Senin, 10 September 2012

10 September, Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia

10 September, Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia
Nalini Muchdi ;  Psikiater di RSU dr Sutomo - FK Unair dan member of International Association of Suicide Prevention (IASP) 
JAWA POS, 10 September 2012


BLAM! Seminggu terakhir kita disodori kembali kabar ledakan bom. Apakah itu bom umumnya atau bom bunuh diri, sama saja. Kendati lama-lama kita menjadi kebas, tetap saja ada kegundahan menyelinap di benak. Sementara kita sisihkan dulu urusan politik.

Teror memang bisa memakan korban siapa saja, kelompok yang dituju atau bahkan segerombol orang yang tidak tahu-menahu. Teror memang cuek. Semakin membuat masyarakat takut, mereka merasa lebih berhasil. Siapa pun pelakunya. Tapi, kenapa pelakunya, bukan ''otak pelaku''-nya, selalu remaja?

Di sisi lain, korban-korban bunuh diri individual lain berjatuhan secara merata. Mereka memilih mengucapkan selamat tinggal kepada dunia nan gempita. Tak pandang usia, orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak pun terkena virus keputusasaan. Mati menjadi pilihan memiriskan. Tren seluruh dunia yang layak direnungkan dan dicegah. Ada apa dunia? 

Perilaku bunuh diri bukanlah sesederhana ini: ''Oooh, mereka itu kan orang yang tak mempunyai pegangan agama yang kuat!'' Begitu komentar bila ada peristiwa bunuh diri. Jadilah, ketika ada sanak atau sahabat yang mengeluhkan rasa putus asa menghadapi masalah yang sedang membelit, mereka justru lebih merespons dengan pendekatan yang gebyah uyah: agama dan nilai personal. Apa pun agamanya. 

Penelitian Kazim dan kawan-kawan dari Aga Khan University, Pakistan, pada para pelaku bom bunuh diri di Pakistan yang hampir semua justru adalah orang-orang yang sangat religius sekaligus percaya kepada konsep politik agama. Mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa bila mati akan mendapat reward yang luar biasa di kehidupan lain. Konsep tersebut hampir serupa dengan keyakinan orang Jepang saat Perang Dunia II tentang kesetiaan kepada kaisar. Imbalan besar di kehidupan yang lebih tinggi (akhirat) tentu mempunyai daya pikat lebih maut lagi. 

Di Indonesia, bom-bom digenggam dan diledakkan oleh anak-anak muda naif. Para pelaku kebanyakan mempunyai profil dan target tertentu, tersingkir dari teman sebaya, tertutup atau pemalu, citra-diri yang ambruk lantaran tak mendapat pengakuan dalam persaingan riil, dan jauh dari pelukan kasih sayang orang tua, masyarakat, serta pemerintah. 

Tak mengherankan, anak-anak muda yang pada dasarnya sedang bermuram durja itu jatuh dalam pelukan mentor senior yang berhati hitam dan mempunyai rencana atau dendam politik kelam. Mereka, anak-anak muda, itu seharusnya kita rangkul dengan aktivitas yang positif dan difasilitasi untuk menjadi manusia yang mampu bahagia secara sehat. Mereka mestinya diajak berani hidup. 

Tekanan Sosial Memberat 

Perilaku bunuh diri memang fenomena manusia yang amat ekstrem kompleksnya. Teori baru terus berkembang, namun lebih penting lagi adalah bagaimana mencegahnya.

Perilaku bunuh diri memang didasari adanya potensi biologis yang lantas dikompori oleh mekanisme dasar dari perilaku, kehidupan mental-emosional, makna budaya, serta yang paling dahsyat saat ini adalah lingkungan dan masalah deteriorasi sosial. Perilaku yang merupakan komplikasi paling serius dari gangguan-gangguan psikiatrik, dan memang sebagian besar korban mempunyai latar belakang masalah mental, termasuk para pelaku bom bunuh diri. 

Tak ayal, konsep kesehatan mental yang masih samar laiknya bulan tertutup awan menyulitkan pencegahannya. Penanganannya pun segmental. Lebih dari sejuta orang tewas tiap tahunnya dan puluhan juta orang terkapar mencoba bunuh diri. Gangguan itu menjadi ancaman dunia serta menjadi faktor terdepan penyebab kematian remaja dan orang muda. Namun, penanganannya hingga kini masih sangat tidak sesuai dengan tantangan global. Lagi pula banyak negara yang tidak melaporkan jumlah persisnya akibat adanya stigma, tautan nilai agama, dan perilaku sosial.

Tekanan ekonomi global yang dampaknya memengaruhi sistem keluarga dan masyarakat. Di titik terberat, bukan hanya menyengsarakan orang dewasa. Tak mengherankan, perilaku bunuh diri ini diam-diam menyusup ke benak polos anak-anak. Komunikasi yang efektif dan empatik menjadi barang amat langka dalam keluarga, kohesi sosial melonggar lantaran semua orang sibuk tergencet persaingan ketat. 

Kegelisahan global yang ditimbulkan bunuh diri membuat World Health Organization (WHO)harus mendeklarasikan sebagai antisipasi bahaya yang sudah di depan mata. Krisis ekonomi global yang mencekik masyarakat, persaingan tidak sehat, serta ketidakadilan yang mengoyak nurani memicu depresi masal yang indikatornya sangat mencolok mata saat ini. Faktor tersebut dituding sebagai pemicu yang memuntahkan lahar panas ke seluruh penjuru dunia. 

Banyak langkah pencegahan bisa dilakukan. Yakni, mengidentifikasi kelompok individu yang mempunyai risiko tinggi, mengumpulkan data yang akurat tentang percobaan bunuh diri, serta menangani mereka dengan serius, mengusahakan intervensi untuk individu dengan potensi perilaku bunuh diri, dan dukungan bagi kelompok rentan. Tak kalah penting, meningkatkan kohesi sosial serta mengasah kemampuan berempati di masyarakat. Menjadi tetangga yang baik dan tak gampang mencerca bisa mengurangi tekanan psikis seseorang. 

Mari duduk bersama untuk menyamakan persepsi agar tak banyak kehidupan maupun kematian menjadi sia-sia. Kendati seorang filsuf mengatakan: There is no death, only a change of worlds. Tak ada kematian, tapi hanyalah perubahan dunia. Namun, perubahan dunia macam apa yang diinginkan dengan bunuh diri?

◄ Newer Post Older Post ►