Kekuatan Arus Bawah
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia |
SINDO, 10 September 2012
Pilkada Jakarta—pilgub dan wagub—memang sangat mengejutkan karena pasangan calon yang tak diguga-duga justru menjadi pemenang yang dengan mudah merobohkan optimisme— mungkin juga arogansi—penguasa lama dan pasangan barunya yang hendak maju kembali.
Tempo hari dengan penuh keyakinan si Gubernur sesumbar bahwa di DKI Jakarta tak ada gubernur yang sukses di putaran lima tahun pertama. Mereka sukses di lima tahun kedua. Pernyataan ini menyelipkan harapan bahwa dirinya akan sukses pula di lima tahun kedua itu. Ah, sebuah omongan ngoyo woro seperti angin bertiup tanpa arah. Para gubernur sebelumnya orang-orang luar, yang sudah berprestasi mentereng dalam hanya rata-rata lima tahun masa jabatan. Bang Ali sukses di lima tahun pertama.
Bang Yos pun begitu. Mereka punya konsep, berani bekerja keras dan memiliki naluri kepemimpinan yang jelas. Gubernur yang sekarang ini sudah menjadi wakil gubernur selama 10 tahun. Wakil gubernur, apa bedanya dari sang gubernur sendiri? Jika selama 10 tahun menjadi wakil dia tidak mangkir dan bekerja efisien, hampir siang malam mendampingi sang Gubernur, maka wakil juga dengan sendirinya memahami urusan kerja di Balai Kota untuk menata Jakarta dan menyejahterakan warganya. Selama menjadi wakil gubernur, 10 tahun lamanya itu, apa kerjanya?
Dia orang dalam, artinya pegawai DKI Jakarta, dan paham urusan tentang Jakarta. Lalu menjadi wakil gubernur selama masa tersebut. Ketika kemudian menggantikan posisi atasannya sebagai gubernur DKI Jakarta, dia tidak punya prestasi apa pun.Dia berkata,di putaran lima tahun kedua baru akan memperoleh kesuksesan. Di dalam putaran lima tahun pertama itu sebenarnya dia sudah memasuki masa kepemimpinan gubernuran dalam putaran ke-15. Lima belas tahun ikut bergulat memimpin Jakarta tidak tahu-menahu tentang urusan Jakarta? Betapa mengerikannya.
Jika semua warga DKI Jakarta membaca catatan perenungan Pak Prijanto, wakil gubernur, yang hendak mengundurkan diri dalam bukunya Mengapa Saya Mundur, menangislah kita semua melihat tata kelola Kota Jakarta. Pengelolaan uang tunjangan yang demikian besarnya itu ibaratnya dibagi begitu saja tanpa mempertimbangkan prestasi. Di buku itu disebutkan bahwa Gubernur berkata, mereka,yang diberi tunjangan besar itu, adalah teman-temannya naik turun tangga. Ini urusan profesional, apa urusan kekeluargaan?
Uang rakyat dikelola dengan cara yang tak bisa dipertanggungjawabkan seperti itu? Betapa celaka manajemen sumber daya insani dan manajemen keuangan di gubernuran itu. Orang yang sudah bergulat di dalam kepemimpinan selama 15 tahun masih begitu cara pengelolaan sumber daya insani dan pengelolaan keuangan negara di bawah tanggung jawabnya? Kita tidak tahu mengapa orang dengan kualitas seperti ini mendapat perhatian sebuah partai milik penguasa? Dukungan partai itu luar biasa seriusnya untuk membuatnya selamat. Lalu partai-partai besar bergabung memberikan dukungan kepadanya. Kita heran, apa yang diinginkan partai-partai itu?
Kita tidak tahu,menurut mereka, berapa harga orang ini? Tapi marilah kita perhatikan suara arus bawah. Rakyat DKI Jakarta, yang merupakan arus bawah itu, memperlihatkan kemarahan tak tertahan. Mereka itu diam-diam membangun solidaritas politik yang kuat. Inilah solidaritas politik arus bawah. Mereka tidak takut menghadapi siapa pun karena saat menuju kotak pemilihan, mereka maju sebagai warga masyarakat yang sehat, bebas, dan merdeka secara politik. Banyak di antara mereka warga suatu partai.Tapi suara partai saat ini tidak laku.Suara partai dianggap angin lalu.
Manusialah yang berdaulat dan bukan partai. Warga negara yang bergerak, berdaulat, dan berhak memilih pemimpin secara merdeka dan bukan lagi partai. Rakyat sudah paham bahwa selama ini mereka “ditunggangi” kepentingan partai, diperbudak kepentingan partai.Rakyat, kita semua, belajar untuk tahu, perlahan-lahan, bahwa partai telah menipu kita. Partai besar yang mendukung orang ini partai bermasalah.
