Terobosan untuk Raksasa yang Sakit
Ivan A Hadar ; Arsitek, Pemerhati Perkotaan |
SINDO, 08 September 2012
Tanggal 20 September ini, warga Jakarta sebagai salah satu kota terpolusi di dunia ini akan memilih gubernur baru. Seabrek masalah seperti kemacetan, banjir, sampah, kriminalitas, atau maraknya korupsi menunggu diatasi oleh kepemimpinan baru yang kredibel.
Sekitar 55 tahun lalu, antropolog Prancis terkenal Claude Levi Strauss menulis tentang Sao Paolo, Brasil: “Kota ini berkembang demikian cepatnya sehingga tidak mungkin melakukan perencanaan atasnya.” Padahal,waktu itu, pusat perekonomian Brasil yang sedang mekar itu baru berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan, apa pula kesan mendiang Levi Strauss bila saat ini ia berkunjung ke Jakarta saat ini. Jakarta dan kota-kota sekitarnya (Jabodetabek) yang memiliki penduduk lebih dari 23 juta jiwa adalah metropolitan terpadat kelima dunia di bawah Tokyo, Bombay, Lagos, dan Shanghai.
Artinya, lebih dari 10% penduduk negeri ini hidup di Jabodetabek yang luasnya hanya sekitar 1% areal Indonesia. Akibat kemacetan yang teramat parah, kerugian material di Jakarta diperkirakan mencapai Rp17,2 triliun per tahun atau nyaris setara pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta setiap tahunnya. Sementara itu, tak kurang 59% populasi dan 80% industri terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6.8% total daratan Indonesia.
Raksasa yang Sakit
World Watch, balai penelitian independen di Washington, memperingatkan bahwa pertambahan penduduk yang sangat pesat akan menjadi beban tak tertanggungkan bagi infrastruktur metropolitan. Belum terbayangkan bagaimana jadinya bila sebuah “kota raksasa” yang sedang sakit ini sekarat. Ada contoh dari tahun 1970-an ketika Pemerintah Kota New York berkali-kali hampir bangkrut, metropolitan AS ini diramalkan tak bisa lagi diatur.
Baru setelah negara kaya ini mencatat tingkat pertumbuhan tinggi dan setelah ada suntikan dana bank internasional, Big Apple—demikian New York digelari—kembali berfungsi normal. Keajaiban serupa sulit terulang di metropolitan negara berkembang,termasuk Jakarta. Saat ini saja laju pertumbuhannya nyaris tak terkontrol. Penduduknya pun dibebani melonjaknya kriminalitas dan semakin sulitnya mencari sesuap nasi.
Korupsi di sektor publik semakin mempersulit upaya reformasi mendasar. Pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor yang sangat pesat pun kembali menghancurkan berbagai perbaikan infrastruktur yang berjalan tertatih-tatih. Sementara petaka lingkungan telah pula mengintip. Di Jakarta, lebih dari sepertiga penduduknya ditaksir tinggal di kampung-kampung kumuh perkotaan.
Artinya, lebih dari 10% penduduk negeri ini hidup di Jabodetabek yang luasnya hanya sekitar 1% areal Indonesia. Akibat kemacetan yang teramat parah, kerugian material di Jakarta diperkirakan mencapai Rp17,2 triliun per tahun atau nyaris setara pendapatan asli daerah (PAD) DKI Jakarta setiap tahunnya. Sementara itu, tak kurang 59% populasi dan 80% industri terkonsentrasi di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6.8% total daratan Indonesia.
Raksasa yang Sakit
World Watch, balai penelitian independen di Washington, memperingatkan bahwa pertambahan penduduk yang sangat pesat akan menjadi beban tak tertanggungkan bagi infrastruktur metropolitan. Belum terbayangkan bagaimana jadinya bila sebuah “kota raksasa” yang sedang sakit ini sekarat. Ada contoh dari tahun 1970-an ketika Pemerintah Kota New York berkali-kali hampir bangkrut, metropolitan AS ini diramalkan tak bisa lagi diatur.
Baru setelah negara kaya ini mencatat tingkat pertumbuhan tinggi dan setelah ada suntikan dana bank internasional, Big Apple—demikian New York digelari—kembali berfungsi normal. Keajaiban serupa sulit terulang di metropolitan negara berkembang,termasuk Jakarta. Saat ini saja laju pertumbuhannya nyaris tak terkontrol. Penduduknya pun dibebani melonjaknya kriminalitas dan semakin sulitnya mencari sesuap nasi.
