Tawuran Cermin Pelajar Frustasi Mudji Sutrisno ; Budayawan |
SUARA KARYA, 28 September 2012
Fenomena tawuran pelajar di berbagai kota besar seperti di DKI Jakarta, terjadi ketika para pelajar yang sedang mencari identitas diri tidak menemukan penyaluran kreativitas seni atau olahraga karena ruang-ruang itu seolah-olah tertutup. Mereka merasa tak mendapatkan tempat untuk pemekaran jati diri, sikap dan wataknya yang bersifat positif. Yang ditemukan justru lingkungan pergaulan menghalalkan segala cara dan cerminan masyarakat yang hidup dalam kesulitan. Akibatnya, mereka terjerembap dalam tindak kriminal, merasa jadi jagoan berkelahi secara gerombolan dan bukan satu lawan satu secara fair.
Di zaman Gubernur Ali Sadikin tahun 1970-an, hampir setiap sekolah memiliki lapangan untuk berolahraga dan dilengkapi ruang-ruang seni untuk berkreasi. Dengan aneka kegiatan semacam itu, pelajar atau siswa dengan mudah menemukan identitas dirinya. Manakala bakat mereka tersalurkan, tak ada kesempatan untuk tawuran.
Kini, ada tiga model sekolah. Pertama, sekolah yang memberikan ruang hingga talenta anak didiknya berkembang. Sekolah macam ini selain sarana gedung dan guru-guru yang memadai, juga menyediakan lapangan olahraga dan aula untuk kreativitas seni para siswanya.
Kedua, sekolah dengan gedung dan guru-guru berkemampuan setengah-setengah, belum pendidik yang benar-benar mampu mendidik siswanya dengan baik. Hasilnya adalah anak-anak berkemampuan rendah atau pas-pasan, dengan pengutamaan aspek pengetahuan secara dangkal.
Ketiga, sekolah yang tidak peduli dengan masa depan anak didik karena yang dipentingkan adalah pemasukan uang. Sekolah macam ini, selain tidak memiliki gedung dan guru-guru yang memadai, juga tidak menyediakan ruang-ruang untuk penyaluran bakat siswa. Guru-guru dan orangtua tidak berperan banyak dalam mendidik anak ke arah yang lebih baik. Para siswa pun berpotensi melakukan tawuran.
Bagaimanapun, model sekolah kedua dan ketiga harus diubah agar menjadi sekolah model pertama di mana ruang bermain siswa tersedia. Dalam mengajar, guru tidak sekadar mendiktekan pelajaran. Tapi bersikap terbuka, merentangkan tangan lebar-lebar untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan bakat hingga menemukan identitas dirinya. Kalau anak-anak muda merasa tak dimanusiakan dan tak memiliki ruang untuk menyalurkan hobi, mereka bisa frustrasi dan lari ke narkoba atau melakukan kekerasan lewat perkelahian.
Saya menengarai, setelah pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah dihapuskan, kemudian jam pelajaran agama masing-masing siswa ditambah dan dipolitisasi supaya tidak saling pindah agama, hal ini berpengaruh terhadap perkembangan anak. Etika, sopan santun, sikap, dan perilaku berbudi luhur cenderung terlupakan. Para siswa pun jadi kurang menghargai toleransi, kebersamaan dan rasa persatuan karena terjebak pada sikap ego pribadi.
Apalagi, kita makin "nol" keteladanan. Beberapa televisi lebih banyak menyajikan tayangan yang kurang mendidik. Lihat, acara Jakarta Lawyer Club. Bagaimana orang-orang saling merendahkan, memaki, dan gontok-gontokan yang dipertontonkan secara terbuka di hadapan pemirsa, termasuk anak-anak.
Seperti pernah diperkenalkan Romo Mangunwijaya bahwa edukasi dasar perlu dimulai sejak dini. Dari TK, anak-anak harus sudah diajari kemampuan kognitif dan kreativitas seni secara seimbang. Ini agar terbentuk karakter (character building) anak hingga memiliki identitas diri yang kuat. Sekaligus untuk mengubah mental bangsa terjajah yang bermental kuli, pengecut, dan selalu nebeng orang lain, menjadi lebih baik dan bermartabat. ●