Sabtu, 22 September 2012

Kampanye di Media Penyiaran


Kampanye di Media Penyiaran
Gun Gun Heryanto ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SINAR HARAPAN, 21 September 2012


Dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye pemilu kerap menjadi titik krusial yang memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), terutama hubungannya dengan pendidikan politik warga.

Hal utama yang sering kali menjadi persoalan pada fase kampanye adalah komitmen untuk menghormati dan menjalankan kesepakatan aturan main.

Demokratisasi tidak hanya penting dalam memosisikan hak memilih dan dipilih, melainkan juga dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilunya. Salah satu tahapan tersebut adalah kampanye pemilu, terutama hubungannya dengan pemanfaatan media massa secara adil dan demokratis.

Pemilu 2014
UU Pemilu No 8 Tahun 2012 menyatakan kampanye pemilu legislatif dimulai tiga hari setelah partai ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu dan berakhir tiga hari jelang pencontrengan. Masa kampanye pemilu rencananya berlangsung kurang lebih 15-16 bulan sejak pengumuman verifikasi parpol oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Jika asumsi waktu berjalan mulus, rentang masa kampanye pemilu legislatif 2014 lebih panjang dari pemilu 2009. Saat itu, kampanye berlangsung sembilan bulan, yakni 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009.

Hal berbeda dari penyelenggaraan pemilu 2009 terkait dengan masa kampanye melalui media massa. Untuk Pemilu 2014, kampanye melalui media cetak dan elektronik ditetapkan 21 hari sebelum masa tenang, artinya tiga hari sebelum pencontrengan.

Sementara pada Pemilu 2009, iklan melalui media massa bisa dilakukan tiga hari setelah peserta pemilu ditetapkan sebagai kontestan, seperti halnya metode pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye kepada umum, serta pemasangan alat peraga di tempat umum.

Sekilas tampak ada kemajuan, karena seolah-olah waktu siaran untuk iklan kampanye pemilu di media massa kita berkurang.

Tetapi jika kita kaji secara faktual, aturan main ini dibuat seolah untuk dilanggar semua kontestan pemilu. Banyak partai, terlebih yang memiliki media, jauh-jauh hari mengoptimalkan media sebagai instrumen kampanye dan propaganda, bahkan jauh sebelum tahapan pemilu berlangsung.

Michael Pfau dan Roxanne Parrot menulis dalam Persuasive Communication Campaign (1993), bahwa kampanye merupakan proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan.

Dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai tindakan persuasif, bisa dimaklumi jika kampanye memang sedari awal berorientasi pada empat hal.

Pertama, berupaya menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat, atau gagasan yang disodorkan. Kedua, menyiapkan khalayak untuk bertindak hingga akhirnya mengajak mereka melakukan tindakan nyata.

Ketiga, mendramatisasi gagasan-gagasan yang disampaikan sehingga mengundang mereka untuk terlibat, baik secara simbolis maupun praktis sesuai tujuan kampanye. Keempat, menggunakan kekuatan media massa dalam menggugah kesadaran masyarakat sehingga mengubah perilaku pemilih (voter behavior).

Pesatnya perkembangan industri media massa membuat partai politik memunculkan banyak strategi yang erat kaitannya dengan media. Para pengusaha-politikus melakukan penetrasi melalui penguasaan media.

Hal ini mengemuka pada fase pemilu 2009 dan kian kokoh jelang pemilu 2014. MNC Group, Media Group, Viva Group, dan lain-lain merupakan contoh pengendalian media oleh politikus pengusaha yang sekaligus menjadi pengendali utama partai politik. Dengan demikian, media menjadi arena pertarungan baru yang tidak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan sudah sangat eksplosif dan eksploitatif.

Lihat saja baku hantam pada kasus restitusi pajak PT Bhakti Investama, Lumpur Lapindo, Hambalang, Wisma Atlet, dan skandal Century. Media di bawah pengendalian pemilik, mengonstruksi, merekonstruksi, dan mendistribusikan political news framing yang menohok kredibilitas kompetitor sekaligus mengeliminasi opini negatif yang tertuju pada kekuatan politik mereka masing-masing.

Proporsionalitas Siaran
Sebenarnya dalam UU No 08 Tahun 2012 ini ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak problematika.

Misalnya, di dalam Pasal 96 diatur soal larangan menjual blocking segment dan/atau blocking time, dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu, serta dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.

Sementara di Pasal 97 batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di TV secara kumulatif 10 spot berdurasi paling lama 30 detik setiap stasiun televisi setiap harinya pada masa kampanye. Sementara radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.
Namun ada beberapa hal mendasar yang perlu dikritik untuk mendapatkan perhatian kita bersama.

Pertama, semakin terabaikannya peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam kegiatan kampanye pemilu. Jika di UU No 10 Tahun 2008, KPI bisa menjatuhkan sanksi kepada media penyiaran yang melanggar aturan kampanye maka di UU No 8 Tahun 2012 sanksi itu hanya mungkin diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota itu pun hanya kepada partai yang menjadi kontestan pemilu saja.

Posisi KPI hanya disebut di Pasal 100 dalam bahasa normatif, yakni pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu.

Kedua, kalimat di dalam UU No 8 Tahun 2012 terutama terkait dengan penggunaan jam tayang masih sangat normatif. Redaksi kalimat “memberi alokasi waktu yang sama dan memperlakukan secara berimbang” adalah rumusan yang normatif dan multiinterpretasi.

Ini senada dengan Pedoman Perilaku Penyiaran Bab XXIX Tahun 2012 dari KPI menyangkut siaran pemilu dan pilkada yang salah satu bunyinya adalah lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional.

Perlu ada pengaturan lebih operasional mengenai durasi tayangan iklan, running text, superimpose, jual waktu siar dalam program, siaran jajak pendapat, dan jenis siaran lainnya yang sangat mungkin menjadi kampanye terselubung.

Oleh karena itu, sangat diperlukan perangkat peraturan KPU dan KPI yang tegas, detail, operasional, dan mengikat sesuai dengan porsi lembaga masing-masing tetapi bersinergi untuk menjaga kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Frekuensi siaran adalah milik publik, karena itu lembaga siaran tidak bisa sewenang-wenang menggunakan waktu siar sebagai alat kampanye, propaganda, bahkan hegemoni opini publik.

Dinamika industri media saat ini menyebabkan harapan terwujudnya demokratisasi siaran sirna! Politikus-pengusaha berada di puncak hierarki media. Dampaknya, bingkai pemberitaan di level dan isu tertentu sangat mungkin disesuaikan dengan keinginan pemilik. ●
◄ Newer Post Older Post ►