Sikapi Tawuran Pelajar dengan Bijaksana S Immawati ; Mahasiswa S-3 UNJ Jurusan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan |
MEDIA INDONESIA, 28 September 2012
KEHILANGAN seseorang yang disayang begitu menyayat hati. Sayatan itu melebihi sayatan fisik. Pada dasarnya, hampir tidak ada manusia yang suka akan kehilangan, apalagi kehilangan untuk selama-lamanya. Sebagai manusia biasa, kita tidak bisa menampik datangnya takdir dari Tuhan.
Kita semua mesti sepakat bahwa kematian pasti akan datang menghampiri sesuai dengan kehendak Tuhan walau idealnya kepergian itu harus dengan jalan yang tidak menyedihkan, misalnya meninggal karena sakit, meninggal dalam keadaan sehat, dan meninggal dalam keadaan di dalam rumah.
Terlalu menyakitkan jika orang yang kita sayang meninggal dengan cara yang tragis seperti kecelakaan, bunuh diri, dibunuh, atau meninggal dalam tawuran/ribut antarkampung. Namun, itulah yang belakangan terjadi di Ibu Kota Jakarta. Pada waktu berdekatan, dua pelajar tewas dalam tawuran. Alawy, pelajar SMAN 6 Jakarta Selatan, dan Deni Januar, pelajar SMA Yayasan Karya 66, Jakarta Timur, menjadi korban dalam tawuran pelajar. Nyawa keduanya tidak sempat terselamatkan. Dua pelajar tersebut tewas di tempat kejadian perkara sebelum sempat dibawa ke rumah sakit oleh teman-temannya.
Kita sebagai orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan kedua pelajar tersebut sangat miris dan bersedih hati mendengar berita itu. Coba bayangkan bagaimana perasaan dan keadaan kejiwaan keluarga kedua korban setelah tahu bahwa anak mereka tewas secara mengenaskan dalam tawuran pelajar? Anak kecil pun pasti tahu jawabannya bahwa keluarga kedua korban tersebut pastinya sangat sedih, marah, kesal, gondok, tidak terima, belum percaya seolah itu mimpi, dan pasti tebersit dendam di hati mereka meskipun hanya sedikit. Bagaimana tidak, anak yang telah diurus dari bayi hingga tumbuh menjadi laki-laki remaja tewas secara mengenaskan dan tidak disangka-sangka. Orangtua mana yang rela anaknya tewas dengan cara demikian?
Tidak hanya orangtua yang sesungguhnya merasa sedih dan kehilangan, saudara-saudara terdekat, sahabat-sahabat, guru-guru, tetangga mereka, dan orang lain pun pasti ikut prihatin atas meninggalnya kedua pelajar tersebut. Terlebih, keduanya jelas meninggal dalam keadaan yang tidak wajar. Jika sudah demikian, ibarat nasi sudah menjadi bubur, sama artinya bahwa keduanya tidak mungkin lagi dihidupkan. Kira-kira, apa yang dipikirkan para pelaku pembunuhan yang statusnya juga sama, yaitu sebagai pelajar? Ikut sedihkah, ikut menangis kah, ikut prihatinkah, atau menyesal atas apa yang sudah mereka lakukan? Memang benar istilah yang mengatakan bahwa penyesalan selalu datang belakangan/terlambat.
Namun untuk kategori kasus ini, prinsip yang dibangun semestinya mending terlambat daripada tidak sama sekali. Ada yang menghujat, ada yang bertanya-tanya mengapa, ada juga yang mengklaim, ada yang sekadar prihatin, ada yang menyalahkan guru-guru, ada yang menyalahkan polisi, ada yang menyalahkan orangtua, ada yang menyalahkan lingkungan, ada yang menyalahkan teman sebaya, ada yang menyalahkan senior, dan ada juga yang menyalahkan semua pihak atas maraknya tawuran pelajar di Ibu Kota Jakarta yang kerap kali menimbulkan korban luka-luka ringan, lukaluka parah, dan korban tewas. Tidak hanya peserta tawuran yang bisa menjadi korban, pengguna jalan, kendaraan yang lalu lalang, dan bangunan-bangunan di sekitar lokasi tawuran juga kerap menjadi korban aksi tawuran.
