Sabtu, 22 September 2012

Refleksi atas Kemenangan Jokowi


Refleksi atas Kemenangan Jokowi
Suwidi Tono ;  Koordinator Forum Menjadi Indonesia
KOMPAS, 21 September 2012


Ketika berlangsung Munas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia di Solo, 2008, penulis bertanya kepada ketua asosiasinya, Yusuf Serang Kasim—saat itu Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur—tentang alasan memilih Solo sebagai tuan rumah acara organisasi tersebut.

Yusuf menjawab: ”Kami, para wali kota, ingin belajar dan melihat langsung sukses Solo dalam aneka kebijakan yang berdampak langsung kepada rakyat.”

Jawaban itu menunjukkan apresiasi para sejawat Joko Widodo (Jokowi) sejak ia memimpin Solo pada 2005. Pengakuan kepadanya tidak muncul tiba-tiba. Terbangun paralel bersama dengan keteguhannya berfokus pada tugas pokok pemerintah: memberikan pelayanan optimal kepada publik! Konsistensi pada pemenuhan kebutuhan dasar rakyat banyak dapat anugerah dan mengantarkannya meraih berbagai penghargaan nasional-internasional.

Lima Petunjuk
Kemenangan Jokowi-Basuki Tjahaya Purnama pada Pilkada DKI merefleksikan hasrat kuat rakyat Jakarta untuk berubah. Sekaligus menjadi sumber inspirasi baru dinamika politik dan hakikat kepemimpinan publik. Hasil pilkada ini sekurang-kurangnya mengindikasikan lima petunjuk penting proses demokratisasi dan otonomi daerah.

Pertama, ada siklus menetap berupa terpeliharanya sikap anti-status quo pada masyarakat Ibu Kota yang plural-urban. Jakarta selalu terdepan dalam menggalang dan memperbesar episentrum gerakan perubahan. Masyarakat cerdas menilai jarak antara pernyataan dan kenyataan. Toleran bila realitasnya memang kompleks, tetapi kritis bila mengada-ada atau tidak transparan.

Bagi warga PDI-P Jakarta dan warga nonpartai, kemenangan Jokowi mengakhiri penantian panjang kepengapan politik dan mampetnya aspirasi. PDI (tanpa embel-embel Perjuangan) membuat Jakarta merah total pada Pemilu 1987, 1992, dan 1997, tetapi mendapati kenyataan perolehan suaranya selalu di posisi buncit: kalah oleh Golkar dan PPP. Pada Pemilu 1999, dengan atribut PDI-P, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri unggul di DKI. Akibat kader partai banyak tersandung kasus korupsi, PDI-P tak lagi menang di Jakarta pada Pemilu 2004 dan 2009. Fakta ini bisa dibaca sebagai cermin sikap kritis warga Jakarta.

Pengajuan nama Jokowi oleh PDI-P seperti memantik euforia 1999. Memang suasananya tidak segegap-gempita waktu itu, tatkala posko-posko pemenangan hadir mencolok di sudut-sudut kota. Harapan lama tersembul kembali. Petahana yang dianggap gagal memenuhi ekspektasi warga pada lima problem utama Ibu Kota: banjir, macet, kumuh, korupsi, premanisme, jadi sasaran ”penggulingan” bersama.

Kedua, kapabilitas dan integritas figur jauh lebih berharga ketimbang partai. Jokowi-Basuki menjungkirbalikkan prediksi yang semata-mata bersandar pada logika statistik elektabilitas kedua partai pengusung (PDI-P dan Gerindra). Perolehan suara kedua partai itu pada Pemilu 2009 hanya 17 persen, jauh di bawah perolehan suara Jokowi- Basuki, baik di putaran I (42,6 persen) dan II (sekitar 52-54 persen, menurut hasil hitung cepat beberapa lembaga survei).

Hasil ini, untuk kesekian kalinya memberikan pesan tegas kepada partai-partai bahwa mereka bukan lagi sumber rujukan pemilih. Warga Ibu Kota sekaligus memberikan sinyal ”lampu kuning” kepada lembaga-lembaga survei agar cermat membaca ”mata hati” dan ”mata pikiran” mereka.

