Sabtu, 15 September 2012

Mewaspadai Perubahan Aksi Terorisme


Mewaspadai Perubahan Aksi Terorisme
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINDO, 15 September 2012


Sejumlah pengamat menilai teroris di negeri ini sedikit mengubah pola gerakannya. Jika sebelumnya mengebom gereja dan melakukan aksi bom bunuh diri dengan sasaran kepentingan asing seperti kantor duta besar atau hotel yang menimbulkan koban jiwa yang tidak bersalah, dua tahun terakhir justru kepolisian yang jadi target. 

Setidaknya berawal tahun 2010, tiga personel polisi yang sedang berjaga di Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, tewas diberondong tembakan teroris.Tahun 2011, giliran Masjid Polresta Cirebon diguncang bom bunuh diri sesaat selelum salat Jumat. Pada bulan Agustus tahun ini, tiga aksi teror mengguncang Kota Solo,Jawa Tengah, dan lagi-lagi komunitas kepolisian yang jadi sasaran.

Dimulai 17 Agustus 2012, dua orang berboncengan sepeda motor menembaki dua personel polisi yang sedang bertugas di Pos Pengamanan Lemabaran. Dua hari kemudian, Pos Pengamanan Gladag dilempari granat meski tidak meledak sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Saat terduga teroris yang sudah diendus Densus 88/Antiteror akan ditangkap, mereka melakukan perlawanan yang menyebabkan satu anggota Densus 88 meninggal, tetapi dua orang yang diduga teroris berhasil ditembak mati.

Kenapa Polisi? 

Tentu ada yang bertanya, kenapa polisi yang jadi sasaran? Secara logika bisa dijawab karena polisi dianggap selalu menghalangi aksi mereka.Tapi begitulah risiko bagi polisi yang diperintahkan Pasal 30 (4) UUD 1945 sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Upaya pencegahan dan penangkapan terduga teroris selain melindungi masyarakat dari ancaman teroris, juga bagian dari penegakan hukum yang nantinya berujung di pengadilan. Tapi polisi dan masyarakat tidak boleh terjebak pada perubahan gerakan teroris. Boleh jadi selain membalas dendam pada polisi, juga bagian dari strategi untuk mengalihkan perhatian dari ide besar untuk kembali melakukan aksi bom bunuh diri.

Indikasinya dapat dikaji dari keterangan Muhammad Thorik saat menyerahkan diri di Pos Polisi Jembatan Lima, Jakarta Barat, bahwa dirinya dipersiapkan sebagai calon “pengantin” bom bunuh diri yang rencananya akan dilakukan pada 10 September 2012. Memang Thorik menyebut tiga dari empat sasaran masih ditujukan kepada komuitas kepolisian seperti Markas Korps Brimob Kelapa Dua Depok, pos polisi di Salemba Jakarta Pusat, dan Kantor Detasemen Khusus 88/Antiteror; tetapi sasaran terhadap komunitas masyarakat Buddha menunjukkan akan kembali pada pola sebelumnya.

Masyarakat Buddha dijadikan rencana target terkait isu Rohingya di Myanmar. Maka itu, Thorik bisa menjadi pintu masuk untuk membuka jaringan dari rangkaian teror Solo, terbakarnya racikan bom dalam di kawasan Tambora Jakarta Barat, serta meledaknya bom di sebuah yang menamakan diri Yayasan Anak Yatim di Depok, Jakarta Barat. Tidak menutup kemungkinan masih ada jaringan lain yang menyimpan rangkaian bom, apalagi saat tulisan ini dibuat masih ada dua orang buron yang diduga terkait dengan bom Depok belum tertangkap.

Berbagai keberhasilan polisi plus Densus 88 mengungkap aksi teroris dan jaringannya tentu patut diapresiasi. Densus 88 mampu mengurai modus operandi yang menjadikan polisi sebagai sasaran sejak tahun 2010 sehingga teror Solo bisa diungkap.Tapi kita harus tetap waspada, sebab pola aksi teroris bisa saja berubah sewaktu-waktu.

