Cara Perang “Neocortex”
Sayidiman Suryohadiprojo ; Mantan Gubernur Lemhannas |
KOMPAS, 10 September 2012
Cara perang neocortex (neocortical warfare) adalah cara perang tanpa penggunaan kekerasan.
Jadi menyimpang dari definisi perang yang diberikan Von Clausewitz, yaitu tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk kepada kehendak kita. Ia lebih sesuai dengan pernyataan Sun Tzu, yaitu panglima perang yang unggul adalah ia yang dapat menundukkan musuhnya tanpa menggunakan pertempuran.
Berkembangnya pemikiran ini dipicu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam biologi dan psikologi. Orang berpikir, inti perang menundukkan kehendak musuh sehingga mau mengikuti kehendak penyerang, tidak melawan atau mempersulit keinginannya.
Untuk menundukkan kehendak musuh, yang penting adalah menundukkan kehendak pemimpin musuh tanpa harus berperang secara formal. Kalau pemimpin mau tunduk, ia tak akan membawa pengikutnya untuk melawan. Bahkan, ia akan mengikuti kehendak penyerang.
Menundukkan kehendak pemimpin musuh tak harus dengan kekerasan. Penggunaan tindakan kekerasan malah berisiko macam-macam: mungkin serangan dikalahkan atau mengundang pihak lain membantu yang diganggu. Selain itu tindakan kekerasan pasti perlu biaya besar yang amat berbeda kalau tanpa kekerasan.
Iptek menunjukkan bahwa kehendak orang bersumber pada otaknya, khususnya bagian otak yang namanya neocortex. Kalau otak itu dapat dipengaruhi sehingga pikiran orang itu bergerak menguntungkan, kehendak orang itu dapat dimanipulasi sesuai kehendak penyerang.
Contoh paling sederhana adalah penyuapan yang membuat orang yang disuap lebih dekat kepada pemberi suap. Suapan tak hanya uang. Bisa juga hal lain yang menyenangkan penerima suap sehingga berubah pikirannya. Iptek lalu menemukan bahwa tak hanya suap untuk mengubah cara berpikir orang. Berbagai teknik dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan sama.
Tanpa Kekerasan
Cara perang neocortex mulai digunakan pemimpin Jerman, Adolf Hitler, pada 1930-an ketika ia berambisi menguasai Eropa. Hitler pada 1938 berhasil menundukkan Austria tanpa kekerasan. Hitler pula yang mengembangkan penetrasi ke negara-negara Eropa Barat tanpa kekerasan dengan apa yang oleh pihak lawannya di Barat disebut ”kolonne kelima”, kemudian berkembang menjadi istilah subversi yang sekarang lazim digunakan.
Cara perang neocortex terutama tertuju kepada pemimpin pihak yang diserang. Adapun kolonne kelima dengan jalan propaganda memengaruhi masyarakat lawan. Hanya Hitler kemudian masih menggunakan kekerasan untuk menguasai Eropa Barat, meski cara perang neocortex dan kolonne kelima-nya sudah berhasil memengaruhi dan melemahkan lawan. Keberhasilan cara berperang baru itu dibuktikan dengan runtuhnya negara-negara Eropa Barat satu per satu dalam waktu singkat. Bahkan, Perancis yang dalam Perang Dunia I mengalahkan Jerman dapat dikalahkan dalam kampanye yang hanya berlangsung tiga minggu. Hitler baru gagal ketika hendak merebut Inggris.
Cara perang neocortex dan subversi ini kemudian juga diambil Uni Soviet, diterapkan Josef Stalin dan Partai Komunis untuk menguasai dunia setelah memenangi Perang Dunia II. Amerika Serikat relatif lambat dalam penggunaan cara baru itu karena cenderung menitikberatkan pada keunggulan teknologi militernya serta kekuatan pembiayaan. Baru setelah menyadari bahwa perang modern perlu pembiayaan amat besar, apalagi mengalami kegagalan seperti di Vietnam, para pakar AS mulai menyadari pentingnya cara berperang tanpa kekerasan, khususnya perang neocortex.
Tidak mustahil bila pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev, jadi salah satu korban perang neocortex AS. Setelah memenangi Perang Dingin, AS melancarkan ofensif tanpa kekerasan besar-besaran untuk menguasai dunia. Kekurangberhasilan operasi militernya di Irak dan Afganistan, padahal sudah mengeluarkan biaya amat besar, AS makin sadar teknologi dan kekuatan ekonomi bukan segalanya.
Sebab itu, dapat diperkirakan bahwa cara perang neocortex akan makin digunakan AS untuk mencapai tujuan-tujuannya dan memelihara dominasi dunia. Karena Indonesia termasuk negara yang menonjol dalam kepentingan AS, kita harus siap dan waspada untuk tidak menjadi korban.
Kita memang tidak perang dengan AS, tetapi tanpa perang AS akan memperjuangkan kepentingannya yang banyak di Indonesia. Kiranya keberhasilan mengubah UUD 1945 dengan empat kali amendemen sehingga batang tubuh konstitusi itu jadi berbeda dengan dasar negara, dengan bantuan orang Indonesia sendiri, merupakan salah satu usaha tanpa kekerasan AS yang merugikan bangsa Indonesia.
Akan tetapi, kita juga perlu waspada terhadap China yang sedang bersaing kuat dengan AS. Kepentingan mereka cukup banyak di Indonesia. China pasti lebih mahir dan cekatan dalam melakukan perang neocortex. ●