Rabu, 12 September 2012

Catatam Tragedi 11 September Menyemai Napas Perdamaian


Catatam Tragedi 11 September
Menyemai Napas Perdamaian
Muhammadun ;  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 11 September 2012


DI tengah gagap gempita terorisme yang terus menyeruak, kondisi kemanusiaan terbelah dalam ruas ideologi dan politik yang terus berbenturan. Semua mengklaim sebagai pemegang hak sendiri-sendiri sehingga mengabaikan kewajiban dan hak yang lain. Di samping itu, manusia sedang mengalami masa transformasi sosial dan kegelisahan psikologis yang luar biasa. Setiap hari, gambaran tentang peperangan, kemiskinan, bencana alam, dan terorisme disorotkan ke ruang-ruang tengah kita. Hidup terasa sesak dijejali berbagai krisis kemanusiaan yang terus berlangsung di hampir seluruh penjuru dan lorong dunia.

Di tengah kondisi demikian, ternyata agama yang selama ini memberikan ketenangan dan kedamaian juga ikut larut menjadi part of problem, bagian pokok problem krisis sosial. Doktrin agama dijadikan alat legitimasi untuk membaptis kemungkaran sosial. Tragedi-tragedi mengerikan semisal Auschwitz, Rwanda, Bosnia, dan World Trade Center, bom Bali, hancurnya Afghanistan dan Irak, dan konflik berdarah Israel-Palestina, merupakan epifani buruk yang menyingkapkan apa yang bisa terjadi ketika kepekaan terhadap kesucian setiap manusia lain telah musnah. Agama justru tampak pesimistis dan mencerminkan kekerasan dan keputusasaan zaman.

Franz Magnis Susino (2009) menjelaskan tragedi konflik sosial horizontal dewasa ini tidak lagi dianggap sebagai pertarungan politik biasa, tetapi sebagai peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan. Mereka sangat mencemaskan ancaman pemusnahan sehingga mereka membentengi identitas dengan membangkitkan kembali doktrin-doktrin dan praktikpraktik masa lampau. Mereka telah mengubah mitos agama menjadi logos, baik dengan menyatakan bahwa ajaran mereka secara ilmiah benar, atau mengubah mitologi mereka yang rumit menjadi satu ideologi yang efisien. Dengan demikian, dalam praktiknya mereka sering mengabaikan nilai-nilai tersuci dalam keimanan.

Amin Abdullah (2001) melihat model keberagamaan berdasarkan realitas tersebut masih terjebak dalam konsep fiqh oriented. Semuanya dihukumi hitam-putih, halal-haram, muslim-nonmuslim, dan stereotip diskriminatif lainnya. Itulah model beragama di tangan agamawan. Mereka fasih bicara agama, tetapi ‘gagal’ menemukan hikmah dan kebajikan dari agama.

Mereka hafal A sampai Z tentang agama, tetapi itu hanya menjadi logos, al-ilm, pengetahuan, yang tak merasuk ke jiwa. Kegagalan memahami agama itulah yang terus menyulut konflik horizontal tiada henti. Semua akan mengklaim agama mereka sebagai satu-satunya jalan kebenaran (truth), jalan keselamatan (salvation), jalan kebahagiaan (happiness), sementara agama lain sebaliknya.

Kalau demikian, di mana kita melangkahkan jalan keberagamaan kita di masa depan? Di sinilah pentingnya menyuarakan agama cinta, yakni model beragama masa depan yang paling strategis. Agama cinta lahir bukan dari dan untuk rahim agama tertentu. Agama cinta lahir untuk menebarkan misi suci (sacred mission) rahmatan lil'alamin berupa kebahagiaan, kedamaian, dan ketenteraman. Agama cinta tak lagi memandang batas-batas agama, suku, etnik, budaya, dan bangsa. Agama cinta menjelma payung terhadap semesta. Orang yang berteduh dalam payung cinta akan merasakan kehadiran-Nya sehingga kehidupannya tak lagi menampakkan kebencian dan kebengisan dengan yang lain. Konsep itulah yang disabdakan Nabi, “Tidaklah sempurna iman kamu sekalian sehingga mencintai saudaramu sebagaimana mencintai diri sendiri.”

Model itulah yang dipraktikkan dalam dakwah Nabi, baik di Mekah maupun di Madinah. Walaupun menjadi pemimpin tertinggi Madinah, beliau tidak pernah memaksakan Islam dan syariatnya kepada Yahudi dan Nasrani. Semuanya berteduh di bawah payung Nabi. Ketika orang musyrik yang sering melemparinya kotoran sakit, beliaulah bahkan orang pertama yang menjenguk musyrik tersebut. Ketika beliau menaklukkan Kota Mekah (fathu makkah), tak setetes pun darah mengalir, padahal sebelumnya mereka musuh besar Nabi.

Itulah yang kemudian dipraktikkan Khulafau al-Rasyidin. Siapa tak takjub melihat sang Khalifah Umar bin Khattab mengangkat beras dari baitulmal untuk diantarkan sendiri kepada rakyatnya yang sedang kelaparan. Spirit cinta Nabi itulah kemudian yang dipraktikkan para sufi agung seperti Rabiah Adawiyah, Abdul Qodir Jailany, dan Maulana Jalaluddin Rumi. Para sufi tersebut tidak hanya menebarkan kasih sayang terhadap sesama muslim, tetapi juga lintas agama. Dalam tariqoh-nya, Rumi tidak hanya dikelilingi murid-muridnya yang muslim, tetapi juga dari orang Yahudi dan Nasrani. Rumi pun tidak tak pernah memaksakan Islamnya kepada kaum ahli kitab.

Mereka melihat jalan menuju Tuhan tak perlu dibatasi dan disekat lembaga dan organisasi agama tertentu. Jalan menuju Tuhan adalah jalan menebarkan kasih sayang. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi langit dan bumi?

Simaklah yang dikatakan Ibnu Arabi, sufi agung abad ke-13, “Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk. Padang gembala rusa atau biara pendeta Kristen, dan kuil berhala, Kabah tempat peziarah, dan Kitab Taurat, dan Alquran. Aku mengikuti agama cinta; ke mana pun unta cinta membawaku, ke situlah agamaku dan keimananku.”
◄ Newer Post Older Post ►