Senin, 10 September 2012

Menyambut ASEAN Newspaper Printers Conference 2012


Menyambut ASEAN Newspaper Printers
Conference 2012
Mursyid Burhanuddin ;  Steering Committee ANP Conference 2011,
Wakil Direktur Percetakan Grup Media
JAWA POS, 10 September 2012


HARI ini konferensi ASEAN Newspaper Printers (ANP) dimulai di Kuala Lumpur, Malaysia. Kali ini giliran The New Straits Time Press menjadi tuan rumah event tahunan itu. Tahun lalu, Temprina (Jawa Pos Group) tidak saja sukses sebagai tuan rumah, tapi juga menjadi inspirator bagaimana seharusnya acara lintas negara tersebut diselenggarakan.

Setiap perhelatan ANP selalu menarik minat para produsen peranti cetak dari seluruh dunia. Sebut saja Manroland SEA, produsen mesin cetak yang produknya banyak digunakan untuk mencetak koran. Begitu juga, produsen peranti cetak dari Jerman, Jepang, Inggris, Swiss, Italia, India, dan Tiongkok dipastikan hadir. Pada 10-12 September, para anggota ANP dari 10 negara ASEAN dan 26 negara lainnya akan berbagi pengetahuan serta pengalaman.

Ekspektasi yang tinggi hadir dan tecermin dari tema konferensi: Renewing Print-The Future Is in Our Hand. Tema itu mengisyaratkan bahwa pelaku bisnis percetakan benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi dan siap menyambut tantangan baru. Itu juga mengindikasikan bahwa percetakan berbasis koran memiliki akar kuat dan masa depan yang cerah, setidaknya sampai satu dasawarsa ke depan. 

Memang ada nuansa kegelisahan dari beberapa anggota. Kegelisahan itu justru berasal dari percetakan koran ''independen''. Yaitu, percetakan yang lahir dari penerbit koran, lalu tumbuh menjadi percetakan besar dan mandiri. Dengan kapasitas mesin cetak nan besar, mereka mengeluh mesin cetaknya kerap menganggur (idle capacity). Mereka seolah tahunya hanya ''makanan tetap'' mencetak koran dan cetak komersial (nonkoran) tak kunjung bisa mengisi jamnganggur tersebut. Karena itu, mereka gelisah ketika tiras koran kian tergerus dari waktu ke waktu. 

Lantas, apakah kegiatan cetak koran tak bisa diandalkan lagi? Heran, mengapa masih saja ada yang meragukan ''kesaktian koran''? Bukankah ia telah bertahan ratusan tahun? Bukankah tahun ini konsumsi kertas merangkak naik melebihi pertumbuhan ekonomi nasional?

Saya justru khawatir pelaku print media ikut-ikutan menggerogoti kehebatan koran. Mereka bukannya fokus memperbaiki konten, perwajahan, dan meremajakan pembaca, tapi berlomba-lomba mempercantik edisi online. Kondisi itulah yang pernah dikhawatirkan Dahlan Iskan. Yakni, kurang lebih mereka ''membunuh diri sendiri''.

Koran di Amerika dan Eropa memang memasuki fase sunset industry. Namun, koran di Asia Pasifik sebaliknya. Menurut Azrul Ananda, Dirut Jawa Pos Koran, umur koran masih panjang, masih punya masa depan, bahkan trennya naik. Data menunjukkan, pebisnis koran kian bertambah. Di Asia Pasifik, pertumbuhan koran mulai 2005 mencapai 19,8 persen. Pada 2009, saat resesi global pun, koran tetap tumbuh 2,6 persen. 

Reinventing Percetakan 

Tak berlebihan bila Eric Newton mengatakan: Newspaper can't improve print product without establishing a culture of continuous change in their newsroom.Itulah pendapat objektif penasihat senior presiden Knight Foundation. Meski telah lanjut usia, ia merupakan salah satu pelopor media online. 

Karena itu, percetakan harus siap berubah seperti halnya koran dan media online. Sebagai presiden ANP yang juga CEO BUMN percetakan di Singapura, Anthony Chang semestinya bisa mengoptimalkan perannya. ANP tak semestinya berada di belakang saat persaingan antarmedia berlangsung. Jangan pula dia ikut-ikutan mempromosikan media online di front office agenda kerjanya. Pendeknya, ANP mesti membela koran dengan sepenuh hati dan melakukan reinventing. 

Ada tiga agenda reinventing yang bisa dilakukan. 

Pertama, percetakan harus benar-benar menjadi sparring partner koran. Karena itu, percetakan tidak saja harus melayani koran sesuai tuntutan inovasi (secara customized), tapi juga harus adaptif dan fleksibel. Misalnya, ketika halaman depan koran menjadi iklan satu halaman penuh dan menambah lipatan kertas di halaman depan, percetakan tak boleh mengelak. Mereka mesti bisa menjawab tantangan tersebut dengan memperkuat detail cetaknya.

Kedua, percetakan mesti tanggap terhadap kesulitan koran. Tak dimungkiri, masih banyak koran yang tirasnya tak beranjak dari angka kutukan 5.000 eksemplar. Pada posisi demikian, percetakan harus bersikap empati dan mencari jalan keluar. Lalu, apakah percetakan harus membeli mesin-mesin digital printer agar bisa memberikan harga efisien? Bukankah mesin seperti itu masih sangat mahal? Apakah itu layak? 

Bukan begitu. Saya terinspirasi kegigihan percetakan daerah. Mereka melakukan retrofit dan makeover. Retrofit adalah perbaikan kembali mesin yang sudah rusak agar bisa digunakan kembali. Sementara itu, makeover bertujuan meningkatkan performa mesin. Cara seperti itu tepat daripada membeli digital printeryang harganya selangit. 

Ketiga, industri percetakan harus memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Tiba-tiba, ingatan saya tertuju pada Lim Thiam Bon dan Vicky Chow. Keduanya adalah pemrasaran konferensi ANP di Surabaya, yang menyajikan topik ''Who dun it?''. Mereka menceritakan bagaimana teknologi cetak mampu mengungkap aksi kejahatan. Hanya melalui barang bukti sobekan koran, pelaku kejahatan itu akhirnya berhasil diringkus. Saya yakin penemuan-penemuan seperti itu bermanfaat bagi masyarakat. Pada saatnya, percetakan tidak hanya telah membela koran. Tapi, kehadirannya kian lekat di hati masyarakat.
◄ Newer Post Older Post ►