Minggu, 16 September 2012

Terorisme, Radikalisme dan Deradikalisasi


Terorisme, Radikalisme dan Deradikalisasi
Endang Suryadinata ;  Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam-Belanda,
Tinggal di Surabaya
SINAR HARAPAN, 15 September 2012


Terorisme memang ibarat hantu. Kadang menghilang cukup lama, tapi tiba-tiba bisa datang dan jadi perbincangan. Hari-hari ini media kita kembali menjadikan terorisme sebagai buah bibir, setelah sekelompok teroris muda menyerang pos polisi di Solo pada 17 dan 18 Agustus 2012.

Pada 30 Agustus, Tim Densus 88 berhasil menembak mati dua teroris muda, meski seorang polisi juga tewas dalam baku tembak di jalanan Kota Solo. Disusul penemuan amunisi bom di Tambora, Jakarta, dan konon ada satu jaringan teroris antara Solo dan Jakarta.

Kalau kita bicara terorisme di negeri ini, sebenarnya tak bisa dilepaskan dari terorisme global, dengan Al-Qaeda sebagai pemain utama. Seperti diketahui, Al-Qaeda pernah menyerang World Trade Center di New York, AS, pada 11 September 2001 yang menewaskan sekitar 3.000 orang.

Meski pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden sudah tewas dalam sebuah operasi militer AS di Kota Abbottabad, Pakistan, awal Mei 2011, namun terorisme tidak mengenal kata mati.
Demikian juga di negeri kita, meski para gembong teroris seperti Dr Azahari dan Noordin M Top sudah tewas dalam baku tembak dengan Densus 88, generasi baru teroris selalu muncul. Munculnya teroris baru menjadi bukti bahwa terorisme sudah menjadi ideologi yang tidak bisa hanya dihadapi dengan senjata.

Mungkin benar bahwa perang melawan terorisme sebagai ”perang untuk merebut hati dan pikiran”. Lewat berbagai strateginya, para gembong teroris baru terbukti beberapa kali menang dalam perang merebut hati dan pikiran, sehingga selalu ada orang-orang muda yang bisa direkrut untuk jadi teroris.

Peperangan seperti ini sulit dikalahkan dengan senjata, karena para teroris selalu meyakini setiap aksi mereka adalah demi membela agama, bahkan Tuhan. Jadi, di sinilah letak kesulitannya. Ketika para teroris sudah didorong oleh sebuah motif berdasar agama maka masalah terorisme menjadi persoalan yang rumit.

Radikalisme

Seperti diketahui, para teroris memiliki pemahaman keagamaan yang radikal. Radikalisme itu seperti lahir lagi setelah 2001. Pascatragedi 11/9 atau serangan teroris ke AS pada 2001, berbagai negara, termasuk Indonesia, justru direpotkan oleh munculnya jaringan terorisme global dengan membawa-bawa ajaran Islam. Tentu mereka memiliki pandangan keislaman yang berbeda dengan mayoritas Islam di negeri kita, yang rata-rata bersikap moderat dan menjauhi radikalisme.

Ajaran Islam sejati yang memuliakan hidup terpinggirkan oleh argumentasi teologis yang tampak rasional, sehingga ujung-ujungnya kematian justru dipuja, baik kematian si pelaku bom bunuh diri sebagai syuhada maupun kematian dari warga tak berdosa.

Padahal, Islam yang sejati mengajarkan bahwa membunuh satu orang sudah membunuh seluruh umat manusia. Jadi, para teroris sudah menodai agama, karena sejak lama mereka menjadikan agama sebagai pembenar atau legitimasi bagi segala aksi mereka.
Untuk itu para tokoh agama mohon lebih aktif turun ke bawah guna merebut hati dan pikiran umat agar jauh dari hal-hal yang membahayakan agama dan kemanusiaan. Betapa berbahayanya agama bila sudah dibajak atau diselewengkan para teroris. Kebenaran agama yang damai tersisih oleh ajaran agama para teroris yang membenarkan kekerasan dan pembunuhan.

