Transformasi Ruang Publik Politik
AE Priyono ; Direktur Riset Public Virtue Institute |
KOMPAS, 10 September 2012
Demokrasi elitis Indonesia tampaknya sedang mengalami titik jenuh. Ada tanda-tanda bahwa praktik ortodoksi demokrasi mulai dirasakan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Lebih banyak biayanya daripada keuntungannya.
Ortodoksi demokrasi yang saya maksud di sini adalah praktik demokrasi elitis berbasis partai, seperti yang sudah dijalankan satu setengah dasawarsa terakhir.
Sudah semakin luas diketahui bahwa partai-partai menjadi bagian dari problem struktural korupsi politik dan korupsi birokratik yang merajalela selama masa pasca-Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru korupsi tersentralisasi di istana, pada masa pemerintahan reformasi desentralisasi korupsi digerakkan oleh mesin partai. Praktik korupsi bahkan telah menjadi kegiatan utama agar kelangsungan kekuasaan partai bisa terjaga. Tidak ada satu partai pun yang bebas dari praktik korupsi.
Hampir semua partai punya jaringan kepentingan di struktur-struktur eksekutif birokrasi. Kementerian-kementerian departemental di tingkat eksekutif tidak imun pula dari jaringan kekuasaan korup partai-partai. Begitu pula di BUMN dan BUMD. Pun di pemerintahan-pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Ilustrasi berikut menjelaskan perilaku penuh kepentingan partai-partai politik menyangkut pergantian kekuasaan pemerintahan, khususnya dari pengalaman Pilkada DKI Jakarta hari-hari ini. Selama kompetisi putaran pertama, kampanye pasangan dukungan Golkar dan PPP (Alex Noerdin-Nono Sampono) serta dukungan PKS (Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini) menyerukan untuk ”menghabisi” Fauzi Bowo alias Foke sebagai gubernur yang gagal. Namun, menjelang putaran kedua, nyaris semua partai—selain yang mendukung Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama (Jokowi-Ahok)—berbalik arah mendukung Foke. Pemberitaan di media massa menyebutkan, ada partai tertentu yang sebelumnya mengampanyekan anti-status quo dan mendukung perubahan Jakarta, diam-diam meminta ”mahar” puluhan miliar rupiah dari kubu Foke dengan imbalan ratusan ribu suara.
Peristiwa-peristiwa seperti itu bukannya berada di luar pemantauan publik. Kemerosotan etika politik yang semakin jatuh ke titik nadir berlangsung bersamaan dengan memuncaknya kemuakan masyarakat terhadap perilaku partai-partai dan para birokrat korup.
Partai-partai yang ”menjual” agama makin terbongkar kedoknya. Politisi, artis, dan agamawan yang memainkan isu-isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) bahkan mulai menuai kecaman antipati. Meski demikian, menjadi menarik untuk mempertanyakan kesimpulan ini: benarkah sikap ”antipartai” di kalangan publik itu akan kembali terjatuh menjadi apatisme-politik seperti yang terjadi pada masa Orde Baru?
Revitalisasi Ruang Politik?
Habermas (1989) mencatat terjadinya transformasi ruang publik liberal borjuis sebagai lokus bagi tumbuhnya gagasan-gagasan mengenai public good menjadi ruang publik yang makin terprivatisasi dan hanya berfungsi untuk penyemaian gagasan-gagasan kebebasan privat. Itu adalah fenomena abad ke-18 dan ke-19.
Sejak abad ke-20, ketika kapitalisme negara, industri budaya pop, dan korporat bisnis besar menjadi kekuatan-kekuatan yang mendikte ruang publik, warga negara terdegradasi lebih jauh sekadar menjadi konsumen barang dan jasa serta konsumen administrasi pemerintahan. Media dan kaum elite mendefinisikan kepentingan mereka.
Ruang publik akhirnya makin kehilangan fungsinya untuk pengembangan public-interest, general-interest, dan common-interest. Degradasi ini juga menyebabkan demosdidepolitisasi jadi idios; warga negara dengan kandungan dan cita-cita politik menjadi sekadar individu demi kebebasan-kebebasan privat.
Dalam konteks Indonesia, penyebab degenerasi ruang publik selama masa Orde Baru semestinya harus ditambahkan sebagai terjadi akibat otoritarianisme politik yang melumpuhkan masyarakat sipil. Pada masa pasca-Orde Baru, demokratisasi tidak serta-merta membuat masyarakat sipil bangkit untuk menciptakan ruang publik mereka sendiri.
Berbagai riset memperlihatkan, mereka terlalu rapuh untuk melakukan konsolidasi, juga terpecah belah dalam berbagai isu/kepentingan. Sementara partai-partai politik yang lahir pada masa ini justru berkembang menjadi bagian dari kekuatan elite vis a vis masyarakat sipil.
Namun, selama beberapa tahun terakhir ini, terjadi perkembangan menarik. Media sosial digital menjadi lokus dibukanya kembali ruang publik untuk isu-isu politik di antara sesama anggota komunitas kewargaan. Mulai tumbuh sebuah ruang publik politik yang dipelopori para aktivis media sosial di dunia maya.
Komunitas-komunitas itu terutama memang muncul di kota-kota besar Indonesia dan sedang terlibat memengaruhi proses-proses politik nasional ataupun lokal (Yanuar Nugroho 2012, Merlyna Lim 2012). Mereka sedang membentuk jaringan diskusi politik yang meliputi berbagai macam isu publik. Politisasi media sosial baru, seperti Facebook dan Twitter, tampaknya pertanda terjadinya revitalisasi ruang publik politik Indonesia.
Demokrasi Digital
Jika benar demikian, aktivis media sosial berpotensi menjadi aktor strategis bagi munculnya politik demokrasi yang lebih bersifat partisipatoris. Partisipasi politik populer inilah yang persisnya dieksklusi oleh praktik demokrasi (liberal) prosedural- elektoral 10 tahun ini. Namun, tentu masih terlalu tentatif untuk mendeteksi seberapa besar pengaruh para aktivis media sosial itu dalam pembentukan politisasi ruang publik.
Salah satu pertanyaan yang belum bisa terjawab dengan persis adalah, jika media sosial digital selama ini dihuni oleh kaum idios yang hanya berasyik-masyuk untuk mengejar kebebasan-kebebasan individual, seberapa besar di antara mereka yang akan mengalami transformasi menjadi demos untuk memperjuangkan kepedulian baru mengenai isu-isu publik?
Pengalaman selama masa Pilkada DKI Jakarta memberikan harapan bahwa apa yang disebut Habermas sebagai ”komunitas virtual dan imajiner” ruang-publik digital bukannya tidak punya pengaruh politik di tingkat offline.
Percobaan yang dilakukan oleh Faisal Basri sebagai calon independen pada putaran pertama, Juli lalu, membuktikan bertemunya kombinasi antara para aktivis media sosial dari kalangan generasi muda yang makin sadar politik dan para aktivis konvensional ”golongan putih” yang selama ini berusaha mencari celah-celah baru dalam struktur kesempatan politik yang terus bergeser cepat menjelang 2014. Momentum bertemunya dua jenis aktivis dari dua ranah generasional yang berbeda itu juga semakin dipercepat oleh kejenuhan publik pada ortodoksi politik elite yang semakin konservatif.
Mungkin dari sini kita bisa berharap dimulainya babak saat marjinalisasi politik populer akan berakhir. Sekaligus babak saat pengeroposan monopolisasi politik elitis akan segera dimulai. ●