Korupsi di sektor publik semakin mempersulit upaya reformasi mendasar. Pertumbuhan penduduk dan kendaraan bermotor yang sangat pesat pun kembali menghancurkan berbagai perbaikan infrastruktur yang berjalan tertatih-tatih. Sementara petaka lingkungan telah pula mengintip. Di Jakarta, lebih dari sepertiga penduduknya ditaksir tinggal di kampung-kampung kumuh perkotaan.
Lebih dari itu, berbeda dengan perkembangan pesat kawasan industri di Eropa abad ke-19 yang juga dirundung kemiskinan serta kekumuhan sebelum membaik, metropolitan abad ke-21 di negara-negara berkembang umumnya tidak ditunjang ekonomi pertanian kawasan sekitarnya yang berfungsi dengan baik. Menurut World Watch(2002), arus deras manusia yang menyerbu kota di negara-negara berkembang umumnya bukan disebabkan kemakmuran kota, tetapi akibat kemiskinan desa. Jutaan petani gurem tak lagi mampu menghasilkan panen memadai akibat distribusi tanah yang timpang dan akibat erosi berkelanjutan.
Pembangunan Daerah
Kasus Tokyo bisa menjadi salah satu bahan pembelajaran. Saat ini, lebih dari seperempat penduduk Jepang adalah warga Tokyoyanghidupberdesakandi atas sebuah areal yang luasnya hanya sekitar 2% tanah Jepang. Di Tokyo, bermarkas 66% perusahaan Jepang. Di situ pula, sekitar 30% produk nasional dihasilkan serta 60% bursa diperdagangkan.Sebagai pusat kebudayaan, ekonomi, dan politik, Tokyo seakan sebuah lokomotif yang menarik maju seluruh negeri Jepang. Padahal, Tokyo terletak di jalur gempa yang berbahaya.
Tanpa ada terobosan, banyak yang meramal masa depan Tokyo terhitung suram,minimal rawan. Awal 1970-an, pernah ada upaya terobosan.Waktu itu,PM Noboru Takeshita memproklamasikan bahwa desentralisasi Tokyo termasuk kebijaksanaan politik terpenting masa pemerintahannya. Program penanganan “penyakit” Tokyo diberi nama Furosato yang berarti “kembali ke desa”. Sebagai langkah dramatis pertama, Takeshita mewajibkan setiap kementerian dan departemen terpenting pemerintahannya agar memindahkan satu direktorat atau departemennya ke kota lain.
Awalnya, tercatat 290 direktorat yang rencananya dipindahkan dari Tokyo. Namun, pada akhirnya, tidak satu pun direktorat penting yang bersedia meninggalkan Tokyo. Alasannya, pemindahan membawa masalah. Hari ini, demikian argumentasi mereka yang tidak setuju, orang ke Ibu Kota dan bisa menyelesaikan berbagai keperluannya. Besok bila kantor-kantor itu dipindahkan, ke mana-mana orang harus menjelajahi separuh Jepang untuk menyelesaikannya. Jakarta, seperti halnya Tokyo, mempunyai daya pesona yang tinggi.
Di Jakartalah terletak pusat kebudayaan, ekonomi, dan politik republik ini. Sirkulasi uang di Jakarta pun, menurut perkiraan, mencapai jumlah sekitar 80% total sirkulasi uang di Indonesia. Di sini pula berpusat hampir seluruh departemen dan kementerian. Pendeknya roda pemerintahan berputar di Jakarta. Di sini pula berkumpul lembaga dan pakar budaya.
Namun, dengan menimbang berbagai harga sosial yang harus dibayar oleh pembengkakan kota,rasanya wajar bila timbul keragu-raguan tentang anggapan bahwa Jakarta sebagai metropol berperan menunjang keterpaduan ekonomi dan sosial yang pada gilirannya berperan menunjang pembangunan nasional. Padahal, ada keterkaitan erat antara “kemegahan” dan “kesuraman” metropol dan perdesaan, Jawa dan luar Jawa.
Terobosan
Jakarta diharapkan cepat berbenah, salah satunya dengan mengurangi pesonanya sebagai pusat segala kegiatan. Selain alternatif memindahkan ibu kota, perlu direncanakan penyebaran pusat-pusat kegiatan bisnis, kebudayaan, industri, dan lainnya di berbagai kota di negeri kepulauan ini. Hal ini ikut mengurangi arus migrasi desa kota dan pembengkakan jumlah penduduk di metropol.
Hal itu juga dimaksudkan agar “keuntungan lokasi” metropol terpelihara berbarengan dengan pengembangan sentra-sentra daerah sebagai kota dan kawasan dengan fungsi dan manfaatnya yang berbeda- beda. Yang pertama berarti mencegah berlanjutnya proses “pemburukan kota” (town deternation) di beberapa metropol seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan pulau padat Jawa.
