Rabu, 19 September 2012

Dari Insiden ke Bangsa yang Besar


Dari Insiden ke Bangsa yang Besar
Ananto Sidohutomo ;  Dokter yang lahir dan hidup sebagai arek Surabaya 
JAWA POS, 19 September 2012



AKU terlibat insiden kecil di Jalan Tunjungan, Surabaya, tepat di depan Hotel Majapahit. Mobilku ditabrak sepeda motor yang dikemudikan pria tua yang pindah jalur tanpa lampu sein. Motor itu terjatuh, namun pria tersebut berhasil berdiri tanpa luka.

Setelah menepikan kendaraan masing-masing, kami saling berhadapan. Posisi membelakangi hotel ketika siap beradu argumentasi. Aku masih diam saja ketika pria tua itu melayangkan tatapan matanya ke atas hotel dan lalu terdiam mematung. Hal tersebut membuatku ikut melayangkan pandangan ke arah yang dituju.

Pada 67 tahun lampau, di tempat insiden kecilku itu telah terjadi insiden besar. Momentum tersebut dikenal sebagai ''Insiden Bendera''. Peristiwa itulah yang menggumpalkan semangat arek-arek Surabaya mempertahankan kemerdekaan. 

Hari itu, Rabu 19 September 1945, di Hotel Yamato yang sebelumnya bernama Hotel Oranje dan sekarang bernama Hotel Majapahit. Saat itu, Sekutu telah menang perang melawan Jepang. Indonesia sendiri sudah merdeka 17 Agustus 1945, sehingga terdapat tiga pihak yang saling terlibat dalam penyelesaian akhir peperangan itu. Pihak yang menang dan kalah perang serta pihak Indonesia yang baru merdeka. 

Saya teringat tulisan Yousri Nur Raja Agam dari sumbernya Wiwiek Hidayat (tokoh wartawan). Dikisahkan, Selasa 18 September 1945, siang hingga sore, beberapa anak muda Belanda Indo mengibarkan bendera Belanda ''merah-putih-biru'' di atas gedung Hotel Yamato. Mereka dilindungi opsir-opsir tentara Sekutu dan Belanda dari kesatuan Allied Command. Tentara itu datang ke Surabaya bersama rombongan Intercross atau Palang Merah Internasional. 

Bendera Belanda tersebut tampak jelas dari kantor berita Antara di Jalan Tunjungan 100, Surabaya. Saat itulah darah para wartawan mendidih. Mereka langsung mengabarkan kepada kelompok pergerakan. Situasi menjadi panas penuh hiruk pikuk. 

Rabu 19 September 1945 pagi, pemuda Belanda Indo telah berkumpul di depan hotel. Rakyat Surabaya berdemo. Tidak sekadar menggerutu, tapi berteriak-teriak minta bendera (bekas) penjajah tersebut segera diturunkan. Mereka menolak dengan congkak. 

Ulah itu dilaporkan beberapa wartawan ke kantor Komite Nasional dan Kantor Karesidenan Surabaya. Pejabat yang ditemui di dua kantor tersebut mengaku belum tahu soal bendera bermasalah itu. 

Saat itu ada beberapa organisasi yang telah dibentuk di Surabaya. Beberapa di antaranya dikenal sebagai PRI (Pemuda Republik Indonesia), BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang lalu berubah nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), serta BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia). 

Kemudian, beberapa pejabat Indonesia dengan didampingi sejumlah wartawan serta tokoh pemuda mendatangi hotel itu. Massa telah ramai memadati Jalan Tunjungan. Sekutu dan pihak yang mengibarkan bendera Belanda menolak menurunkan bendera tersebut. Alasannya, merekalah yang memenangi Perang Dunia II dan Belanda termasuk pihak Sekutu. 

Di dalam Hotel Yamato, terjadi penodongan pistol oleh orang Belanda kepada pejabat Indonesia yang masuk ke sana. Seorang pemuda Indonesia menendang pistol itu dan terjadilah perkelahian para pemuda kita dengan bule-bule. Kayu, batu, botol, pedang, bahkan sepeda digunakan untuk menyerang. 

Suasana kian heboh ketika massa berdatangan dari arah utara dan selatan dengan trem serta truk. Mereka menyerbu sampai ke dalam hotel. Sementara itu, beberapa orang di luar berlarian membawa tangga dan memanjat ke atas gedung hotel. 

Setelah sampai di atas, seseorang menurunkan bendera, lalu seseorang lainnya dengan memakai giginya menggigit kain biru di bendera itu hingga sobek. Jadilah bendera tersebut sang ''dwiwarna'' yang lalu dinaikkan ke tiang dan berkibar dengan megahnya, meski bentuknya agak memanjang. ''Merdeka! Merdeka!'' pekik mereka sambil meninju-ninju ke udara. 

Insiden bendera itu membawa korban. Puluhan orang terluka berat dan ringan. Mereka dirawat di Rumah Sakit Simpang. Dari pihak Belanda, Ploegman tewas tertusuk. 

Kota mendidih. Apalagi, kemudian datang sebrigade Sekutu di Tanjung Perak. Mereka menyebarkan pamflet mengancam agar arek-arek Surabaya menyerahkan senjata atau tembak di tempat. Situasi meletup ketika Komandan Sekutu Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby dari Inggris tewas tertembak pada 30 Oktober 1945. Lalu, pecahlah perang 10 November 1945 yang dikenal sebagai Hari Pahlawan. Sebanyak 16 ribu arek Surabaya tewas dalam perlawanan heroik melawan senjata berat dan modern. 


Saat sendok garpu telah ditelungkupkan di atas piring, pandangan kami bertabrakan. 

''Berapa usia Bapak sekarang?'' tanyaku setelah kami duduk bersama di warung menikmati sup buntut bakar. 

''Enam puluh delapan tahun,'' sahutnya. 

''Masalah tabrakan tadi, akan saya berikan ganti ruginya,'' jelasku singkat. 

Pria tua itu mengangguk perlahan sambil meneguk tehnya. 

Tak lama kemudian, aku menjadi asyik mendengar kisahnya saat bayi, ketika digendong orang tuanya dan berada di Jalan Tunjungan saat insiden tersebut terjadi. Cerita itu diingat baik karena bapak dan ibunya selalu berulang-ulang mengisahkannya kembali. Saat itu mereka berada pada kerumunan di lingkaran terluar insiden. 

Benakku lalu penuh dengan dialog tanpa ujung. Peristiwa 19 September 1945 itu pantas dikenang seperti apa? Apakah masih bisa mengilhami kita menjadi bangsa yang besar? Ilham untuk aku, anak-anakku, calon cucu dan cicitku yang anak bangsa itu sendiri. 

Saat ini Surabaya sebagai kota metropolitan memiliki pemerintahan yang baik. Juga media massa yang kuat, baik berupa koran, majalah, televisi, radio, bahkan jejaring sosial. Banyak event yang mengumpulkan massa. Mestinya peristiwa luar biasa itu terus dibangkitkan dengan aneka kenangan kepahlawanan yang segar dan menyemangati. 

Aku ''beruntung'' mengalami insiden kecil saat ini. Sebagai generasi yang lahir pada 1963, tak sengaja ini menjadi pengingat insiden bendera yang agung. Namun, aku lebih beruntung bila bisa melibatkan diri untuk meneruskan cita-cita dan impian indah sebagai bangsa yang besar dari para pahlawan, pejuang arek-arek Surabaya. 

◄ Newer Post Older Post ►