Pelajaran Gender dari Pilpres AS Diah Irawaty ; Aktivis Hak-Hak Perempuan, Alumni Brandeis University, Massachusetts, Tinggal di Binghamton, New York, AS |
SUARA KARYA, 27 September 2012
Konvensi nasional Partai Demokrat 2012 menyisakan satu wacana politik yang cukup menyita perhatian masyarakat dan pengamat di Amerika Serikat (AS). Yaitu, pidato Ibu Negara Michele Obama, yang disampaikan sebelum pidato penutupan oleh Presiden Barack Obama.
Bahkan banyak orang "bertanya-tanya" apakah pidato Presiden Obama akan bisa mengalahkan pidato Michele? Bersama mantan Presiden Bill Clinton dan Presiden Obama, Michele Obama menjadi bintang di konvensi tersebut, memperlihatkan kehebatannya sebagai Ibu Negara. Terbayang bagaimana posisi dan peran penting Ibu Negara dalam politik Indonesia.
Wacana ini menarik dan penting dalam politik Indonesia karena selama ini belum pernah ada Ibu Negara mendapat perhatian politik yang besar. Posisi penting Ibu Negara, bukan sekadar sebagai pendamping suami.
Tentu tidak cukup menyimpulkan kehebatan Michele Obama sebagai Ibu Negara hanya dari satu pidatonya. Namun, menyampaikan pidato di konvensi partai untuk menerima nominasi pencalonan seseorang sebagai Presiden AS merupakan event dan kesempatan politik besar. Tidak jarang, karena podato tersebut, seorang politisi berada dalam 'radar' pencalonan presiden berikutnya. Isi pidato sendiri refleksi keterlibatan (engagement) terhadap masalah yang disampaikan dalam pidato. Karenanya, pidato (politik) tersebut bukan sekadar menunjukkan kemampuan retorika publik, tapi pemahaman mendalam terhadap konteks politik masalah-masalah yang disampaikan.
Michele Obama menyampaikan secara naratif latar belakang kehidupan pribadi dirinya dan Presiden Obama, menekankan bahwa keduanya bukan berasal dari keluarga yang secara ekonomi berkecukupan. Yang menarik, dan bernilai politik, Michele menekankan justru dengan latar belakang ekonomi seperti itu, mereka lebih bisa menjaga komitmen untuk membuat dan melanjutkan program-program layanan sosial (social services) dan peduli pada masyarakat kecil.
Tanpa menyebut nama calon presiden Partai Republik, - Mitt Romney yang berasal dari "keluarga kaya" - Michele Obama dengan lugas mengkritik balik kritik Partai Republik yang menganggap program layanan sosial Presiden Obama sebagai pemborosan keuangan negara. Ini merupakan salah satu refleksi kemampuan dan kecerdasan politik Michele Obama, melakukan kontekstualisasi pengalaman personal agar benar-benar bernilai politik.
Michele Obama juga menekankan transformasi "politik domestik" - terkait bagaimana manajemen dan administrasi rumah tangganya dibangun dan dijalankan berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender - ke dalam politik kenegaraan. Michele menceritakan pengalaman mendidik keluarga, manakala Presiden Obama selalu bersedia menjadi teman diskusi bagi kedua putrinya. Bagaimana hal ini bisa penting dalam konteks politik negara?
Republik sering mengkritik Demokrat sebagai anti-keluarga, khususnya keluarga tradisional. Dengan menekankan pada konsep keadilan dan kesetaraan gender dalam rumah tangganya, Michele Obama tak hanya memukul balik kritik Republik dengan contoh nyata, tapi juga menegaskan "konsep baru" berkeluarga yang akan semakin menarik minat politik kelompok liberal, seperti para aktivis hak-hak perempuan dan anak, terhadap Demokrat.
Di sini, Michele Obama dinilai sangat berhasil menampilkan slogan what is personal is political dalam retorika politik yang mudah dipahami berbagai kalangan. Inilah gambaran kecerdasan politik Michele Obama sebagai Ibu Negara.
Pidato di Konvensi Demokrat tersebut semakin menguatkan kharisma politik Michele Obama, sebagai first lady, yang selama ini sudah terbentuk, bukan saja karena (kebetulan) dirinya isteri Presiden Barack Obama, tapi juga karena "tabungan" keterlibatannya pada upayanya mendukung program-program dan kebijakan politik presiden, khususnya kesejahteraan sosial.
Berpidato dalam konvensi partai sendiri sering dijadikan sumber scouting calon presiden pada periode pemilu selanjutnya. Setelah pidato ini, banyak yang menilai, Michele Obama pantas diusung menjadi calon presiden AS. Nilai politiknya juga cukup tinggi, khususnya melihat identitas ras dan gendernya.
Di Indonesia, bagi Ibu Negara, yang tersulit adalah "melepaskan diri" dari kuatnya stereotipe sosial posisinya yang sekedar berperan sebagai pendamping suami. Untuk mengatasinya, butuh bukan sekedar dukungan parpol, tapi kemampuan dan kecerdasan politik yang ditujukan, baik melalui upaya-upaya nyata maupun retorika.
Di sinilah, pentingnya "belajar" pada Michele Obama. Indonesia sesungguhnya membutuhkan kepemimpinan dengan kecerdasan politik yang "lebih" dibanding di AS. Persoalan korupsi dan penegakan hukum yang amburadul membawa negara ini dalam krisis serius. Ini menjadi tantangan terbesar bagi mereka yang berkenginan menjadi Presiden Indonesia.
Pidato Michele Obama tanpa teks di konvensi partai menjadi indikasi minimal kemampuan retorika politik. Ini semakin kuat menunjukkan kapasitas dan kemampuannya "berpolitik" karena dibangun atas dasar engagement dan empati pada persoalan-persoalan sosial yang sering menjadi perdebatan dalam wacana politik nasional seperti health care, social safety net, hak-hak perempuan, anak dan kelompok minoritas, dan lain-lain. Tentu bukan hal mudah membangun engagementdan empati tersebut, terutama jika sejak awal tidak memiliki dasar pandangan dan sikap yang kuat.
Michele Obama mengatakan, Being president doesn't change who you are, it reveals who you are (menjadi presiden tidak mengubah siapa Anda, tapi menampakkan siapa sebenarnya diri Anda). Apakah Anda benar-benar seorang (pemimpin) dengan empati dan kepedulian kuat terhadap rakyat atau seseorang yang senang menggunakan imejuntuk mempertahankan kekuasaan. Diyakini, pernyataan Michele Obama tersebut juga bisa diterapkan oleh Ibu Negara Indonesia. ●