Selasa, 18 September 2012

Diplomasi Sawit


Diplomasi Sawit
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA, 17 September 2012


Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Rusia telah usai. Salah satu hasilnya, pemimpin dari 21 negara APEC menyetujui, memasukkan 54 kelompok produk ramah lingkungan (environmental goods) yang dikenai bea masuk maksimal lima persen mulai 2015. Ke-54 produk ini merupakan produk manufaktur dan peralatan mekanik yang sebagian besar diproduksi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Australia. Mereka mendominasi meja perundingan agar negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Cina, dan India membuka lebar-lebar pasarnya.

Negara-negara berkembang mencoba mengimbangi, namun gagal. Cina, misalnya, hanya bisa meloloskan satu produk, olahan bambu berbentuk lantai. Sedangkan, Indonesia gigit jari. Usulan Indonesia memasukkan minyak sawit (crude palm oil/CPO) ditolak AS. AS hanya berjanji melonggarkan pintu masuk CPO asal Indonesia. Indonesia sebenarnya juga mencoba membendung produk negara lain dengan hanya membuka 20 jenis produk ramah lingkungan. Lolosnya 54 jenis produk menandai diplomasi Indonesia kedodoran.

Kegagalan ini tidak mengagetkan. Pertama, bukan rahasia lagi Indonesia amat lemah dalam diplomasi, terutama diplomasi perdagangan. Selain tidak membekali diri dengan data-data yang kuat, sering kali negosiator tidak tahu persis apa kepentingan negara yang harus diperjuangkan di berbagai forum internasional itu. Kelemahan makin terasa karena negosiator Indonesia juga tidak memiliki daya gertak saat bernegosiasi.

Kedua, negosiator Indonesia buta akan peta pergaulan internasional. Akibatnya, mereka tidak mampu membedakan mana yang seharusnya dirangkul sebagai kawan untuk mengegolkan kepentingan dan mana lawan yang harus dijauhi. Ketika terjadi pergeseran kepentingan, negosiator Indonesia kehilangan pegangan.

Ketiga, lemahnya koordinasi antarlembaga/kementerian. Hal yang menyedihkan, seringkali kepentingan antarlembaga/kementerian saling bertumbukan. Kepentingan nasional tidak mudah dirumuskan. Ujung dari semua ini, argumen dengan mudah dipatahkan.

Sawit merupakan contoh untuk kegagalan diplomasi Indonesia. Sejak 1980-an, kampanye negatif terhadap sawit sudah terjadi. Pada 1980-an, saat industri sawit mulai tumbuh, American Soybean Association menyeru agar tidak mengonsumsi minyak sawit. Tuduhannya, minyak sawit mengandung kolesterol penyebab penyakit jantung.

Ketika sawit terbukti minyak sehat dan nonkolesterol karena kandungan asam lemak jenuh rendah, tema kampanye berubah: “sawit penyebab polusi udara”. Lahan minyak sawit dituding mengokupasi hutan dengan cara dibakar. Terakhir, industri sawit dituduh merusak lingkungan, mengusir orang utan, dan penyebab utama deforestasi yang menghasilkan gas rumah kaca. Karena sawit pula, Indonesia dituding sebagai penghasil emisi terbesar GRK nomor tiga setelah AS dan Cina.

Tidak semua tudingan itu benar. Soal GRK, misalnya, pembukaan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut akan mengeluarkan emisi. Pertanyaannya, dari delapan juta hektare areal sawit, berapa yang merambah hutan alam, cagar alam, dan hutan gambut? Dibandingkan oilseedslain, emisi sawit lebih kecil sebab sawit menyerap karbon dari leaf area index yang tinggi, efisiensi energi input-output  tinggi, dan produktivitas hasil yang juga tinggi (Pehnet and Vietze, 2009).

Masalahnya, ekspansi sawit secara monokultur dalam jumlah besar melawan alam karena tak sesuai ekologi tropis (Anonim, 1993; Jhamtani, 2001). Ekologi tropis ditandai oleh keanekaragaman spesies sangat tinggi, tetapi jumlah populasi per spesies rendah. Basis ekologis dan eko sistem tropis adalah keberagaman, bukan keseragaman (monokultur), seperti di daerah temperate dan dingin.

Konsekuensinya, meski tersedia lahan luas, alam Indonesia tak cocok untuk mengembangkan tanaman monokultur dalam hamparan luas. Membuka satu juta hektare hutan untuk sawit amat membahayakan ekosistem tropis karena jumlah keanekaragaman jenis satwa dan tanaman yang hilang akan sangat tinggi dibandingkan kawasan beriklim sedang dan dingin. Kerugian ini tak terhitung nilainya.

Jika negara-negara maju mau jujur, sejatinya dalam neraca untung-rugi, sawit lebih unggul ketimbang minyak pangan lain. Selain keunggulan aspek lingkungan, seperti disebut di atas, sawit unggul dalam produktivitas (5.830 liter/hektare) jauh melampaui produktivitas minyak kedelai (446 liter/hektare), kanola (1073), dan bunga matahari (952). Minyak sawit harganya juga jauh lebih murah, lebih unggul dalam kualitas nutrisi (mengandung vitamin A dan E), mengandung antioksidan, dan bebas asam lemak trans.

Dengan berbagai keunggulan itu, jika pada masa lalu sawit adalah komoditas pinggiran, kini jadi jawara. Pada 2008, pangsa minyak sawit mencapai 27 persen, disusul minyak kedelai (23 persen), kanola (12 persen), dan bunga matahari (tujuh persen). Sebagai penghasil minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari, AS dan UE tentu tidak ingin pangsa pasarnya terus tergerus.

Ke depan, kampanye negatif terhadap sawit akan kian masif. Ini bisa dibaca dari aneka regulasi di negara-negara maju yang pada intinya menuding sawit tidak ramah lingkungan, seperti aturan Renewavle Fuel Standards oleh AS, Renewable Energy Directive oleh Uni Eropa, dan Food Standard Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 oleh Australia. Untuk menghadapi kampanye negatif bertubi-tubi itu, dengan difasilitasi pemerintah, semua stakeholders industri sawit harus bersatu mendesak agar AS, UE, dan Australia merevisi, bahkan mencabut semua ketentuan diskriminatif itu.
Sertifikasi, misalnya, penting diharmonisasi agar tidak menjadi kedok terselubung untuk membendung produk asal negara berkembang. Aturan di AS, Uni Eropa, dan Australia itu harus dicabut karena mencederai prinsip perdagangan yang adil, seperti diatur WTO. 

Pada saat yang sama, Indonesia Sustainable Palm Oil sebagai komitmen Indonesia memproduksi sawit ramah lingkungan harus dikampanyekan secara masif, terutama di AS, UE, dan Australia. Di sinilah Indonesia perlu memperkuat diplomasi sawit dengan membekali para negosiator untuk melawan kampanye negatif yang masif itu.
◄ Newer Post Older Post ►