Urusan korupsi besar-besar di dalam partai itu belum dipertanggungjawabkan dan kita menuntut adanya pertanggungjawaban itu. Maka, langkahnya membela dan mendukung tokoh ini hanyalah langkah gugup orang yang sedang kehilangan nalar politik. Dengan sendirinya, rakyat, termasuk yang memiliki simpati terhadap partai itu, tak lagi memedulikannya. Simpatinya hilang. Kemarahan besar yang tampil dan mengutuknya sebagai partai yang tak tahu malu.
Partai-partai lain, yang bersedia merunduk-runduk mendukung langkahnya, hanya partai biasa, dipimpin orang biasa, yang melihat sikap menjilat sebagai barang wajar. Aliansi begitu banyak partai itu—dalam rencananya—masih didukung operasi diam-diam yang harus memenangkan tokoh ironis yang 15 tahun berkuasa tanpa prestasi itu. Di manakah nalar sehat para pemimpin itu? Apa suri teladan yang mereka berikan kepada rakyat? Nalar sehat tidak ada. Suri teladan kepada rakyat tidak ada. Pemihakan terhadap kebenaran tak ada.Niat memberi perlindungan kepada rakyat juga tidak ada.
Yang ada pada mereka hanya agenda politik, yang berhubungan dengan keselamatan partai masingmasing dan jaminan keamanan tokoh masing-masing. Dengan begitu partai tak ada hubungannya dengan rakyat. Langkah partai ya langkah partai. Begitu saja. Di baliknya tak ada komitmen apa pun yang memberi kesenangan bagi rakyat.
Kalkulasi partai selalu kalkulasi politik biasa: politik yang tujuannya meraih kekuasaan buat kekuasaan itu sendiri. Tak ada tokoh yang bicara kekuasaan sebagai mekanisme menyejahterakan rakyat. Tak ada tokoh yang bicara kekuasaan sebagai jalan strategis mewujudkan pesan konstitusi. Kekuasaan untuk kekuasaan sama dengan macan atau singa, memiliki taring dan kuku tajam, tenaga besar untuk menerkam kelinci. Gabungan partai-partai besar itu hanya mirip binatang jalang di hutan belantara yang hendak menerkam apa saja yang layak diterkam.
Tapi baik sekali diingat: macan, singa, dan hewan-hewan lainnya di hutan belantara hanya macan kertas, singa kertas, dan “hewan-hewanan” yang tak bisa berbuat apa pun karena mereka hanya kertas. Sekarang ini yang berkuasa rakyat. Maka lupakan macan kertas, singa kertas, dan “hewan-hewanan” itu semua. Suara rakyat, suara arus bawah, jelas suara politik sejati. Mereka siap membuktikan bahwa rakyat bukan bebek yang takut kepada macan kertas dan singa kertas tadi. Suara arus bawah tak terkira derasnya. ●
Bang Yos pun begitu. Mereka punya konsep, berani bekerja keras dan memiliki naluri kepemimpinan yang jelas. Gubernur yang sekarang ini sudah menjadi wakil gubernur selama 10 tahun. Wakil gubernur, apa bedanya dari sang gubernur sendiri? Jika selama 10 tahun menjadi wakil dia tidak mangkir dan bekerja efisien, hampir siang malam mendampingi sang Gubernur, maka wakil juga dengan sendirinya memahami urusan kerja di Balai Kota untuk menata Jakarta dan menyejahterakan warganya. Selama menjadi wakil gubernur, 10 tahun lamanya itu, apa kerjanya?
Dia orang dalam, artinya pegawai DKI Jakarta, dan paham urusan tentang Jakarta. Lalu menjadi wakil gubernur selama masa tersebut. Ketika kemudian menggantikan posisi atasannya sebagai gubernur DKI Jakarta, dia tidak punya prestasi apa pun.Dia berkata,di putaran lima tahun kedua baru akan memperoleh kesuksesan. Di dalam putaran lima tahun pertama itu sebenarnya dia sudah memasuki masa kepemimpinan gubernuran dalam putaran ke-15. Lima belas tahun ikut bergulat memimpin Jakarta tidak tahu-menahu tentang urusan Jakarta? Betapa mengerikannya.
Jika semua warga DKI Jakarta membaca catatan perenungan Pak Prijanto, wakil gubernur, yang hendak mengundurkan diri dalam bukunya Mengapa Saya Mundur, menangislah kita semua melihat tata kelola Kota Jakarta. Pengelolaan uang tunjangan yang demikian besarnya itu ibaratnya dibagi begitu saja tanpa mempertimbangkan prestasi. Di buku itu disebutkan bahwa Gubernur berkata, mereka,yang diberi tunjangan besar itu, adalah teman-temannya naik turun tangga. Ini urusan profesional, apa urusan kekeluargaan?
