Selasa, 11 September 2012

Drama Sinkronis Tragedi 11/9


Drama Sinkronis Tragedi 11/9
Achmad Fauzi ;  Aktivis Multikulturalisme, Alumnus UII Yogyakarta
KORAN TEMPO, 11 September 2012


Penghancuran dua gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001, yang merupakan simbol hegemoni kekuasaan Amerika (baca: Barat), hingga kini menjadi peringatan bagi negara-negara di dunia dalam melihat persoalan terorisme secara komprehensif berikut bahaya-bahayanya. Totalitas kajian mengenai terorisme bermakna penting mengingat, pasca-tragedi 11/9, muncul dua persoalan besar yang memerlukan kejernihan perspektif. 

Pertama, peristiwa 11/9 bukan merupakan realitas historis yang tunggal tentang terorisme di Amerika, melainkan mempunyai nilai hermeneutis dan sinkronis untuk menjelaskan gambaran umum teror sebagai problem universal negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Kedua, AS sebagai yang menguasai media berhasil menggiring opini publik dengan memposisikan Islam (sebagai peradaban) dan Barat secara berhadap-hadapan. Negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia, secara generalis didikte untuk memerangi kelompok fundamentalis yang diduga sebagai tempat bersemainya panji-panji teroris.

Pesantren-pesantren diintai, diawasi materi pelajarannya, diincar pengasuhnya, sehingga citra pesantren sebagai tempat menimba ilmu agama tak ubahnya dapur santri untuk belajar meracik bom. Islam dicitrakan sebagai agama yang melegalkan pembunuhan atas nama agama.

Sejak awal Samuel Phillips Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations (1993), telah melukiskan kemungkinan terjadinya benturan antara Barat dan Islam. Buku yang telah dibaca dengan kritis tersebut membuat banyak orang kesal dan geram. Bukan karena asumsi, susunan teori ilmiahnya, definisi, metodologi, dan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya. Buku itu tampak hadir di tengah dunia yang rumit ini seperti sebuah kutuk bagi semua orang di muka bumi. Menurut penuturan Huntington, benturan sivilisasi tidak dapat dihindari. Setelah perang dingin dan jatuhnya rezim komunis Rusia, pentas dunia akan segera diisi dengan benturan peradaban Barat dengan non-Barat. Ini berarti seluruh faktor esensial dunia, sendi-sendi kehidupan, dan hubungan antarbangsa, yakni peradaban, budaya, dan agama, akan dikerahkan dalam sebuah konfrontasi. 

Persoalannya bukan berani atau tidak berani melawan Barat. Tapi orang gampang mafhum jika benturan dua kutub kekuatan raksasa itu benar-benar terjadi.

Konteks Indonesia

Huntington boleh salah "ngomong" dan dianggap tidak memahami peta kekuatan dunia. Namun sialnya, suka atau tidak suka, sebagian atau beberapa bagian dari yang "disalah- omongkan" itu kini benar-benar terjadi. 

Tampaknya, dalam skala lebih kecil, tesis Huntington relevan jika disandingkan dengan gejala terorisme yang terjadi di Indonesia. Kebencian terhadap Amerika dan sekutunya mendorong segala yang "berbau" Barat menjadi sasaran penghancuran. Bahkan, dalam perkembangannya, kepolisian yang notabene gigih memberantas terorisme justru menjadi musuh yang harus diperangi. Penembakan sejumlah aparat kepolisian oleh sekelompok orang, termasuk di Solo beberapa waktu lalu, menjadi amsal untuk menguatkan argumentasi itu. Tak pelak kedigdayaan lembaga kepolisian sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat terdegradasi. Ketidakmampuan mempelajari skema dan pola-pola kekerasan serta menurunnya daya sensitivitas Polri membaca bahwa dirinya juga sedang menjadi target ancaman, menjadikan aksi pengeboman dan penembakan terus berulang. 

Karena itu, kita berharap masyarakat tidak melihat polisi secara apriori. Sebab, pandangan biner seperti itu akan merusak kontak serta komunikasi masyarakat dengan polisi yang selama ini berjalan cukup solid. Masyarakat dan Polri harus bersama-sama berkomitmen memberantas terorisme dengan dilandasi beberapa sikap. Pertama, kecakapan berpikir rasional, yakni suatu sikap yang menuntut seorang polisi dapat mengambil keputusan secara lebih rasional dan mempertimbangkan keselamatan masyarakat (bukan keselamatan pelaku teror) selaku subyek yang dipengaruhi keputusan. Apalagi, dalam teori hukum, keselamatan masyarakat menjadi hukum tertinggi (salus populi supremlex) daripada konstitusi. 

Acap kali kesungguhan polisi dalam memberantas terorisme digembosi isu pelanggaran HAM. Penangkapan pelaku teror yang melanggar prosedur hukum, serta minimnya perlindungan terhadap keluarga teroris, kerap dibenturkan dengan isu pelanggaran HAM. Selama ini polisilah yang disorot, sementara dampak tindakan radikal pelaku teror diabaikan. Sungguh polisi tidak ditempatkan dalam posisi yang proporsional. Menangkap teroris bukan seperti menangkap pelaku judi sabung ayam. Teroris sangat licin dan berbahaya. Terorisme tidak hanya berakar di Indonesia, tetapi juga menjadi masalah negara-negara di dunia. 

Johan Galtung (1988) mengatakan, kepentingan kelompok tertentu (baca: teroris) ada kalanya boleh dikorbankan demi menghindarkan bahaya yang lebih besar. Artinya, kekerasan fungsional terhadap teroris pada batas-batas tertentu dianggap perlu demi memutus urat nadi terorisme yang membahayakan. 

Kedua, kecakapan sosial. Kecakapan ini dapat terwujud manakala polisi bersedia bertukar pikiran dan mendengarkan masukan dari masyarakat. Tujuan kecakapan sosial untuk mengurangi kesalahpahaman serta menambah informasi yang berkembang dalam masyarakat. Untuk memerangi terorisme dibutuhkan peran masyarakat dalam segala hal. Masyarakat bisa dijadikan informan yang akurat, sehingga polisi tidak salah tangkap. Kecakapan sosial dapat ditunjang oleh kecakapan vokasional. Kecakapan ini untuk mempermudah polisi beradaptasi dengan kondisi sesulit apa pun.

Pendangkalan Agama

Masalah terorisme juga erat kaitannya dengan pendangkalan pemahaman agama. Paradigma jihad dalam agama selalu final di genangan darah kekerasan. Orang dianggap halal untuk dibunuh manakala memiliki pemahaman berbeda. Pemaknaan yang simplistis ini, jika tidak dicerahkan, akan melahirkan kekerasan dalam agama. Di sinilah tugas tokoh agama untuk memberikan pemahaman yang benar tentang pesan profetis agama. Seruan tokoh agama amat penting karena tidak ada satu pun legitimasi doktrin dalam agama yang membenarkan tindak kekerasan. Agama sejak kelahirannya telah membawa misi kedamaian. Teks-teks suci tidak pernah mengenal dan melegalkan kekerasan. Bagaimana mungkin ada jalan terang menuju surga yang ditempuh dengan cara keji dan biadab. 

Tugas pokok tokoh agama adalah mewartakan kepada pemeluknya agar pemahaman jihad dalam agama tidak dibajak oleh arogansi kelompok teroris. Pesantren sebagai basis pendidikan agama selayaknya menjadi pelopor lahirnya teologi inklusif, bukan sebagai tempat bersemainya radikalisme, eksklusivisme, yang menafsir jihad dalam kacamata kekerasan belaka dan menutup diri dari budaya luar.
◄ Newer Post Older Post ►