Apalagi aksi mereka tidak memiliki zona perang (strategi asymmetrical warfare) sehingga semua wilayah Indonesia dijadikan sasaran. Begitu luas wilayah negara yang harus diamati sehingga untuk mempersempit aksi teroris bukan hanya tugas dan tanggung jawab polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tetapi tugas semua komponen bangsa.

Kegagalan Pencegahan 

Setidaknya ada dua aspek yang perlu lebih diseriusi. Pertama, upaya pencegahan melalui deradikalisasi yang sebetulnya menjadi salah satu tugas BNPT. Program deradikalisasi yang dimulai tahun lalu belum berhasil lantaran tidak dilakukan secara komprehensif. Deradikalisasi yang bertujuan memberikan penyuluhan bekerja sama dengan perguruan tinggi, madrasah, pesantren, majelis taklim, dan ormas-ormas Islam masih jauh dari harapan.

Pentingnya deradikalisasi karena pemahaman aksi teror yang didasari jihad tidak tunduk pada ketentuan perang. Mereka sering menyebut dirinya pejuang pembebasan, militan, atau mujahidin meski makna sebenarnya dari mujahidin dan jihad seharusnya tidak dengan tindakan kekerasan di luar zona perang. Upaya deradikalisasi bagi pelaku teror yang tertangkap seharusnya dimulai dalam tahanan dan berlanjut setelah bebas.

Mereka butuh pendampingan dari ulama karismatik, para ustad populer yang sering berceramah di televisi, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM yang dikoordinasi BNPT. Bagi mereka yang berpotensi berpaham radikal didekati dengan bijaksana sebelum telanjur menafsirkan keliru makna jihad. Termasuk menjaga makna jihad dari kemungkinan rekayasa dari kekuatan asing untuk mengadu-domba umat Islam.

Terorisme dan radikalisme sebagai sebuah ideologi akan lebih efektif jika dilawan dengan ideologi tentang pentingnya kebersamaan dalam NKRI disertai penegakan hukum yang tegas. Kedua, meningkatkan kepedulian negara terhadap ketidakadilan hukum, kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial.Kepedulian negara harus menjadi prioritas jika ingin melemahkan ideologi teroris. Mengembalikan wibawa negara dari ancaman laten teroris yang tidak kasatmata tidak boleh hanya dengan sikap prihatin.

Setidaknya harus berani dan mau melakukan introspeksi terhadap semua kebijakan negara yang tidak memihak rakyat secara luas. Teroris akan selalu eksis jika tidak ada kesepahaman perlunya meredam potensi yang mendorong seseorang berideologi teror. Ketiga, masih lemahnya institusi aparat intelijen dan usernya mendeteksi secara dini potensi teror, kemudian mengantisipasinya sebelum direalisasi. Bom Tambora di rumah Thorik dan bom Depok selain mengonfirmasi kegagalan proyek deradikalisasi, juga mengindikasikan lemahnya ketangkasan aparat memutus jaringan teroris.

Wajar jika ada yang rindu pada kemampuan fungsi intelijen teritorial (Babinsa) di masa Orde Baru. Saat itu, apa pun yang terjadi dalam masyarakat yang berpotensi mengancam persatuan dan NKRI bisa dengan cepat diendus.Tapi kita tidak ingin menengok ke belakang lantaran di sisi lain membungkam hak demokrasi dan pelanggaran HAM.

Yang kita damba adalah kemampuan dan efektivitas deteksi dini terhadap ancaman laten terorisme. Mestinya intelijen saat ini lebih canggih lantaran didukung perangkat teknologi komunikasi dan informasi yang canggih jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Sebab, kelalaian melindungi dan memberi rasa aman kepada rakyat tidak bisa dinafikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran konstitusi.

◄ Newer Post Older Post ►