Sabtu, 15 September 2012

Nasionalisme Kuda Lumping

Nasionalisme Kuda Lumping
Arswendo Atmowiloto ;  Budayawan
SINDO, 15 September 2012


Ternyata bukan hanya Malaysia yang bisa membangkitkan kecintaan dan gairah pada kesenian tradisi yang kita miliki, melainkan juga seorang gubernur Jawa Tengah. 
Namanya Bibit Waluyo—nama yang khas Jawa, sehingga aneh banget kalau tak mengenal jaran kepang, nama lokal kuda lumping— yang kurang lebih menyebutkan bahwa tari kuda lumping atau jathilanadalah tari terjelek sedunia. Kalau kemudian diralat kritiknya lebih pada busana atau pertunjukan, tak mengurangi kekagetan kita bahwa bahkan para pejabat pun tak mengerti kekayaan budaya dan tradisi yang diwarisi secara cuma-cuma.

Kedaulatan Rakyat 

Tari kuda lumping adalah bentuk kesenian rakyat yang bisa dirunut kehadirannya sejak masa perlawanan Pangeran Diponegoro, atau bahkan berdirinya Keraton Demak. Dengan menyebut kesenian rakyat itu untuk membedakannya dengan tari atau jenis tari yang berkembang dan dipatroni oleh keraton. Artinya para empu pencipta tari tersebut berorientasi pada masyarakat. Tidak berarti tidak mengenal antawacana, narasi yang ada dalam tata nilai keraton.

Dalam pertunjukannya kuda lumping mempunyai tata cara beberapa bagian—dari tari Buta Lawas, Sentemere, sampai dengan tarian putri. Dengan kata lain, bukan asal bergerak karena memiliki pakem,induk atau babon sebuah pertunjukkan. Pilihan kuda kepang— bentuk kuda dari anyaman bambu yang diwarnai khas rakyat yang kontras untuk menandingi pasukan kavaleri Belanda. Kesaktian yang ditunjukkan para pemain dengan memakan beling—kaca atau gelas, biasanya bohlam—atau tersabet dengan pecut secara keras adalah perlawanan tanpa gentar akan senjata musuh.

Kegagahan tanpa gemetar ini pula yang juga mewarnai dasar gerakan tari reyog dari Ponorogo, untuk daerah Jawa Timur. Pada reyog kedaulatan rakyat menemukan bentuk yang menolak diseragamkan. Lagu-lagu pengiringnya pun dimulai dengan memuja Yang Mahatinggi, disertai harapan dan tindakan memberantas keangkaramurkaan. Secara budaya perlawanan ini bisa tertuju pada kekuasaan keraton, atau penjajah Belanda, atau segala sesuatu yang tidak adil.

Bukan kebetulan tarian jenis ini berkembang di wilayah Magelang atau sekitar gunung Merapi dan Merbabu. Di daerah-daerah yang sebagian masyarakatnya merayakan tahun baru Jawa pada tanggal 1 Suro—yang dirayakan di Kesultanan Yogya dan Kasunanan Solo, pada tanggal 15. Inilah perlawanan budaya, yang mengibarkan kedaulatannya tanpa menghilangkan kedaulatan yang lain.

Saya pernah membuat dokumentasi tarian ini di daerahnya dan menemukan lebih dari 50 varian tari jaran dor—nama lain karena bunyi pecut. Baik yang masih orisinal, maupun dengan tambahan tokoh-tokoh lain atau atraksi sama kerasnya dengan mengunyah kaca. Itulah dinamika kreatif kerakyatan yang masih terjaga dan mungkin membuat para penari makan hotdog, piza, atau hamburger atau minum soft drink sebagai pengganti.

Kedaulatan Seni 

Salah satu ucapan Bibit yang menyakitkan dirinya karena ketidaktahuannya adalah bahwa jathilan merupakan seni terjelek di dunia. Entah bagaimana membandingkan atau mengukur, tapi dalam dunia kesenian tak ada cap terbaik atau terburuk. Tidak ada pengertian dangdut lebih baik dari musik klasik atau pop atau jazz, dan sebaliknya.Tak ada pengertian lukisan Basuki Abdullah yang terbaik dan bukan Affandi atau Agus Suwage.

Atau wayang kulit terbaik dibandingkan wayang orang. Seni, dalam bentuk ekspresinya, memiliki kedaulatan nya sendiri dan tidak saling mengenyahkan satu atas lain. Jalan Budaya—istilah yang saya gunakan untuk pendekatan melalui unsur-unsur budaya— justru berawal dari mengada tanpa meniadakan yang lain. Hadir tanpa membuat bentuk lain ngacir. Ungkapan populernya, menang tanpa ngasorake, memperoleh kemenangan tanpa merendahkan. Tata nilai dan tata krama inilah yang membentuk dan mendasari sikap budaya.

Cara masyarakat berinteraksi,menemukan dinamika dengan keadaan keseharian. Karya seni tidak lahir dari ruang hampa. Ada alasan yang mendasari dan membentuk terciptanya sebuah tari yang menggunakan anyaman bambu atau berada dalam keadaan trance dan segera sadar kembali, antara membeli tiket dan menyandarkan dari uang saweran. Justru dinamika ini yang membuat kesenian tak pernah berhenti atau mati.

Selalu ada ciptaan baru, kreasi baru,yang bermodalkan suasana batin, juga keadaan lahiriah.Karenanya nguri-uri, mencintai dan mengembangkan, adalah cara terbaik, bukan sebaliknya denganmenjelekkanke titiknadir. Dan sesungguhnyalah, dengan mencintai, dengan merasa bangga akan warisan budaya kita, akan berada dan melalui pendekatan ke arah mencintai negeri sendiri. Nasionalisme inilah yang tak seharusnya dinyatakan salah, atau dicuri bangsa lain.


◄ Newer Post Older Post ►