Uang rakyat dikelola dengan cara yang tak bisa dipertanggungjawabkan seperti itu? Betapa celaka manajemen sumber daya insani dan manajemen keuangan di gubernuran itu. Orang yang sudah bergulat di dalam kepemimpinan selama 15 tahun masih begitu cara pengelolaan sumber daya insani dan pengelolaan keuangan negara di bawah tanggung jawabnya? Kita tidak tahu mengapa orang dengan kualitas seperti ini mendapat perhatian sebuah partai milik penguasa? Dukungan partai itu luar biasa seriusnya untuk membuatnya selamat. Lalu partai-partai besar bergabung memberikan dukungan kepadanya. Kita heran, apa yang diinginkan partai-partai itu?
Kita tidak tahu,menurut mereka, berapa harga orang ini? Tapi marilah kita perhatikan suara arus bawah. Rakyat DKI Jakarta, yang merupakan arus bawah itu, memperlihatkan kemarahan tak tertahan. Mereka itu diam-diam membangun solidaritas politik yang kuat. Inilah solidaritas politik arus bawah. Mereka tidak takut menghadapi siapa pun karena saat menuju kotak pemilihan, mereka maju sebagai warga masyarakat yang sehat, bebas, dan merdeka secara politik. Banyak di antara mereka warga suatu partai.Tapi suara partai saat ini tidak laku.Suara partai dianggap angin lalu.
Manusialah yang berdaulat dan bukan partai. Warga negara yang bergerak, berdaulat, dan berhak memilih pemimpin secara merdeka dan bukan lagi partai. Rakyat sudah paham bahwa selama ini mereka “ditunggangi” kepentingan partai, diperbudak kepentingan partai.Rakyat, kita semua, belajar untuk tahu, perlahan-lahan, bahwa partai telah menipu kita. Partai besar yang mendukung orang ini partai bermasalah.
Urusan korupsi besar-besar di dalam partai itu belum dipertanggungjawabkan dan kita menuntut adanya pertanggungjawaban itu. Maka, langkahnya membela dan mendukung tokoh ini hanyalah langkah gugup orang yang sedang kehilangan nalar politik. Dengan sendirinya, rakyat, termasuk yang memiliki simpati terhadap partai itu, tak lagi memedulikannya. Simpatinya hilang. Kemarahan besar yang tampil dan mengutuknya sebagai partai yang tak tahu malu.
Partai-partai lain, yang bersedia merunduk-runduk mendukung langkahnya, hanya partai biasa, dipimpin orang biasa, yang melihat sikap menjilat sebagai barang wajar. Aliansi begitu banyak partai itu—dalam rencananya—masih didukung operasi diam-diam yang harus memenangkan tokoh ironis yang 15 tahun berkuasa tanpa prestasi itu. Di manakah nalar sehat para pemimpin itu? Apa suri teladan yang mereka berikan kepada rakyat? Nalar sehat tidak ada. Suri teladan kepada rakyat tidak ada. Pemihakan terhadap kebenaran tak ada.Niat memberi perlindungan kepada rakyat juga tidak ada.
Yang ada pada mereka hanya agenda politik, yang berhubungan dengan keselamatan partai masingmasing dan jaminan keamanan tokoh masing-masing. Dengan begitu partai tak ada hubungannya dengan rakyat. Langkah partai ya langkah partai. Begitu saja. Di baliknya tak ada komitmen apa pun yang memberi kesenangan bagi rakyat.
Kalkulasi partai selalu kalkulasi politik biasa: politik yang tujuannya meraih kekuasaan buat kekuasaan itu sendiri. Tak ada tokoh yang bicara kekuasaan sebagai mekanisme menyejahterakan rakyat. Tak ada tokoh yang bicara kekuasaan sebagai jalan strategis mewujudkan pesan konstitusi. Kekuasaan untuk kekuasaan sama dengan macan atau singa, memiliki taring dan kuku tajam, tenaga besar untuk menerkam kelinci. Gabungan partai-partai besar itu hanya mirip binatang jalang di hutan belantara yang hendak menerkam apa saja yang layak diterkam.
Tapi baik sekali diingat: macan, singa, dan hewan-hewan lainnya di hutan belantara hanya macan kertas, singa kertas, dan “hewan-hewanan” yang tak bisa berbuat apa pun karena mereka hanya kertas. Sekarang ini yang berkuasa rakyat. Maka lupakan macan kertas, singa kertas, dan “hewan-hewanan” itu semua. Suara rakyat, suara arus bawah, jelas suara politik sejati. Mereka siap membuktikan bahwa rakyat bukan bebek yang takut kepada macan kertas dan singa kertas tadi. Suara arus bawah tak terkira derasnya. ●