Senin, 03 September 2012

Legalitas Komnas HAM Demisioner


Legalitas Komnas HAM Demisioner
Mohammad Fajrul Falaakh ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
MEDIA INDONESIA , 03 September 2012


PEREKRUTAN komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012 2017 mengalami kelambanan di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terjadilah lowongan jabatan di lembaga penyelidik pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) itu. Atas permintaan DPR setelah berkomunikasi dengan Komnas HAM, lowongan jabatan ditanggulangi Presiden (30/8) dengan memperpanjang masa jabatan sampai komisioner baru dipilih DPR. Komisioner baru Komnas HAM dijadwalkan sudah dilantik pada akhir September 2012.

Dari sisi prosedural, Undang-Undang (UU) Nomor 39/1999 tentang HAM tidak menentukan wewenang Presiden un tuk memperpanjang masa jabatan komisioner Komnas HAM, atas permintaan DPR sekalipun. Terlepas dari masalah prosedural itu, kelambanan perekrutan Komnas HAM menambah rapor merah DPR dalam melaksanakan fungsinya, sekaligus menambah keterjalan upaya penegakan HAM di Indonesia.

Model Perekrutan

Dari segi teori pemisahan kekuasaan, reformasi di Indonesia ditandai dengan redistribusi kekuasaan kepada sejumlah lembaga negara yang baru dan independen. Lembaga-lembaga itu sering disebut sebagai independent state-auxiliary agencies. Namun, kepentingan dan tujuan pembentukan lembaga-lembaga itu beraneka. Lembaga-lembaga tersebut ada juga yang menjalankan fungsifungsi campuran, bahkan menyatukan fungsi regulasi, eksekusi, dan ajudikasi. Kini ada belasan komisi, termasuk yang dibentuk berdasarkan konstitusi, yaitu Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Komnas HAM dibentuk pada masa Orde Baru (1991) menjelang Konferensi HAM di Wina pada 1993. Fungsinya pada saat itu terbatas pada meningkatkan kesadaran HAM. Komnas HAM mengalami peningkatan fungsi sebagai penyelidik pelanggaran berat HAM seiring dengan pembentukan pengadilan HAM (ad hoc maupun reguler) berdasarkan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Berbagai lembaga independen menerapkan tata cara perekrutan yang beragam, misalnya tidak mengikuti model yang ditentukan bagi KY dalam UUD 1945, yaitu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Berbeda dari model konfirmasi oleh DPR, komisioner Komnas HAM dan beberapa komisi lain dipilih DPR, tetapi cara perekrutan calon yang akan dipilih tidak seragam. Serupa dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), komisioner Komnas HAM dipilih oleh DPR dari calon yang diusulkan oleh lembaga (Komnas HAM) berdasarkan hasil panitia seleksi (pansel) yang dibentuk lembaga.

Beberapa contoh mengenai model perekrutan lembaga pengaturan dipilih oleh DPR atas usul lembaga berdasarkan hasil pansel yang dibentuk lembaga bersangkutan, yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (UU No 5/1999), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (UU No 39/1999), dan Komisi Penyiaran Indonesia (UU No 32/2002) Kemudian yang dipilih DPR atas usul Presiden dari hasil pansel yang dibentuk oleh Presiden yaitu Komisi Pemilihan Umum (Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 & UU No 12/2003 jo UU No 22/2007), Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No 30/2002), dan Komisi Informasi Pusat (UU No 13/2008).

Contoh tersebut menunjukkan bahwa cara perekrutan yang beraneka kebanyakan didukung peran suatu panitia seleksi (model pansel), yang juga di bentuk dengan berbagai cara.

Berbagai kritik sudah dialamatkan terhadap peran pansel selama ini, misalnya terkait cara pembentukan pansel, mekanisme kerjanya sudah diatur dalam UU atau diserahkan kepada pansel, waktunya cukup atau terbatas, sistem pendaftaran terbuka atau selektif dengan menggunakan model pencarian bakat (head hunting, talent scouting), tahapan seleksi dan masalah teknis lain, serta hubungan pansel dengan lembaga pemberi mandat.

