27 September 2012


Kemenangan sementara Jokowi (saya sebut sementara sampai pengumuman resmi KPU) menimbulkan banyak pertanyaan tentang pentingnya branding

Banyak juga yang percaya branding, khususnya dalam politik, adalah bagian dari pencitraan. Begitulah cara berpikir kebanyakan orang sehingga pencitraan selalu dimulai saat berkampanye. Padahal branding bukan melulu masalah komunikasi, ia selalu dimulai dari awal, dari core promise, yaitu apa yang Anda janjikan. Kata inovator Guy Kawasaki (dalam The Art of Starting), branding harus dimulai dari mantra atau janji suci yang diucapkan di dalam hati dan berulang-ulang. Branding tak bisa diciptakan dalam setahun-dua tahun.

Apalagi, dalam semalam dua malam seperti yang sering diucapkan para motivator. Branding butuh waktu panjang, bahkan sejak kepala Anda ditegakkan dari atas permukaan kerah baju. Ini berarti dimulai sejak orang-orang melihat kehadiran Anda. Branding Jokowi bukanlah baju kotak- kotaknya dan branding Fauzi Bowo bukanlah kumisnya seperti yang sering kita baca.
Ada bangku atau dingklik(kursi kecil) di sekitar machine. Anak-anak muda di 9 negara yang berada dalam area kampanye branding Coke hanya butuh beberapa saat untuk memecahkan masalah ini. Mereka harus saling memangku. Salah seorang berdiri di bawah dan sahabatnya naik ke atas pundak temannya. Koin yang dimasukkan pada slot yang tinggi membutuhkan kerja sama persahabatan, dilakukan sambil bersenang-senang. Lalu 2 botol Coke meluncur ke bawah. Kalau berhasil didapat, semua senang. Branding campaign itu dengan cepat menyebar luas.

Anak-anak muda berebut memanjat bersama dengan sahabat-sahabatnya, berfoto di depan vending machine persahabatan dan menyebarkannya dalam media-media sosial persahabatan. Omzet Coke naik dan brand relationship terbentuk. Brand relationship membutuhkan kreativitas. Namun lebih dari itu, manusia di belakangnya harus memiliki branding spirit yang kuat. Bukan seorang yang kaku, pemarah terhadap publik, jarang menyapa, apalagi penakut, tentu sulit untuk dicitrakan sebagai manusia yang memimpin untuk melayani.

Celakanya badan-badan usaha di Indonesia lebih banyak diwarnai pikiran menghindari kreativitas dan lebih kuat control compliance-nya daripada inovasi. Eksekutif lebih kuat mengikat kakinya daripada menjelajahi relationshipyang kreatif. Kalau sudah begitu, pencitraan apa pun akan sulit dibangun. Apalagi bila waktunya mepet.

Partisipasi Publik 

Brand essence dan brand relationship akan tampak saat terjadi loyalitas. Loyalitas yang ditandai dengan repeat order (pembelian berulang-ulang atau kembalinya pelanggan-pelanggan lama) akan bermakna pada partisipasi publik. Dalam Pilkada DKI putaran kedua, mudah disaksikan kekuatan brandingJokowi yang antara lain ditandai oleh kuatnya partisipasi masyarakat dalam banyak hal.

Tengok saja game online yang dibuat anak-anak muda asal Bandung, mereka sama sekali bukan anggota tim sukses Jokowi meski mereka meminta restu kepada yang bersangkutan. Berbeda benar dengan game online yang dibuat oleh tim sukses Foke-Nara. Yang satu datang dari partisipasi publik, sedangkan yang satunya dari dalam. Partisipasi publik akan datang pada produk-produk yang tepat dan saat yang tepat. Para politikus yang cerdas bisa belajar dari kasus ini.

Pertama, menjaga sikap dan membentuk esensi (essence) yang konsisten adalah modal utama sebuah kemenangan. Betapa seringnya Anda muncul di televisi bukanlah faktor keberhasilan kalau ucapan-ucapan yang ditampilkan justru bertentangan dengan kemauan dan tuntutan publik. Kedua, tindakan harus konsisten dengan ucapan.

Ketiga, kemenangan hanya didapat kalau partai berhasil membina kader- kadernya dan mendapatkan kader-kader yang memiliki esensi, yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Maka hampir pasti, mengandalkan kader internal yang buruk akan menjadi beban bagi partai. Tugas partai adalah menemukan pemimpin, bukan mempromosikan orang-orangnya yang tidak memiliki esensi kuat.

◄ Newer Post Older Post ►