Senin, 10 September 2012

Islam Aswaja Melawan Terorisme


Islam Aswaja Melawan Terorisme
Said Aqil Siradj ;  Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 
SINDO, 10 September 2012


Teror kembali mengancam negeri kita. Penggerebekan disertai saling tembak antara Densus 88 dengan teroris terjadi di Solo. Ditambah lagi, penemuan amunisi bom di Tambora, Jakarta. 
Kenyataan ini menunjukkan potensi terorisme masih menghantui kita. Banyak teroris yang sudah ditangkap, dieksekusi, dan ditembak di tempat. Namun, rupanya, hilang satu tumbuh seribu. Generasi teroris terus bermunculan. Sering kali juga mata rantai teroris berjalan seperti multi-level marketing, antara upline dan downline tidak saling mengenal. Hal inilah yang membuat ribet dalam proses pengendusan dan perburuan terhadap teroris.

Berbagai langkah telah dilakukan. Institusi terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dengan gigih dan canggih terus berupaya melakukan upaya penyisiran baik secara ofensif maupun defensif. Langkah deradikalisasi pun giat dilakukan BNPT dengan menggandeng ormas dan LSM. Tentu saja, langkah ini sangat tepat dan perlu mendapat dukungan masyarakat.

Memang tidak mudah melakukan “pelucutan ideologi” terhadap teroris. Mereka yang sudah kadung mengidap pemahaman radikal keagamaan dan kemudian melakukan gerakan teroris butuh proses yang berliku untuk mengembalikan mereka pada pemahaman keagamaan yang benar. Saat ini banyak bermunculan jamaah-jamaah Islam yang berhaluan puritan-fundamentalis. Mereka cenderung eksklusif dengan menyajikan kajian-kajian keislaman yang keras semisal menghujat kelompok keagamaan lain sebagai pelaku syirik hingga menyebut- nyebut pemerintah sebagai thoghut.

Jamaah-jamaah seperti inilah yang sesungguhnya berpotensi membawa gerak terorisme, terlebih bagi anak-anak muda yang masih labil atau mereka yang masih dangkal pengetahuan agamanya akan mudah dipengaruhi dan berakibat mengkhawatirkan. Fakta sudah banyak menunjukkan seperti kasus Muhammad Syarif, pengebom bunuh diri di Mapolsek Cirebon yang berawal dari mendengarkan ceramah keagamaan yang keras.

Visi dan Praksis Islam Aswaja

Jiwa kebangsaan dalam perspektif aswaja(ahlussunnah waljamaah) selalu mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Dalam perspektif kebangsaan semacam ini, lokalitas mendapatkan tempat terhormat.

Proses akulturasi terhadap tradisi telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat serta menghargai perbedaan agama, tradisi, dan kepercayaan sebagai warisan budaya Nusantara. Maka,dengan sendirinya Islam aswaja memiliki wawasan multikultural dalam arti kebijakan sosialnya bukan hanya melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup seperti inti dari paham keislaman aswaja itu sendiri. Wali Songo telah mengajarkan sebuah tradisi keagamaan yang transformatif (tahawwuly wa taghyiry).

Proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo bukan sekadar mengajak masyarakat masuk Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi, dan berakar pada tradisi masyarakat setempat. Inilah tradisi keagamaan model aswaja dengan kekuatan basisnya kepada ulama dan pesantren. Ulama sebagai pilar keagamaan aswaja memegang peran penting dalam menguatkan ikatan kolektivitas bangsa ini. Gerakan-gerakan sosial yang pernah muncul di masa kolonial Belanda selalu menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan melawan kolonialisme dan eksploitasi penjajah.

Selain menekankan kebutuhan ritual ibadah, pesantren juga memiliki fungsi kemasyarakatan yang lebih luas. Ia merupakan wadah transformasi kultural secara total. Kemampuan Islam aswaja melakukan praksis dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan hidup beragama melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara Islam aswaja membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formalistis, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur.

Misalnya soal imamah, Islam aswaja lebih melihat kriteria atau persyaratan yang dipenuhi oleh seorang imam atau khalifah daripada berdirinya suatu negara (daulah). Selama prinsip al-‘adalah (keadilan), al-syura (musyawarah), almusawah (persamaan derajat), dan pemeliharaan lima prinsip universal manusia (ushul alkhams) dipenuhi pada diri seorang pemimpin, maka kalangan aswaja akan menerima kepemimpinan tersebut.

Dalam hal berdirinya suatu negara sesungguhnya dimaksudkan untuk mengayomi dan melayani kehidupan umat serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara, tetapi hanya memberikan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut sebagai pemerintahan yang sah. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi didalamnya terjadi banyak penyimpangan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang sah, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam aswaja.

Ajaran aswaja tidaklah pernah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, tidak elitis dan juga tidak mengenal status-quo. Ia bisa berkembang dengan fleksibel berkat potensi nahdlah yang dimilikinya. Rangkaian historis dan metodologi mulai dari Rasulullah sampai manhaj a-taghayyur alijtima’i merupakan pemaknaan aswaja sebagai metode berpikir dan bertindak yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabiin yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu.

Dari sinilah lahir pemikiran dan tindakan keislaman dalam berbagai bidang yang tetap berada dalam satu roh, yaitu senantiasa berada di jalur moderat. Selalu bisa beradaptasi dalam segala situasi dan kondisi, itulah watak Islam aswaja. Posisi moderasi ini bisa diibaratkan dengan titik tengah biji kelereng yang bulat. Makin besar bulatannya, titik tengahnya pun kian besar pula.

Dengan makin berkembangnya konsep moderasi tersebut, makin berkembang pula daya jangkau dan potensinya mengikuti perkembangan zaman. Jelaslah, model pengamalan Islam ini yang inheren dengan keindonesiaan. Islam aswaja yang sejak awal berwatak inklusif, pluralis, dan nasionalis. Karena itu, jangan sekali-kali melukai Indonesia dengan radikalisme dan terorisme.


◄ Newer Post Older Post ►