Selasa, 18 September 2012

Regulasi Memihak Petani Tembakau


Regulasi Memihak Petani Tembakau
Purbayu Budi Santosa ;  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
SUARA MERDEKA, 18 September 2012


"Ada baiknya pemerintah memberi asuransi, bantuan dana ataupun kredit lunak guna membantu petani tembakau"

KEMEROSOTAN tajam harga tembakau menyebabkan petani komoditas itu menghadapi  kesulitan dengan hasil produksinya. Salah satu penyebab adalah ketakutan industri rokok terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tembakau. Rancangan regulasi itu memang banyak mengatur tentang tata niaga, standardisasi produk, iklan, dan pengenaan cukai yang tinggi (SM, 10/09/12).

Draf peraturan itu juga mengundang kontroversi apakah murni bertujuan melindungi kesehatan masyarakat (termasuk perokok pasif) atau ada kepentingan pihak asing. Tinjauan dari aspek kesehatan hanya mendasarkan pada pandangan bahwa merokok membahayakan kesehatan. Saat ini lebih dari 57% pria dan 5% wanita dewasa di Indonesia menjadi perokok aktif. Angka itu belum terhitung perokok pasif, yang juga menerima dampak negatif.

Peningkatan jumlah perokok berarti perlu lebih besar biaya penyembuhan penyakit akibat merokok. Keadaan ini menjadi timpang bila kita hanya melihat pemasukan dari cukai rokok sekitar Rp 77 triliun (2011), sementara prediksi biaya penyembuhan penyakit akibat merokok Rp 186 triliun. Fakta itu bertentangan dengan pandangan yang menyebut bahwa industri rokok menguntungkan secara nasional karena banyak menyumbang pendapatan negara.  

Sekiranya ada motif kepentingan asing dalam bisnis tembakau, pandangan itu bisa ditebak karena berkaitan dengan bisnis besar komoditas itu. Salamuddin Daeng dalam buku Kriminalisasi Berujung Monopoli (2011) menyatakan secara keseluruhan pasar tembakau global 378 miliar dolar AS, dan tahun 2007 tumbuh 4,6%. Tahun 2012 nilai pasar global diproyeksikan meningkat 23%, mencapai 464 miliar dolar AS. Jika seluruh industri besar tembakau digabungkan dan diibaratkan sebuah negara maka posisinya menduduki peringkat dunia ke-23 dalam hal produk domestik bruto (PDB), melebihi PDB Norwegia dan Arab Saudi.

Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penghasil besar tembakau di dunia. Produksi negara kita 2,2% dari total produksi tembakau global. Indonesia berada di urutan ke-7, di bawah AS, Uni Eropa, China, India, dan Brasil. Perekonomian tiga negara terakhir yang penulis sebut saat ini sedang menggeliat.

Perusahaan asing terkemuka seperti British American Tobacco dan Philip Morris adalah pelaku utama kegiatan penanaman modal di sektor tembakau dan rokok di Indonesia. Mereka mengakuisisi PT Bentoel dan Sampoerna. Selain itu ada perusahaan lokal yang cukup kuat seperti PT Djarum dan Gudang Garam.

Kalau kita menyimak buku Wanda Hamilton, Nicotine War (2010) memang ada  fakta menarik di balik seluruh agenda perang global terhadap tembakau. Salah satunya adalah kepentingan industri farmasi yang berusaha menikmati porsi pasar nikotin dunia yang selama ini hanya dinikmati industri rokok.

Hamilton berpendapat bahwa gerakan filantropis (kampanye antitembakau) dan karakter ekspansi kapitalisme global, tidak berdiri sendiri tapi bergerak menuju ke muara yang sama, yaitu kepentingan pemodal dunia. Pembenaran ini tampak dalam ratifikasi Konvensi Pembatasan terhadap Pengendalian Tembakau (FCTC) yang diprakarsai oleh WHO dan terbukti dibiayai oleh perusahaan farmasi multinasional.

Kepentingan Rakyat

Di balik penurunan harga tembakau sekarang ini karena perusahaan rokok masih menunggu RPP tentang Tembakau, pemerintah tetap harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak yang terkait dengan sektor itu, baik petani tembakau, buruh pabrik rokok maupun pedagang. Langkah itu berkait dengan kepentingan nasional mengingat masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Nurtantio Wisnu Brata (2012) berpendapat  bahwa tujuan RPP tentang Tembakau seolah-olah mulia tetapi sebenarnya bisa membunuh kelangsungan hidup industri tembakau dari hulu ke hilir.  Menurut APTI, banyak pasal dalam rancangan itu yang justru mematikan industri tembakau. Dia mencontohkan substansi Pasal 10-12 yang mengatur standardisasi produk. Pasal ini justru menjadi pintu masuk tembakau dan rokok impor di Indonesia.

Regulasi lain yang menyangkut petani tembakau adalah Pasal 58 (Penjelasan). Ayat 1 pasal itu menyebutkan bahwa pemerintah, kementerian terkait, dan pemda didorong melakukan diversifikasi produk tanaman. Namun Ayat 2 pasal yang sama menyebutkan bahwa produk tembakau digunakan untuk bahan pestisida dan sebagainya. Artinya, tembakau tak lagi digunakan untuk bahan rokok.

Belum lagi bila dikaitkan dengan persyaratan kerendahan kandungan nikotin maka banyak petani tembakau Indonesia yang tak bisa memenuhi persyaratan itu, dan hanya bisa dipenuhi oleh tembakau asing. Karena itu, pemerintah harus tetap memberikan perlindungan kepada petani tembakau. Terlebih hingga saat ini berbagai negara maju di dunia masih memberikan subsidi untuk petani di negara mereka guna meningkatkan produksi tembakau (Daeng,  2011).

Sambil menunggu keputusan RPP Tembakau yang kita harapkan lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, ada baiknya pemerintah memberikan asuransi, bantuan dana ataupun kredit lunak guna membantu petani tembakau yang kini berada dalam keputusasaan yang tinggi. Bila pemerintah lebih memihak rakyat banyak, barulah kita bisa menyatakan bahwa pemerintahan berjalan secara amanah. 
◄ Newer Post Older Post ►