Minggu, 09 September 2012

Menata (Kembali) Parlemen


Menata (Kembali) Parlemen
Ahmad Yani ;  Wakil Ketua Fraksi PPP DPR-RI 
SINDO, 08 September 2012


Sistem parlemen kita pascaamendemen UUD 1945 memiliki tiga lembaga yang sejajar, yaitu MPR, DPR, dan DPD. Dua dari tiga lembaga negara tersebut baru saja melaksanakan perayaan hariulangtahunnya (HUT) yang ke-67, yaitu MPR dan DPR, minus DPD yang memiliki perbedaan dalam perayaan HUTnya. 

MPR menggelar sarasehan dan Hari Konstitusi, sedangkan DPR melaksanakan sidang paripurna yang mengagendakan laporan atas kinerja DPR secara institusi selama satu tahun serta warna-warni lainnya. Dua lembaga yang memiliki perbedaan kewenangan, tetapi memiliki keanggotaan yang sama pada prinsipnya. Hanya keanggotaan MPR ada penambahan dari institusi perwakilan daerah yang secara genetik memiliki rumpun yang sama.

Sekilas dua lembaga dengan satu rumpun ingin memisahkan secara institusi, tetapi sebenarnya menunjukkan egoisme dari kedua institusi tersebut dalam melaksanakan perayaan HUT-nya. Kenapa tidak dilaksanakan dalam satu kesatuan yang mengagendakan laporan kinerja dari ketiga lembaga itu? Tentu akan lebih diketahui masyarakat apa yang telah mereka kerjakan selama satu tahun.

Di tengah sorotan negatif terhadap kinerja anggota parlemen di Senayan, tentu sebuah keinginan bersama di HUT-nya yang ke-67 untuk memperbaiki kinerja dan mengoptimalkan tugas serta kewenangan dari institusi-institusi yang ada di parlemen agar masyarakat tidak merasa mubazir dalam setiap kali pemilu untuk memilih wakilnya di parlemen. Diperlukan sebuah upaya penataan kembali parlemen dan kesadaran bersama agar keberadaan mereka dapat dirasakan oleh masyarakat.

Kewenangan 

Lipson dalam bukunya menyatakan konstitusi sangat penting karena memuat aturan-aturan mengenai proses politik. Konstitusi dalam pandangannya tidak saja mencerminkan realitas dalam masyarakat, tetapi juga menerapkan lembaga-lembaga politik dan mekanisme pembagian kekuasaan, terutama yang menyangkut lembaga legislatif. Karena lembaga legislatif menjadi instrumen penting yang akan mewakili kedaulatan rakyat dalam pemerintahan dan sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.

Pascaamendemen, banyak pandangan mengatakan bahwa kewenangan parlemen saat ini memang sangat dominan, terutama bagi DPR. Baik dalam hal perundang-undangan, penganggaran maupun pengawasan. Tentu kita akan mengamini pandangan tersebut bila dilihat dalam perspektif semasa diberlakukannya UUD 1945 oleh pemerintahan Orde Baru. Parlemen—dalam hal ini MPR—hanya dijadikan alat legitimasi untuk memperpanjang kekuasaan dan DPR hanya alat stempel bagi setiap kebijakan pemerintah dalam hal pembuatan perundang-undangan karena sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah.

Jelas berbeda dengan saat ini, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. Namun MPR tetap lembaga tertinggi dalam hal mengeluarkan keputusan seperti Tap MPR yang ditempatkan di atas undang-undang dan di bawah UUD 1945.MPR juga yang melantik dan memberhentikan presiden/ wakil presiden serta hanya MPR yang dapat melaksanakan sidang bersama antara DPR dan DPD dengan agenda melakukan perubahan UUD.