Adapun dalam batas dan waktu tertentu, intensifikasi pengembangan daerah seakan mengurangi perhatian pada masalah metropol. Tapi, dalam jangka menengah pembangunan daerah akan berdampak positif bagi metropol itu sendiri. Semoga gubernur terpilih memiliki visi ke depan berupa terobosan dalam menyelesaikan seabreg masalah untuk mengobati raksasa yang sedang sakit ini. ●
Pembangunan Daerah
Kasus Tokyo bisa menjadi salah satu bahan pembelajaran. Saat ini, lebih dari seperempat penduduk Jepang adalah warga Tokyoyanghidupberdesakandi atas sebuah areal yang luasnya hanya sekitar 2% tanah Jepang. Di Tokyo, bermarkas 66% perusahaan Jepang. Di situ pula, sekitar 30% produk nasional dihasilkan serta 60% bursa diperdagangkan.Sebagai pusat kebudayaan, ekonomi, dan politik, Tokyo seakan sebuah lokomotif yang menarik maju seluruh negeri Jepang. Padahal, Tokyo terletak di jalur gempa yang berbahaya.
Tanpa ada terobosan, banyak yang meramal masa depan Tokyo terhitung suram,minimal rawan. Awal 1970-an, pernah ada upaya terobosan.Waktu itu,PM Noboru Takeshita memproklamasikan bahwa desentralisasi Tokyo termasuk kebijaksanaan politik terpenting masa pemerintahannya. Program penanganan “penyakit” Tokyo diberi nama Furosato yang berarti “kembali ke desa”. Sebagai langkah dramatis pertama, Takeshita mewajibkan setiap kementerian dan departemen terpenting pemerintahannya agar memindahkan satu direktorat atau departemennya ke kota lain.
Awalnya, tercatat 290 direktorat yang rencananya dipindahkan dari Tokyo. Namun, pada akhirnya, tidak satu pun direktorat penting yang bersedia meninggalkan Tokyo. Alasannya, pemindahan membawa masalah. Hari ini, demikian argumentasi mereka yang tidak setuju, orang ke Ibu Kota dan bisa menyelesaikan berbagai keperluannya. Besok bila kantor-kantor itu dipindahkan, ke mana-mana orang harus menjelajahi separuh Jepang untuk menyelesaikannya. Jakarta, seperti halnya Tokyo, mempunyai daya pesona yang tinggi.
Di Jakartalah terletak pusat kebudayaan, ekonomi, dan politik republik ini. Sirkulasi uang di Jakarta pun, menurut perkiraan, mencapai jumlah sekitar 80% total sirkulasi uang di Indonesia. Di sini pula berpusat hampir seluruh departemen dan kementerian. Pendeknya roda pemerintahan berputar di Jakarta. Di sini pula berkumpul lembaga dan pakar budaya.
Namun, dengan menimbang berbagai harga sosial yang harus dibayar oleh pembengkakan kota,rasanya wajar bila timbul keragu-raguan tentang anggapan bahwa Jakarta sebagai metropol berperan menunjang keterpaduan ekonomi dan sosial yang pada gilirannya berperan menunjang pembangunan nasional. Padahal, ada keterkaitan erat antara “kemegahan” dan “kesuraman” metropol dan perdesaan, Jawa dan luar Jawa.
Terobosan
Jakarta diharapkan cepat berbenah, salah satunya dengan mengurangi pesonanya sebagai pusat segala kegiatan. Selain alternatif memindahkan ibu kota, perlu direncanakan penyebaran pusat-pusat kegiatan bisnis, kebudayaan, industri, dan lainnya di berbagai kota di negeri kepulauan ini. Hal ini ikut mengurangi arus migrasi desa kota dan pembengkakan jumlah penduduk di metropol.
Hal itu juga dimaksudkan agar “keuntungan lokasi” metropol terpelihara berbarengan dengan pengembangan sentra-sentra daerah sebagai kota dan kawasan dengan fungsi dan manfaatnya yang berbeda- beda. Yang pertama berarti mencegah berlanjutnya proses “pemburukan kota” (town deternation) di beberapa metropol seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan pulau padat Jawa.
Adapun dalam batas dan waktu tertentu, intensifikasi pengembangan daerah seakan mengurangi perhatian pada masalah metropol. Tapi, dalam jangka menengah pembangunan daerah akan berdampak positif bagi metropol itu sendiri. Semoga gubernur terpilih memiliki visi ke depan berupa terobosan dalam menyelesaikan seabreg masalah untuk mengobati raksasa yang sedang sakit ini. ●