Defisit Perdagangan dan Daya Saing Ekonomi
A Prasetyantoko ; Ekonom; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta |
KOMPAS, 10 September 2012
Setidaknya, tekanan pada neraca pembayaran mulai berkurang seiring dengan menurunnya defisit perdagangan pada Juli lalu. Jika defisit perdagangan Juni mencapai 1,32 miliar dollar AS, pada Juli turun menjadi sebesar 175,5 juta dollar AS. Namun, apakah perekonomian kita dalam jangka panjang benar-benar akan terbebas dari risiko ketidakseimbangan eksternal?
Pada sisi lain, perekonomian kita mengalami penurunan daya saing global. Survei Forum Ekonomi Dunia yang baru saja dirilis menunjukkan indeks daya saing global (global competitiveness index) Indonesia turun dari peringkat ke-46 (2011-2012) menjadi ke-50 (2012-2013). Penyebabnya, buruknya ”variabel pokok” daya saing, seperti korupsi dan penyogokan, perilaku tidak etis dunia usaha, serta biaya yang muncul akibat kejahatan dan kekerasan.
Pada akhirnya, stabilitas ekonomi makro tidak pernah bisa berdiri sendiri, tetapi harus ditopang oleh faktor institusional yang saling terkait satu sama lain. Di situlah letak kelemahan utama perekonomian kita. Dengan demikian, meski dalam jangka pendek persoalan defisit neraca pembayaran bisa diatasi, dalam jangka panjang belum tentu kita akan mampu mengatasi persoalan terkait dengan ketidakseimbangan eksternal.
Defisit neraca pembayaran memang membutuhkan respons moneter tertentu. Membiarkan rupiah melemah sekitar 5 persen sehingga nilainya melorot di atas Rp 9.500 per dollar AS tentu membantu menekan impor. Selain itu, mengerem laju kredit di beberapa sektor, seperti sepeda motor, juga akan meredam potensi defisit, mengingat sebagian komponen sepeda motor masih impor.
Neraca pembayaran kita juga sangat terbebani dengan peningkatan harga sekaligus lonjakan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Selain memberikan tekanan pada neraca pembayaran, naiknya harga dan volume BBM berkorelasi dengan peningkatan besaran subsidi sehingga menambah beban fiskal. Jika dibiarkan terus dalam jangka panjang, bisa menimbulkan defisit ganda (twin deficits) yang membahayakan, yaitu defisit neraca pembayaran dan defisit fiskal.
Meski fokus pada kebijakan moneter dan fiskal harus dilakukan, sebenarnya kerangka kebijakan harus diperluas. Masalah utama perekonomian kita sejatinya adalah rendahnya produktivitas dan lemahnya daya saing sehingga kerangka kebijakan industrial sangat mendesak diterapkan.
Krisis di negara-negara maju, khususnya kawasan Eropa, menunjukkan betapa kebijakan fiskal-moneter memiliki keterbatasan di tengah buruknya produktivitas dan daya saing. Kebijakan industrial justru sangat diperlukan saat ini guna menghidupkan kembali kemampuan ekonomi mereka menghasilkan barang dan jasa serta bersaing di pasar global. Dengan demikian, neraca perdagangan menjadi salah satu indikator penting untuk mengukur kinerja perekonomian mereka.
Meski situasinya sama sekali berbeda, terutama karena indikator stabilitas makro tergolong sangat baik, sejatinya perekonomian Indonesia menghadapi persoalan yang kurang lebih sama, yaitu rendahnya produktivitas dan daya saing. Meski nilai ekspor Indonesia pada Juli naik 4,6 persen terhadap Juni, nilai ekspor masih tetap turun 7,27 persen apabila dibandingkan dengan Juli tahun lalu (year-on-year). Meski impor Juli turun 2,39 persen terhadap bulan lalu, apabila dibandingkan dengan Juli 2011, impor masih tetap naik 0,73 persen.
Jika dilihat pada periode Januari-Juli 2012, ekspor tetap membubuhkan penurunan sebesar 2,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2011. Sementara nilai impor naik 13,02 persen dalam periode tersebut. Penurunan ekspor terbesar (3,56 persen) dialami oleh ekspor hasil industri. Sebaliknya, selama Januari-Juli 2012, impor golongan barang mesin dan peralatan mekanik mengalami lonjakan 25,55 persen.
Memang kenaikan impor bahan baku membutuhkan jeda waktu (time lag) selama paling tidak tiga bulan hingga enam bulan untuk mampu mendorong ekspor. Namun, hal tersebut bisa terjadi jika sebagian besar aktivitas industri tersebut berorientasi ekspor. Sayangnya, ada indikasi lebih dari 70 persen industri berbahan baku impor itu ternyata berorientasi untuk melayani permintaan domestik.
Situasi ini agak mudah dipahami. Untuk apa penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) masuk ke Indonesia dengan daya saing rendah jika tidak untuk memanfaatkan potensi pasarnya yang begitu besar. Dengan demikian, cara kita mengatasi defisit pembayaran dengan cara menggenjot neraca modal, terutama menarik FDI paling tidak mengandung dua dilema pokok. Pertama, peningkatan FDI justru memperbesar arus impor bahan baku dan korelasinya terhadap peningkatan ekspor relatif rendah. Kedua, peningkatan FDI juga menambah beban pada neraca jasa, baik karena peningkatan komponen gaji ekspatriat maupun repatriasi modal dari hasil usaha mereka di Indonesia.
Isu daya saing merupakan jantung perekonomian kita. Tanpa upaya ekstra keras mengatasi persoalan tersebut, agak sulit melihat kesuksesan ekonomi kita dalam perspektif panjang. Sebagaimana ditunjukkan dalam Global Competitiveness Report 2012-2013, kekuatan ekonomi kita bertumpu pada dua hal pokok: market size dan lingkungan ekonomi makro.
Sementara itu, tiga masalah utama masih tak berubah dari tahun ke tahun, yaitu tingginya korupsi, birokrasi yang tidak efisien, dan rendahnya ketersediaan infrastruktur. Boleh dibilang, dalam hal daya saing, kita mengalami stagnasi, sementara perubahan drastis terjadi pada lingkungan makroekonomi. Selain karena efek faktor global, keberhasilan mengelola lingkungan makro juga sangat ditentukan oleh poros kebijakan fiskal-moneter.
Adapun faktor-faktor institusional jangka panjang tak mengalami perubahan berarti.
Jika pengelolaan perekonomian masih terus bertumpu pada manajemen makroekonomi dengan mengandalkan kebijakan fiskal-moneter semata tanpa menyentuh faktor institusional, situasinya tak akan berubah dalam jangka panjang. Kunci kita sekarang ini justru terletak pada kemampuan kita melakukan transformasi institusional, terkait faktor-faktor jangka panjang dari produktivitas dan daya saing perekonomian.
Justru kelebihannya, kita tidak sedang punya beban yang terlalu berat dalam hal fiskal dan moneter, sebagaimana terjadi di negara-negara maju. Inilah saatnya membangun produktivitas dan daya saing perekonomian domestik dalam jangka panjang melalui kebijakan industrial yang solid. ●