Rabu, 12 September 2012

Sesat Pikir Kontraterorisme


Sesat Pikir Kontraterorisme
Moh Rozaq Asyhari ;  Mahasiswa Program Doktor Universitas Indonesia,
Staf Ahli Anggota Komisi III DPR
REPUBLIKA, 11 September 2012


Penanganan terorisme dilakukan dengan dua fungsi besar, yaitu upaya penindakan dan pencegarah. Penindakan adalah proses penghukuman terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana tersebut atau ex post factum. Sedangkan pencegahan adalah menutup atau tidak menciptakan kesempatan dilakukannya tindak pidana terorisme, oleh karenanya preventive measures dilakukan sebelum tindak pidana terorisme terjadi.

Penindakan yang dilakukan oleh Densus 88 telah mengantarkan ratusan tersangka teroris ke persidangan, beberapa terpidana di antaranya telah dieksekusi mati setelah menerima vonis yang kracht van gewijsde. Namun, puluhan terduga yang lain juga telah ditembak mati di tempat kejadian perkara.

Sebenarnya, Desus 88 bukan satusatunya satuan yang memiliki tugas dan kemampuan untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana terorisme. Hampir semua angkatan dan kepolisian, juga badan intelijen memiliki struktur organisasi antiterror.

Kapolri menerbitkan Skep Kapolri No 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 menandai terbentuknya Densus 88 Antiteror. Keberadaan Skep Kapolri tersebut merupakan tindak lanjut dari diterbitkannya UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang mempertegas kewenangan Polri sebagai unsur utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, sedangkan TNI dan BIN menjadi unsur pendukung saja dari pemberantasan tindak pidana terorisme.

Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 memberikan kewenangan kepada BNPT untuk melakukan fungsi pencegahan dalam persoalan terorisme.
 
Badan ini memiliki tugas untuk menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Dapatlah disimpulkan bahwa BNPT adalah design maker dalam penyiapan program kontraterorisme, yang juga sekaligus sebagai player dalam bidang penanggulangan terorisme.

Pangkal Terorisme

Pada 19 Maret 2012, BNPT mempresentasikan Program Kontraradikal Terorisme di depan Komisi III. Kegiatan ini dibuat dalam bentuk proyek strategis nasional yang disebut deradikalisasi. Proyek ini mengidentifikasi bahwa pangkal terorisme di Indonesia adalah pemahaman radikalisme dalam beraga ma, oleh karenanya kegiatan kontra terorisme dilakukan dengan deradikalisasi.

Sasaran dari proyek ini adalah majelis taklim, pengurus masjid, pesantren, dan organisasi kemahasiswaan. Sepertinya telah ditarik kesimpulan bahwa komunitas-komunitas yang melakukan aktivitas keislaman merupakan entitas yang rentan terhadap radikalisme, oleh karenanya proyek ini memiliki fokus pada kelompok tersebut sebagai objek sasaran.

Kesimpulan yang demikian adalah bentuk dari logical fallacy atau sesatpikir logis, merupakan suatu komponen dalam argumen, muncul dalam statemen klaim yang mengacaukan logika. Sesatpikir logis menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan karena klaim argumennya tidak disusun dengan logika yang benar.

Persoalan terorisme dihubungkan dengan kelompok agama tertentu yaitu Islam, bila pelaku tindak pidana adalah seorang Muslim maka akan dengan cepat disimpulkan tindakan tersebut adalah terorisme. Berbeda ketika tindakan tersebut dilakukan oleh orang di luar kelompok agama tersebut, kesimpulan misalkan saja kejadian rentetan penembakan dan teror yang terjadi di Papua.

Selama 2012 ini saja setidaknya ada 24 kasus penembakan, sebelumnya pada 2011 paling tidak terjadi 13 kali insiden penembakan. Pada tahun tersebut terdapat tujuh orang karyawan PT Freeport yang meninggal dunia, lima orang lainnya mengalami luka tembak, dua orang anggota TNI dan satu orang polisi juga mengalami luka tembak. Namun, dari semua kejadian tersebut tidak pernah dilabeli terorisme, hanya disebut dengan penembakan orang tak dikenal ataupun terkadang juga disebut sebagai separatisme.

Konstruksi logika yang mengatakan bahwa para teroris lahir dari radikalisme agama mengalami ignoratio elenchi, yaitu kesesatan yang terjadi saat menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Dalam hal ini disimpulkan bahwa perbuatan teror muncul karena pemahaman keberagaman seseorang yang radikal, padahal konten dari agama itu sendiri adalah moral condutc. Tidaklah mungkin satu agama pun di dunia ini yang memperbolehkan umatnya melakukan teror. Loncatan dari premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka, emosi, dan perasaan subjektif.

Terorisme muncul disebabkan adanya persoalan-persoalan kompleks. Kehadirannya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memunculkan prakondisi dan katalisatornya. Prakondisi terjadinya terorisme: pertama, adanya modernisasi sebagai faktor penting bagi munculnya problematika sosial ekonomi di dalam masyarakat, termasuk juga munculnya teknologi komunikasi dan transportasi yang semakin canggih. Kemudahan ini menyebabkan terorisme bisa muncul.

Kedua, lokasi geografis sebagai tempat-tempat yang memudahkan aksi terorisme berjalan lancar. Karenanya, di kota-kota lebih berpeluang menjadi sasaran terorisme daripada di desa. Hal ini karena di kota fasilitas yang mendukung aksi terorisme mudah didapat. Ketiga, sistem politik dan sikap pemerintah yang dinilai menimbulkan kesenjangan, tidak berpihak pada rakyat dan belum bisa memberikan kesejahteraan.

Sementara itu, yang termasuk faktor-faktor yang menjadi katalisator terjadinya terorisme adalah pertama, adanya diskriminasi keadilan terhadap kelompok tertentu. Kedua, tersumbatnya saluran partisipasi politik, ketiga factor-faktor sosial, budaya, dan keempat adanya fasilitas dan persenjantaan yang memadai.

Strategi kontraterorisme yang efektif adalah dengan menghilangkan faktor yang melahirkan prakondisi dan meminimalkan situasi yang menjadi katalisator munculnya tindakan teror. Oleh karenanya, diperlukan kehadiran negara sebagai welfare state yang mampu menumbuhkan kesejahteraan bagi rakyat.

Selain itu, perlunya akses keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Sumbatan-sumbatan saluran politik pun harus dibuka seluas-luasnya.
◄ Newer Post Older Post ►