Rabu, 12 September 2012

Kisah Cinta Negeri dalam Lagu

Kisah Cinta Negeri dalam Lagu
Mudji Sutrisno ;  Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 11 September 2012


Ketika lagu “Padamu Negeri” ditulis Kusbini lalu diwariskan sebagai lagu perjuangan, kisah cerita seperti apakah yang diwariskan ke kita? Menatap lirik-liriknya dan getar nada sentuhannya memuncak pada baris syair: “bagimu negeri jiwa raga kami!”.
Saya teringat saat lagu Kusbini ini dikisahkan saat diciptakan dan dijelaskan suasana zaman perjuangan yang tidak menghitung-hitung hidup atau mati, serta darah tumpah atau bisa terus bernapas.

Untuk telinga anak-anak dan hati anak, kisah pak guru sekolah rakyat itu terus berngiang dan menyatu ke hati manakala di kegiatan pramuka, lagu yang sama dinyanyikan kembali di saat upacara, saat berkemah.

Ada nuansa baru berkat kecerdikan pembina pramuka untuk secara “halus” memasukkan tafsir makna bakti berbakti, bukan dalam tema besar bangsa, tetapi nyata dalam tema kecil sederhana untuk belajar mencintai Tanah Air dengan berkemah di ladang jagung dan mengembus angin gunung yang sejuk.

Lalu masak-memasak dari buah tanah dan air gunung dalam semangat janji pramuka sahaja namun nyata makna cinta negeri.

Ketika Franky Sahilatua mencipta lagu renung keprihatinannya mengenai negeri yang bagai perahu diharapkan tidak retak di jalan dalam lagu “Perahu Retak”, narasi atau kisah cinta negeri mana yang ditorehkan dalam nada dan syair-syairnya?

Perahu adalah metafora perjalanan bangsa majemuk ini yang seperti perahu Nabi Nuh dihuni keragaman penyusun keindonesiaan dengan karakter dan watak beragam, yang diharapkan untuk saling tulus, jujur, peduli mencintai dalam saling hormat demi tujuan perjalanan bangsa ini, yaitu masyarakat adil, sejahtera, dan rukun. Maka ketika korupsi dan intoleransi penuh kekerasan menggejala, di sana lagu itu bersyair: ….
perahu negeriku
jangan retak dindingmu

tanah pertiwi anugerah Ilahi
jangan makan sendiri!

aku heran satu kenyang
seribu kelaparan….

Syair-syair lagu “perahu retak” menyentuh nurani kita untuk sadari retak-retak kebersamaan bila tidak berbagi lagi. Sebuah cinta negeri dalam ekspresi cintaku yang sama setelah lima dekade dari “Padamu Negeri”-nya Kusbini.

Tanah Air

Sepuluh tahun yang lalu tepat pada semangat zaman bangsa ini yang semakin loba dan tamak begitu tahu di bawah “tanah” dan di dasar “air” terhampar mineral, serta tambang-tambang batu bara, apa yang terjadi? Posisi rakyat petani dan nelayan menjadi “dipinggirkan”.

Dengan menggandeng tangan modal global serta makro ekonomi pasar, secara pelan dan pasti ekonomi rakyat berbasis tanah tani dan perikanan dikalahkan dan baru disadari lagi di zaman Gus Dur dengan didirikan Kementerian Kelautan. Namun sudah cukup terlambat karena politik ekonomi tidak memihak ke sana.

Buktinya, sekolah-sekolah tinggi pertanian dan institut universitasnya memusat di manakah? Berapa jumlahnya? Lalu sekolah-sekolah perikanan dan kelautan serta kenelayanan, berapa yang dimajukan?

Karena itulah lagu cinta negeri yang satir dan refleksif dicipta dalam semangat zaman dan memilukan namun menggedor tajam ke mana cinta negeri ini diwujudkan. Muncullah Iwan Fals dan kawan-kawan yang mengajak bernyanyi peduli cinta negeri dalam lagu “Di Bawah Tiang Bendera”. Lihatlah dan tengoklah baris-baris syair lagunya:

“kita adalah saudara
dari rahim ibu pertiwi
ditempa oleh gelombang
dibesarkan jaman
di bawah tiang bendera
dulu kita bisa bersama,
dari cerita yang ada
kita bisa saling percaya
yakin dalam melangkah
lewati badai sejarah
pada tanah yang sama kita berdiri
pada air yang sama kita berjanji
Indonesia Indonesia
karena darah yang sama yangan bertengkar
karena tulang yang sama usah berpencar”

Dari nada lagu-lagu cinta negeri, sebenarnya bisa dibaca suara rakyat, hati pedih nurani mereka yang mendamba penanggung jawab kemelaratan karena korupsi, kemiskinan karena jaminan kesehatan dan sosial, meski diusahakan dijembatani terus, serta beberapa gaji yang belum turun.

Kisah atau narasi cinta negeri yang menjadi roh cinta bangsa majemuk merupakan suasana doa ranah batin yang minta kita melanjutkannya dalam kreativitas lagu, film, tari, koreografi, novel, puisi, dan lainnya.

Mengapa keragaman cinta negeri dalam perjuangan anak-anak Belitung Laskar Pelangi menyentuh dan bergema terus pada kita sampai generasi muda? Lantaran ada “kisah’”yang dituliskan oleh Andrea Hirata lalu diopera-nyanyi musikkan oleh Riri Reza dan Mira Lesmana. Begitu pula serial Anak Seribu Pulau-nya Garin Nugroho dan juga Soegijo. Lalu pula Sang Pencerah, filmnya Hanung Bramantyo.

Akhirnya produksi film Hea Di Timur Matahari berkisah mengenai apa yang harus dibuat untuk Papua. Di film itu pula warisan lagu Franky Sahilatua “Aku Papua” menjadi himne yang dahsyat! Mari mencintai negeri ini dan bertanya ke kita masing-masing, “kisah cinta negeri macam manakah yang terus menjadi PR (pekerjaan rumah) kita agar Perahu Indonesia tidak retak?”

Salam merdeka jiwa!

◄ Newer Post Older Post ►