Rabu, 12 September 2012

Prijanto, Foke, dan KPK


Prijanto, Foke, dan KPK
Tjipta Lesmana ;  Mantan Anggota Komisi Konstitusi
SINAR HARAPAN, 11 September 2012


Seorang wartawan, perempuan, bicara dengan suara lantang tentang sosok yang bernama Prijanto, Wakil Gubernur Jakarta. Ia mengaku sudah kenal Prijanto sejak yang bersangkutan berpangkat Kolonel TNI, sebelum ia menjabat Kepala Staf Garnisun Jakarta.

Wartawati ini kerap berdiskusi berdua saja dengan Prijanto. “Prijanto itu Jawa priyayi. Sejak kenal, saya tidak pernah sekalipun melihat Prijanto emosi,” kata dia memuji Prijanto. “Tapi hari ini baru pertama kali saya menyaksikan Prijanto marah!” Prijanto berusaha melempar senyum, namun senyum yang dipaksakan.

Pagi itu, Rabu, 5 September, Prijanto memang sempat naik darah ketika salah satu hadirin, juga perempuan, dalam peradilan “Mahkamah Intelektual” memberondong Prijanto dengan kata-kata keras dan lantang.

Intinya, dia menggugat mengapa Prijanto sebagai prajurit mengundurkan diri menghadapi berbagai permasalahan selaku Wakil Gubernur DKI. “Tentara pantang mundur dalam situasi apa pun! Bapak bisa dicap pengecut karena memilih mundur...”

Pagi itu, “Mahkamah Intelektual” menggelar sidang dengan agenda tunggal: meminta pertanggungjawaban Prijanto tentang isi bukunya berjudul Kenapa Saya Mundur. Buku ini sebetulnya laporan pertanggungjawabannya kepada Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta tentang pengunduran dirinya.

Namun, DPRD DKI tidak pernah menuntaskan masalah Prijanto. Artinya, Prijanto tidak pernah diberikan kesempatan seluasnya untuk membeberkan pertimbangan dan sebab-sebab dia mundur sebagai Wakil Gubernur DKI. Prijanto pun sampai hari, secara de jure, masih menjabat Wakil Gubernur Jakarta.

Oleh sebuah penerbit nasional, buku Prijanto yang semula tidak untuk konsumsi publik kemudian dicetak ulang, diperbaiki isinya di sana-sini, dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Isinya ternyata cukup dahsyat!

Berbagai kasus pelanggaran hukum dan etika, dugaan korupsi, dan penyelewengan yang merugikan keuangan negara dibeberkan cukup terang dalam buku tersebut. Sebut saja, jabatan Direktur Utama Pasar Jaya yang tidak didasarkan Surat Keputusan Gubernur yang definitif, pengangkatan Direktur Utama PAM Jaya yang menyalahi prosedur (pejabat yang diangkat sudah memasuki usia pensiun).

Menurut Prijanto, Pemerintah Daerah Jakarta dikelola dengan prinsip pertemanan, tidak berbasiskan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Ada lagi kasus tunjangan khusus senilai Rp 1 triliun yang ditengarai merugikan keuangan negara. Banyak di antara penerima tunjangan khusus yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria.

Tunjangan khusus sebesar satu bulan gaji diberikan kepada seorang pegawai karena jabatan dan pertimbangan memiliki keahlian langka, penugasan di daerah terpencil, mengandung risiko bagi kesehatan atau rawan terhadap risiko kejiwaan. Maka, Prijanto semula tidak mau paraf.

Fauzi marah. Ketika hal ini dijelaskan oleh Prijanto, Gubernur menjawab—seperti yang dikatakan Prijanto: “Pak Wagub tidak merasakan, mereka adalah teman-teman saya yang naik-turun tangga bersama-sama saya...” Hal itu terjadi pada Mei 2009.

Hal yang lebih serius adalah dugaan korupsi yang dituturkan dalam buku, yang kemudian dikuatkan oleh LSM bernama Smak Markus, juga oleh ICW. Bahkan Smak Markus pada Mei 2012 sudah menyampaikan secara resmi laporan mengenai 10 dugaan korupsi di pemerintahan DKI kepada KPK.

Dugaan korupsi itu antara lain menyangkut proyek fasos-fasum (fasilitas sosial-fasilitas umum) berupa tanah 20 hektare lebih di kawasan Sunter yang rencananya untuk membangun stadion olahraga. Tujuh atau delapan pengembang besar sudah berpartisipasi untuk kepentingan ini. Mereka berhasil menghimpun lebih dari Rp 600 miliar.

Serah terima fasos-fasum itu dilakukan masih pada era Sutiyoso sebagai Gubernur. Anehnya, sampai sekarang belum ada tanda-tanda pembangunan stadion olahraga yang dijanjikan. Salah satu keluarga yang mengaku ahli waris sebagian besar tanah itu sampai sekarang bahkan belum menerima satu sen pun dari Pemda DKI.

Namun, Prijanto mengaku tidak tahu banyak tentang urusan fasos-fasum ini. Ia menunjuk Eggy Sudjana yang juga hadir dalam peradilan Mahkamah Intelektual dan ikut memberikan kesaksian dalam kapasitasnya sebagai pengacara salah satu pemilik tanah fasos-fasum itu.

Maka, kembali kepada pertanyaan sentral yang membuat Prijanto marah dan emosional: kenapa Anda mundur? Prijanto akhirnya menjawab keras juga: “Saya tidak suka bekerja sama dengan orang yang melanggar hukum dan tidak bisa mengelola keuangan, serta melanggar etika birokrasi!”

Sebelumnya, dalam bukunya, Prijanto mengutip pendapat Tjipta Lesmana yang bersumber dari Aristoteles bahwa “yang paling membedakan manusia dengan binatang adalah harga diri atau martabat. Binatang tidak punya martabat. Jika seseorang sudah kehilangan martabatnya maka sesungguhnya ia tidak berbeda dengan binatang...”

“Saya masih punya harga diri, maka saya lebih memilih mundur. Bagi saya, jabatan bukanlah segalanya,” ucap Prijanto tegas.

Urusan mundur memang urusan pribadi seseorang. Prijanto, Bung Hatta, Laksamana Udara Suryadarma (Kepala Staf Angkatan Udara RI yang pertama), dan Dicky Chandra (mantan Wakil Bupati Garut) mundur ketika sedang menjalankan tugas negara karena harga diri.

Namun, ada satu hal dalam buku Prijanto yang tidak boleh dianggap remeh, yaitu tudingan tentang dugaan tindak korupsi dan penyelewengan keuangan negara yang dilakukan di lingkungan kekuasaan pemerintahan DKI.

Untuk itu, KPK harus segera menindaklanjutinya. Buku Prijanto sudah beredar lebih dari enam bulan. Bahkan beberapa LSM sudah memasukkan pengaduan resmi kepada KPK.
Namun mengapa KPK bergeming memeriksa kebenarannya? Jika apa yang ditulis Prijanto di dalam bukunya tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, Prijanto bisa dituding menebar fitnah. Mestinya ada pihak tertentu yang menggugat Prijanto karena telah mencemari nama baiknya.

Namun, jika keduanya tidak muncul—KPK tidak berindak dan Prijanto tidak dilaporkan ke polisi—maka Indonesia jelas-jelas NEGARA SAKIT, negara yang tunahukum. ●
◄ Newer Post Older Post ►