Semua Bertanggung Jawab
Jika sudah demikian, sesungguhnya siapakah yang mesti disalahkan dan siapa pula yang harus bertanggung jawab? Tidak patut menyalahkan pelaku secara ekstrem karena bagaimanapun juga, mereka anak-anak remaja yang masih labil dan butuh pendampingan ekstra dari orang-orang terdekat. Meskipun secara nilai substansial, tidak ada yang membenarkan apa yang mereka lakukan itu perbuatan pidana (menghilang kan nyawa seseorang dengan sengaja). Jika menelaah lebih dalam, kita mestinya tidak hanya menyalahkan satu pihak dalam kasus tawuran pelajar, tetapi semua pihak harus ikut bertanggung jawab secara dewasa. Pihak-pihak tersebut yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, teman sebaya, aparat penegak hukum, dan seniorsenior mereka yang kerap kali masih ikut campur dalam proses terjadinya tawuran pelajar.
Tawuran pelajar merupakan aktivitas turun-temurun dari zaman dahulu hingga sekarang sehingga untuk menghapuskan tradisi tawuran pelajar, kita mesti mengetahui mata rantainya. Tidak ada tradisi yang abstrak. Tradisi yang dilakukan turun-temurun pastilah ada ujung pangkalnya. Jika diobservasi secara serius dan teliti, tradisi tawuran pelajar pasti bisa dihapuskan dengan sebersih-bersihnya. Tentu harus ada kerja sama yang kompak dari semua pihak, tidak boleh saling menyalahkan satu dengan yang lainnya, merasa dirinya paling benar, dan memojokkan pihak lain secara ekstrem tanpa kompromi sama sekali.
Perlu kita sadari bersamasama, para pelaku tawuran adalah anak-anak remaja usia labil yang masih mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Bagi remaja yang mempunyai prinsip hidup kuat, dia akan berusaha tetap komitmen di jalan kebaikan. Namun bagi remaja yang tidak mempunyai prinsip hidup, ia akan mudah terpengaruh dan dipengaruhi lingkungan sekitar terutama teman-teman sebayanya. Untuk remaja labil yang tidak mempunyai prinsip hidup, jangankan mengerti sebuah obsesi, karier, masa depan, pengembangan potensi, dan bakat, tentang keberadaan dirinya saja mereka masih suka bingung dan bertanyatanya: untuk apa sesungguhnya mereka hidup? Jika yang ikut tawuran adalah remaja-remaja labil yang tidak mempunyai prinsip hidup, sudah sepatutnya keluarga dan guru mendampingi mereka secara lebih sabar, lebih teliti, dan lebih advokatif supaya para remaja tersebut pada akhirnya mengerti bahwa hidup mereka terlalu sia-sia jika tidak digunakan untuk berbuat kebaikan kepada orang lain.
Tokoh agama juga harus ikut bertanggung jawab atas bobroknya moral generasi muda yang mestinya menjadi penerus generasi tua. Bagaimanapun, generasi tua akan lengser keprabon dan digantikan para generasi muda yang kuat, berkomitmen, mempunyai prinsip, tangguh, dan serius dalam mengurusi negara tercinta Indonesia.
Bagaimanapun agama harus bisa memberikan pencerahan kepada para remaja tersebut tentang hakikat hidup dan kehidupan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, agama mana pun tidak ada yang membolehkan pembunuhan, agama siapa pun pasti menginginkan sebuah kedamaian dan kenyamanan dalam hidup serta kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kita semestinya menjadi orang pertama yang akan membela anak-anak pelajar yang tawuran, tentu dengan pendampingan ekstra sabar dan berkelanjutan, jika orang-orang dan masyarakat hanya bisa mengklaim/menyalahkan anak-anak tawuran tanpa pernah bertanya tentang alasan mereka tawuran. ●