Selasa, 18 September 2012

Status Quo Sektor Migas


Status Quo Sektor Migas
Effendi Siradjudin ;  Ketua Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas)
REPUBLIKA, 17 September 2012


Belum genap dua bulan saya meluncurkan buku Nation in Trap, ternyata ada elemen bangsa ini yang tak mau berubah sekalipun ancaman itu sudah di depan dirinya. Dalam buku tersebut, saya mengantarkan bahwa akan banyak bangsa di dunia ini hancur, salah satunya karena krisis energi. Kelompok status quo ini ingin mempertahankan apa yang ada, sekali pun itu jelas tak akan bisa menyelesaikan masalah.

Di tengah produksi migas nasional yang terus terpuruk, mereka masih berjuang mati-matian untuk mempertahankan UU Migas No 22 Tahun 2001. Meski tanpa mau menyebut identitasnya, mereka berani secara terbuka memasang iklan di koran nasional untuk meminta dukungan publik, mempertahankan undang-undang tersebut.

Untuk mempertahankan UU ini, digunakan alasan UU No 22 Tahun 2001 itu menjamin kedaulatan negara penuh atas kekayaan migas Indonesia sebagai mana tercantum dalam Pasal 4 UU itu. Mereka seakan memakai kacamata kuda dan tak mau mendengar aspirasi dari pihak lain.

Bukankah UU No 22 Tahun 2001 telah berulang kali di-judicial review oleh publik? Bahkan, yang terakhir dibawa ke Mahkamah Konsitusi agar dibatalkan. Gugatan secara hukum itu menandakan, UU yang lahir karena tekanan IMF itu memang penuh dengan borok yang perlu direvisi.

Persoalannya, apakah bangsa ini masih berdaulat dan mandiri bila sebagian besar kebutuhan minyak mentah dan BBM dilakukan melalui impor karena produksi migas nasional tak mampu mengimbangi kenaikan konsumsi dalam negeri? Seharusnya, kita tak perlu malu belajar dari kasus kedelai. Produksi nasional kedelai 778 ribu ton, konsumsi dalam negeri mencapai 2,5 juta ton. Untuk menutupi kekurangan tersebut, Indonesia harus impor kedelai 1,72 juta ton.

Impor yang terlalu besar itu menjadi problem ketika di negara produsen kedelai lagi menderita kekeringan. Produksinya turun hingga mengakibatkan naiknya harga kedelai dunia. Kondisi ini berimbas pada naiknya harga kedelai domestik. Akhirnya, tukang tahu dan tempe menghentikan produksi, ibu-ibu rumah tangga tak bisa menyajikan menu tempe dan tahu, dan SBY serta sejumlah menterinya kalang kabut.

Kejadian seperti tahu dan tempe itu bisa juga terjadi di bidang energi yang imbasnya akan jauh lebih besar terhadap perekonomian nasional. Impor minyak mentah dan BBM yang nyaris mencapai 70 persen bisa terganggu bila di negara produsen minyak ada masalah. Kedaulatan bangsa dalam pengertian luas bisa goyang kalau profil pemenuhan energi nasional masih bertumpu pada impor.

Tanda-tanda ke arah itu sesungguhnya sudah mulai tampak pada awal 2005. Harga minyak dunia melonjak dari 25 dolar AS per barel menjadi 60 dolar AS. Akibat kenaikan harga minyak dunia tersebut, Indonesia sampai dua kali menaikkan harga BBM, yaitu pada Maret dan Oktober.

Kondisi ini terus berlangsung hingga kini yang memberikan beban terlalu berat terhadap keuangan negara, mengingat BBM masih harus disubsidi. Beban ini semakin meningkat karena ternyata BBM bersubsidi 2012 juga membutuhkan tambahan kuota, mengingat kuota yang ada habis pada September.

Lantas, tepatkah kita ngotot mempertahankan UU No 22 Tahun 2001 di tengah bangsa yang tersandera kenaikan harga minyak dunia, hingga membuat beban subsidi BBM terlalu besar dan kesempatan untuk melakukan realokasi anggaran untuk pembangunan makin kecil? Bang sa ini harus melihat tren kenaikan harga minyak dunia menjadi permanen sehingga kalau Indonesia selamanya bergantung pada impor minyak mentah dan BBM, dipastikan bisa kolaps.

Produksi minyak dunia dewasa ini sekitar 90 juta barel per hari. Sebanyak 50 juta barel digunakan sendiri oleh negara-negara produsen karena konsumsi dalam negerinya meningkat. Itu artinya, tinggal 40 juta barel minyak yang ada di pasaran. Dari minyak yang ada di pasar itu, 12 juta barel diekspor ke AS dan tujuh juta barel diekspor ke Cina. Dengan demikian, riilnya minyak yang ada di pasar itu tinggal 20 juta barel per hari. Sehingga, wajar kalau tren kenaikan harga minyak dunia dewasa ini sifatnya permanen.
◄ Newer Post Older Post ►