Jokowi menyebut peran besar para ”gerilyawan”—istilahnya untuk para relawan yang bergerak masif ke seluruh wilayah—guna memasarkan dan mengenalkan pribadi, visi-misinya. Klaim bahwa kandidat ”mendompleng” partai tak valid. Dua kali putaran pilkada, Jokowi-Basuki terbukti jauh ”melampaui” kapasitas mesin partai PDI-P dan Gerindra.

Ketiga, runtuhnya politik pencitraan. Jokowi dikesankan oleh pesaingnya hanya ”seolah-olah” berprestasi. Asosiasi seperti itu barangkali hendak mengirim pesan kepada pemilih: Jokowi sedang membangun politik pencitraan, sesuatu yang sekarang bikin alergi masyarakat. Resep ini tak manjur karena bukti rekam jejak mudah dilacak dan dikonfirmasi oleh pemilih, terutama yang berpendidikan dan memiliki informasi akurat.

Keempat, media yang memihak. Menyimak proporsi-substansi pemberitaan media cetak, online dan elektronik, bahkan media sosial (Facebook, Twitter, BBM), sulit dimungkiri: Jokowi telah menjelma sebagai ikon baru figur publik. Media tampaknya jengah dan jenuh dengan banjir berita birokrat dan politisi korup dari seluruh pelosok negeri. Kehadiran peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2010 ini bagai oase menyegarkan dan segera merebut simpati.

Kelima, tersedia cadangan sumber kepemimpinan baru. Para pemimpin daerah yang fokus umumnya memahami dan menjalankan mantra pelayanan publik universal dengan perhatian besar pada Indeks Pembangunan Manusia. Jokowi teguh berkonsentrasi pada layanan kebutuhan dasar: pendidikan-kesehatan-kesejahteraan. Kekuatannya terletak pada persuasi tanpa konflik ketika berkomitmen penuh nguwongke (memanusiakan), mengupayakan akses, memberdayakan kelompok marjinal: pedagang pasar tradisional, kaki lima, tunawisma, tukang becak, warung-warung kecil, dan lain-lain.

Ia menekan faktor pengganggu, seperti pemodal besar dan pemburu rente, menata persaingan tanpa saling meniadakan sesuai kapasitas masing-masing. Kota Solo bisa jadi contoh bagaimana menciptakan tata ruang kota yang memberikan hak hidup dan berkreasi bagi semua kelas ekonomi dan sosial tanpa benturan dan kecemburuan. Jokowi, bersama sejumlah kepala daerah lain, memberikan alternatif sumber kepemimpinan baru yang memihak tanpa reservekepada kelompok masyarakat marjinal.

Meritokrasi Berkualitas
Menjelang dan memasuki kampanye putaran II, muncul pertarungan gagasan yang dikemas dalam bahasa politik, tetapi tak disertai penjelasan seperlunya. Salah satunya disampaikan beberapa pemuka partai dengan tema serupa: Solo beda dengan Jakarta. Pesan ini mudah diduga tujuannya, yaitu untuk ”mengecilkan” potensi Jokowi.

Selain kurang tepat, mewacanakan perbedaan Solo dan Jakarta secara diametral seperti mengingkari eksistensi keindonesiaan dan sistem perundang-undangan. Bila maksud pengirim pesan adalah rentang kendali urusan pemerintahan, jelas perbedaan pada skalanya saja. Kalau pengertiannya tingginya bobot keragaman SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) dan kepentingan, justru kepala daerah dimudahkan karena kemajemukan bermuara pada penguatan kontrol dan mencegah dominasi golongan atau kepentingan tertentu.

Idealnya, proses menuju kursi jabatan tinggi seperti gubernur dan presiden diseleksi melalui bukti kinerja dan integritas dari bawah. Syarat ini untuk memaksa partai-partai mengajukan calon yang benar-benar layak dan telah teruji di medan pengabdian kemasyarakatan, sekaligus sebagai komitmen menegakkan meritokrasi berkualitas. Amerika Serikat, misalnya, hampir semua presiden terpilih berangkat dari posisi senator atau gubernur. Rakyat AS dapat menilai rekam jejak kandidat, tak hanya disodori calon ”kucing dalam karung”. ●
◄ Newer Post Older Post ►