Tidak Konstruktif

Satu persoalan yang kini mengemuka dalam perekrutan komisioner Komnas HAM ialah peran lembaga penentu akhir, yaitu DPR, yang biasanya menerapkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Peraturan Tata Tertib DPR tidak cukup terperinci (Bab XIX). Dalam praktik, fit and proper test diserahkan kepada komisi sektoral terkait yang jadi mitra kerja lembaga. Peran itu kebanyakan dilakukan Komisi III dan Komisi II. Tahapannya meliputi penelitian administrasi, penyampaian visi dan misi, uji kelayakan dan kepatutan, dan penentuan urutan calon. Komisi di DPR akhirnya akan memilih (tergantung sistem pemilihan yang digunakan, misalnya paket dan pemeringkatan atau `pilih-tolak' terhadap individu calon), dan hasilnya ditetapkan sidang paripurna sebagai pilihan DPR.

Pada perekrutan Komnas HAM 2012-2017 semakin terbukti bahwa peran DPR tidak konstruktif.DPR sudah menerima nama 30 calon komisioner Komnas HAM pada 11 Juni, tetapi tidak segera memprosesnya hingga memasuki masa reses pada 14 Juli-15 Agustus. Jadwal reses sebetulnya sudah diketahui karena merupakan soal rutin. Seusai reses, DPR hanya melaksanakan ritual baru, yaitu sidang bersama DPR-DPD (16/8), memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, mengambil cuti Lebaran, dan baru kembali bersidang pada 27 Agustus.

Tampak bahwa jadwal kerja DPR, khususnya penentuan masa reses, tidak mempertimbangkan beban dan urgensi kerja yang secara aktual sedang dihadapi. Peran Badan Musyawarah DPR, yang pada dasarnya dilakukan pimpinan DPR, tampak kedodoran. Akibatnya, DPR tak punya waktu untuk segera memilih komisioner baru Komnas HAM sebelum masa bakti pejabat lama berakhir pada 30 Agustus 2012.

Status Demisioner

DPR bertindak tak bertanggung jawab dengan menciptakan lowongan jabatan Komnas HAM. DPR memang bertindak menanggulangi lowongan itu, yaitu berkirim surat meminta Presiden memperpanjang masa bakti komisioner lama. Presiden memenuhi permintaan DPR. Akan tetapi, hal itu memunculkan masalah legalitas. UU Nomor 39/1999 tidak memberi wewenang kepada Presiden dan/atau DPR untuk memperpanjang jabatan komisioner.

Kalaupun perpanjangan tersebut disamakan dengan status demisioner, suatu masalah tetap membayangi. Harap diingat, Komnas HAM merupakan penyelidik pelanggaran berat HAM. Meski secara administratif dan finansial perpanjangan itu mendukung kerja pada masa demisioner, hasil kerja Komnas HAM terkait pe nyelidikan HAM yang ditetapkan dalam status demisioner itu dapat dipermasalahkan. Jadi, pada masa perpanjangan masa jabatan ini disarankan agar Komnas HAM `tidak mengambil langkah strategis' dalam fungsi penyelidikan pelanggaran berat HAM karena dapat dipersoalkan di kemudian hari.

Jelas bahwa kelambanan perekrutan komisioner Komnas HAM oleh DPR menambah bukti kinerja DPR 2009-2014 yang sudah kedodoran dalam fungsi lain, misal nya target legislasi yang tak tercapai dan berbagai skandal korupsi yang melibatkan anggotanya dalam fungsi penganggaran. Padahal, peran DPR dalam perekrutan jabatan publik ditentukan dalam UU yang diproduksi sendiri.

Mungkin kinerja DPR dalam merekrut pejabat publik tersebut merupakan konsekuensi logis dari kinerja mereka dalam menentukan cara perekrutan diri melalui UU Pemilu yang silih berganti. Kalau tak bisa mengatur cara mendudukkan diri dalam sistem ketatanegaraan, dapat dimengerti pula bahwa DPR kedodoran mendudukkan pihak lain. Proses perekrutan pejabat publik di DPR dan caranya harus diperbaiki, bahkan ada yang harus dihilangkan.
◄ Newer Post Older Post ►