Dengan demikian sesungguhnya MPR adalah lembaga tertinggi sekalipun tidak disebutkan dalam UUD pascaamendemen. Lain halnya dengan DPR. DPR merupakan lembaga negara yang sebenarnya memiliki kesejajaran dengan pemerintah, baik dalam perundang-undangan yang harus melalui persetujuan bersama maupun undang-undang inisiatif DPR. Dalam hal pengangkatan, DPR hanya dimintai pertimbangan dan persetujuan setelah dilakukan seleksi oleh pemerintah, dengan demikian pemerintah dalam hal ini tetap dominan.

Begitu pun dalam hal fungsi penganggaran, sepenuhnya diajukan oleh pemerintah melalui menteri keuangan, DPR hanya membahas dan menyetujui apa yang diajukan pemerintah. Maka adalah hal yang wajar kalau fungsi pengawasan DPR tidak berjalan. Sama halnya dengan DPD yang secara konstitusi diakui keberadaannya, tetapi tidak memiliki kewenangan apa pun karena semua harus berdasarkan persetujuan DPR.

Jauh dari mekanisme ideal dan cermin dari checks and balances, pembagian kekuasaan perlu kembali ditata ulang melalui amendemen UUD 1945 kembali.Yang paling utama adalah memperkuat posisi MPR sebagai lembaga negara yang mengatur dua lembaga lain, yaitu DPR dan DPD, sehingga kewenangan dan tugas DPR dan DPD menjadi jelas, tidak menimbulkan egoisme institusi yang dapat merusak tatanan kelembagaan.

Supporting System 

Demokrasi memang memiliki dilema tersendiri. Lipson mengatakan bahwa dilema demokrasi perwakilan salah satu di antaranya akan banyak orang yang terpilih, tetapi tidak mengerti persoalan negara, sistem politik, dan hukum ketatanegaraan yang masuk dalam lembaga perwakilan seperti saat ini yang dialami parlemen kita. Ada tiga hal yang dapat dijadikan supporting bagi anggota-anggota terpilih untuk dapat menjalankan tugasnya selama menjadi wakil rakyat.

Pertama,sistem rekrutmen dan pendidikan politik yang harus dilakukan oleh partai politik sebelum dicalonkan sebagai anggota legislatif. Selama ini sistem rekrutmen bukan berdasarkan pada asas kualitas dan kapasitas, tetapi lebih pada kedekatan dan pragmatisme. Begitu pun dalam hal pendidikan politik, partai politik tidak melakukan pembekalanpembekalan khusus soal kenegaraan bagi calon-calon wakilnya di parlemen. Kedua, perlunya tenagatenaga ahli yang andal dan profesional untuk perbantuan anggota.

Tidak mungkin seorang anggota menguasai semua soal dengan keterbatasan waktu dan kesibukannya tanpa masukan-masukan dari tenaga ahli. Akan tetapi permasalahannya saat ini sedikit yang memanfaatkan tenaga andal dan profesional untuk membantu kinerja Dewan, banyak yang hanya menempatkan tenaga ahli untuk sebatas resourceatau tambahan rezeki dengan menempatkan kerabat, famili, dan bahkan keluarga.

Ketiga, sistem birokrasi kesekjenan yang profesional. Hal ini dapat dilakukan bila pertanggungjawaban birokrasi kesekjenan sepenuhnya bertanggung jawab kepada pimpinan DPR, tidak terikat pada jalur birokrasi lain seperti Sekretariat Negara. Dengan demikian, birokrasi dapat mempermudah kinerja Dewan dengan pelayanan yang cepat dan tidak rumit seperti saat ini.

Kini dengan HUT yang ke- 67, kita perlu kembali melakukan penataan melalui perubahan UUD 1945 agar terbentuk mekanisme checks and balances serta perlunya supporting system yang efektif baik yang terkait partai politik, perbantuan tenaga ahli maupun kesekjenan agar harapan masyarakat dapat terpenuhi melalui kerja anggota di lembaga perwakilan yang mewakili mereka. Selain itu, dengan melakukan penataan kembali, pandangan negatif terhadap parlemen dapat berkurang.

◄ Newer Post Older Post ►