Senin, 17 September 2012

Solusi Kasus Simulator SIM

Solusi Kasus Simulator SIM
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)  
SINDO, 17 September 2012


Kasus simulator SIM menuai “bencana” karena berita terakhir dikabarkan Mabes Polri tidak memperpanjang masa tugas dua puluh penyidik di KPK dari 48 orang penyidik yang ditempatkan di KPK.

Jika dibandingkan dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK—termasuk yang sulit pembuktiannya seperti kasus Century, Hambalang,pengadaan Alquran, kasus Banggar dan kasus lawas, BLBI ditambah dengan tekanan publik dan media— dapat dipahami betapa sulitnya kondisi KPK termasuk pimpinannya saat ini. Karena dengan jumlah penyidik lengkap sekalipun terbukti nyata bagaimana KPK sangat lamban menyelesaikan kasuskasus korupsi. Semakin menumpul ujung tombak penyidikan, semakin jauh harapan masyarakat menempatkan KPK sebagai lembaga superbody dengan kewenangan yang amat luas.

Bahkan semakin memprihatinkan fungsi dan peranan KPK terhadap Polri dan kejaksaan pascapenandatangan MOU Kerja Sama Percepatan Pemberantasan Korupsi antara Jaksa Agung, Kapolri dan Pimpinan KPK tertanggal 29 Maret 2012. Sekalipun pimpinan KPK menolak pendapat MOU memandulkan taji KPK, secara moral kewajiban kelima KPK mematuhi MOU diyakini “melebihi” kepatuhan KPK terhadap UU pembentukannya sekaligus. Hal tersebut merupakan hambatan psikologis untuk tidak kooperatif terhadap apa yang dicantumkan dalam MOU.

Kasus simulator SIM merupakan bukti kegagalan fungsi koordinasi dan supervisi KPK terhadap kepolisian.Kegagalan ini terpulang kepada sikap kelima pimpinan KPK yang berasaskan kolektif kolegialdan sejatinya seharusnya memperhatikan bunyi asas-asas yang tercantum dalam UU RI Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN. Ada tiga hambatan serius KPK dalam menyelesaikan kasus simulator SIM.Pertama, ke beradaan MOU. Kedua, kesepakatan penanganan barang bukti yang rentan terhadap ketidaksepakatan cara menanganinya.

Ketiga, tidak diperpanjangnya masa tugas kedua puluh penyidik Polri di KPK. Dalam konteks kemelut ini tentu menjadi perhatian kita nasib Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Bareskrim dalam kasus tersebut ke Kejaksaan Agung. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda bagaimana Kejaksaan Agung menyikapi SPDP tersebut. Kegamangan Kejaksaan Agung dapat dipahami karena SPDP ini bak “buah simalakama”; dilanjutkan terasa menyentuh hubungan baik dengan KPK selama ini seperti penanganan kasus mantan Gubernur Sumut, SA; yang dapat diselesaikan melalui MOU.

Jika tidak disikapi segera SPDP Bareskrim, menyentuh sesama instansi penegak hukum yang bernaung di bawah KUHAP sejak lama. Selain itu, kasus simulator sejak awal telah juga memunculkan pendapat anggota Komisi III DPR RI sebagai partner kerja ketiga institusi penegak hukum tersebut. Pandangan itu terbentuk dengan alasan melalui fungsi pengawasan tentu Komisi III DPR RI berhak untuk mengetahui penyebab munculnya “konflik kelembagaan” antara KPK dan Polri dalam kasus ini.

Daya tarik kasus simulator bagi anggota Komisi III DPR RI dalam menjalankan fungsi pengawasan tentu tidak terlepas dari tanggung jawab moral mereka, karena permohonan peningkatan anggaran Polri termasuk untuk pengadaan simulator SIM melalui persetujuan Banggar DPR RI. Semakin lamban penyelesaian kasus simulator SIM oleh KPK dan Polri maka semakin kuat tarikan pengaruh politik dalam kasus ini; tidak berbeda dengan kasus korupsi lainnya.

Jika kita teliti status MOU tanggal 29 Maret 2012 sampai saat ini masih tetap berlaku sah dan mengikat para pihak penandatangannya, maka tidak keliru jika dikatakan bahwa kemelut kasus ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab Kejaksaan Agung sebagai salah satu pihak dalam “tripartite” MOU. Selain tanggung jawab hukum (sesuai dengan KUHAP) juga memiliki tanggung jawab moral sebagai sesama lembaga penegak hukum dalam keadaan sulit yang tengah dihadapi kedua pihak lainnya. Atas dasar pertimbangan tersebut saya usulkan agar kasus simulator SIM dilimpahkan kepada kejaksaan seluruhnya sejak penyidikan sampai penuntutan.

Karena itu, dengan cara ini tidak ada pihak yang merasa dikesampingkan dan dilemahkan. Bahkan dengan cara ini KPK dapat fokus pada kasus megakorupsi seperti Century dan kasus Hambalang yang telah diduga menimbulkan kerugian triliunan rupiah daripada hanya mengejar satu target saja, yaitu seorang jenderal polisi dengan nilai yang tidak signifikan dibandingkan dengan kedua kasus di atas.

Pelimpahan perkara ini pun dimungkinkan selain karena praktik pernah dilakukan KPK dalam kasus korupsi lain baik kepada kepolisian maupun kepada kejaksaan, juga mengikuti MOU hal ini dibenarkan. Kejaksaan Agung dapat berkoordinasi dengan KPK dan Polri jika perlu atas persetujuan KPK dan Polri dapat ikut menyelesaikan masalah kasus simulator SIM antara lain melakukan “pengambilalihan” dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

Cara ini melepaskan KPK dan Polri agar tidak tersandera baik secara hukum maupun secara psikologis oleh kasus simulator SIM yang belum dapat diprediksi percepatan penyelesaianya oleh kedua institusi tersebut.

◄ Newer Post Older Post ►