Para tokoh agama atau kita harus bisa lebih cerdik daripada para gembong teroris sehingga orang-orang muda kita bisa dihindarkan dari bujuk rayu radikalisme atau ajaran yang menyesatkan.

Kalau para gembong teroris mengajarkan bahwa radikalisme yang diusungnya demi membela agama dan Tuhan, para tokoh agama harus mengajarkan membela Tuhan dan agama tidak perlu lewat kekerasan. Ingat, menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang 1.000 hari wafatnya jatuh pada 17 September 2012, Islam tidak perlu dibela, demikian juga Tuhan tidak perlu dibela.

Berkaca dari Belanda

Tak berbeda jauh dengan Indonesia, negara yang pernah dijajahnya, Belanda juga menghadapi ancaman radikalisme yang muncul di kalangan kaum imigran asal Maroko, Somalia, atau Timur Tengah lain. Radikalisme itu memuncak pada terbunuhnya politikus Belanda Pim Fortuijn pada 2002 dan sineas Theo van Gogh pada 2004, yang dinilai telah melecehkan Islam.

Terbunuhnya kedua sosok itu mendorong pemerintah Belanda mencari jalan untuk mengatasi radikalisme agama. Pemerintah Belanda menggandeng para pemikir dan perguruan tinggi guna menghadapi radikalisme agama.

Froukje Demant merupakan peneliti radikalisme yang terkenal. Dia menyarankan agar pemerintah Belanda yang sekuler lebih terbuka untuk argumen-argumen religius dan kaum muslim moderat harus mengajak sesama muslim yang radikal masuk ke mainstream Islam yang damai. Tentu itu bukan saran yang mudah.

Dalam hal radikalisme, pemerintah Belanda juga menghargai jasa para pemikir Islam Timur Tengah yang ditampung sebagai akademikus migran di sejumlah kampus atau pusat riset di Belanda. Abdul Karim Soroush yang asal Iran, misalnya, segaris dengan iklim kebebasan Belanda dan berkontribusi dalam proses deradikalisasi kaum radikal.

Mungkin, ada baiknya para tokoh agama, demikian juga para cendekiawan muslim di negeri kita berkumpul dan mendiskusikan persoalan terorisme ini. Ini penting, bukan demi citra Islam yang positif saja, tetapi jangan sampai sejarah kelak mencatat negeri kita sebagai sarang teroris.

Kecuali itu, pemerintah Belanda terus memantau atau melakukan supervisi atas lembaga-lembaga agama yang dianggap rentan menumbuhkan ide-ide radikal. Dinas intelijen Belanda AIVD juga selalu proaktif dalam melihat sesuatu yang berpotensi membahayakan keselamatan banyak orang.

Polisi Belanda akan menyelidiki siapa pun yang berani memuji aksi kaum radikal. Itu senada dengan yang diucapkan Ansad Mbai, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dia menyayangkan sikap beberapa tokoh agama atau ustaz yang justru memuji teroris yang mati sebagai martir.

Ansad menambahkan, percuma polisi bekerja keras di lapangan, sementara setiap saat muncul teroris baru karena apa yang dilakukan dianggap sebagai pahlawan atau suhada. Dengan membiarkan segala puja-puji untuk para teroris, berarti kita yang memiliki pemahaman moderat, sesungguhnya sudah kalah dalam peperangan merebut hati dan pikiran.

Memang yang diperlukan dalam peperangan merebut hati dan pikiran adalah kesadaraan bahwa masalah ini tidak ringan. Karena itu jangan lagi, kita berlindung di balik kata, yang menganggap mereka yang memiliki pandangan radikal itu toh hanya segelintir orang, bukan mayoritas.

Jangan lupa segelintir orang, dengan bom yang siap mereka ledakkan, bisa menghadirkan petaka dan bahaya. Jadi, mari kita jangan bosan menyebut bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan. Agama apa pun akan mengutuk aksi teror. Jadi, mari kita terus mencari upaya untuk melakukan deradikalisasi sehingga negeri ini akan bebas dari ancaman radikalisme dan terorisme. ●

◄ Newer Post Older Post ►