Rabu, 19 September 2012

Ketika Tifatul Amputasi Kewenangan KPI


Ketika Tifatul Amputasi Kewenangan KPI
Muhammad Sholeh ;  Advokat Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) 
JAWA POS, 19 September 2012


PERATURAN Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) ini menjadi pergunjingan di jagat pertelevisian. Menkominfo Tifatul Sembiring mengeluarkan Peraturan Menteri No 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air). 

Peraturan 22 November 2011 itu dimaksudkan sebagai wujud pemahaman perkembangan teknologi penyiaran televisi terestrial dari teknologi analog menjadi digital. Penyelenggaraan penyiaran dapat menggunakan 1 (satu) kanal frekuensi radio untuk menyalurkan beberapa program siaran.

Pada dasarnya, peraturan tersebut upaya inovasi dalam melakukan perubahan yang sangat ekstrem terhadap penyelenggaraan penyiaran. Bahkan, bisa disebut merupakan kebijakan atau diskresi yang sangat sewenang-wenang. Kebijakan itu mengakibatkan terjadinya revolusi terhadap usaha penyelenggaraan penyiaran atau dalam istilah Kementerian Kominfo, melakukan perubahan mendasar dalam model bisnis penyelenggaraan penyiaran. 

Menurut teman-teman Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), teknologi televisi digital tidak memberikan banyak manfaat terhadap rakyat (pemirsa) secara umum, selain memberikan gambar lebih jernih di layar kaca. Dan, kenyamanan tersebut harus dibayar mahal baik oleh pemirsa yang harus membeli alat untuk menerima siaran itu.

Seharusnya, teknologi televisi digital diperuntukkan lembaga penyiaran berlangganan. Sebab, lembaga penyiaran berlangganan mempunyai pelanggan yang dapat membayar kenikmatan eksklusif dari penyelenggara penyiaran digital, termasuk membayar alat yang digunakan untuk penerimanya.

Jika dipahami secara mendalam aturan tersebut, terlihat ada upaya terselubung dari Kementerian Kominfo untuk memperjualbelikan kanal frekuensi radio kepada lembaga penyiaran tanpa melibatkan pengawasan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal, kewenangan KPI diatur dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran maupun Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.

Pasal 8 ayat 2 UU Penyiaran menyatakan, kewenangan KPI, antara lain, menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran. Bahkan, pemberian izin dan pencabutan izin lembaga penyiaran harus mendapat rekomendasi dari KPI.

Terdapat 20 pasal dalam Permen Kominfo 22/PER/M.KOMINFO/11/2011, namun tidak ada satu pasal pun yang menyinggung keberadaan KPI. Padahal, peraturan itu justru mengatur hal-hal vital yang berkaitan dengan keberlangsungan dunia penyiaran di Indonesia.

Hal itu bisa kita lihat pada pasal 9 dan 10 yang mengatur izin penyelenggaraan program siaran (LPPS) dan izin penyelenggaraan penyiaran multipleksing (LPPPM), permohonan izin langsung kepada menteri, sementara jika mengacu pada UU Penyiaran dan PP 50 Tahun 2005, penyeleksi permohonan izin dan keputusannya harus mendapat rekomendasi dari KPI.

Juga pasal 19 ayat 1 Permenkominfo menyatakan, Menteri melakukan pengawasan dan evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan penyiaran televisi digital telestrial penerimaan tetap tidak bergerak. Bukankah sudah jelas dalam UU dan PP bahwa pengawasan adalah ranah KPI? Faktanya, selama ini banyak lembaga penyiaran swasta yang mendapat sanksi dari KPI karena dianggap melanggar aturan penyiaran.

Pasal 20 Permen Kominfo mengatakan, menteri dapat memberikan sanksi administratif kepada lembaga penyiaran yang melanggar. Sekali lagi pada posisi ini, peran KPI dihilangkan oleh menteri. 

Pasal 10 ayat 4 mengatur dilakukannya seleksi jika jumlah lembaga penyiaran yang mengajukan permohonan melebihi kanal frekuensi radio. Pertanyaannya, siapa yang menyeleksi? Apa parameter bisa menang dalam seleksi? Tanpa melibatkan pihak independen seperti KPI sebagai tim seleksi, justru rentan terjadinya KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Terjadi overlapping, sebagai wasit yang juga jadi pemain. Dan, itu melanggar pasal 6 PP/50/2005. Yang lebih parah lagi, Permenkominfo melegalkan sewa frekuensi oleh lembaga penyiaran, padahal frekuensi milik negara yang tidak boleh disewakan oleh siapa pun.

Roh UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah mengurangi peran pemerintah dalam dunia penyiaran. Maka, dibentuk lembaga independen seperti KPI yang tidak bertanggung jawab kepada menteri supaya kerjanya bisa independen dan benar-benar objektif. Tapi, permenkominfo sungguh memorak-porandakan gagasan-gagasan luhur yang ada dalam UU No 32 Tahun 2002 itu.

Belum pernah saya baca ada peraturan menteri yang isinya justru banyak bertentangan dengan peraturan pemerintah maupun UU
. 

◄ Newer Post Older Post ►